Hatiku Surgaku Rumahku Surgaku

Selasa, 02 Juli 2019

mengoptimalkan wakaf di era 4.0

SETIAP individu tentu berusaha memaksimalkan tingkat kepuasannya (utility). Ketika tiap individu mendapatkan tingkat kepuasan maksimal melalui aktivitas konsumsi, kesejahteraan masyarakat secara kolektif dapat terwujud.

Namun, konsepsi itu memiliki potensi melahirkan efek samping yang sangat berbahaya. Misalnya, seorang pelari yang bernama Ahmad dalam suatu kejuaraan lari memiliki kesempatan untuk mendapatkan minuman yang disediakan oleh panitia.

Dalam hal ini, Ahmad bisa meminum empat gelas yang disediakan panitia seluruhnya atau meminum satu gelas dan ”menyedekahkan” tiga gelas lain bagi tiga pelari berikutnya (Umar, Usman, dan Ali). Jika memilih untuk meminum seluruh gelas, Ahmad memaksimalkan kepuasan dirinya. Namun, menjadikan pelari lain tidak mendapatkannya. Sedangkan pada pilihan kedua, Ahmad memang tidak memaksimalkan kepuasannya, tapi keempat pelari dapat minum air yang segar. Ilustrasi itu menggambarkan bahwa perilaku individualistis tidak akan menyejahterakan masyarakat.

Berangkat dari hal tersebut, pengelolaan perilaku harus dioptimalkan sehingga memiliki dampak yang lebih luas dan berkelanjutan. Wakaf merupakan bagian dari perilaku sedekah yang berpotensi mewujudkan kesejahteraan yang meningkat tapi merata dan berkelanjutan di masyarakat.

Perlu diketahui, wakaf berbeda dari zakat yang lebih umum dikenal setidaknya dari tiga sisi. Pertama, zakat merupakan kewajiban, bahkan salah satu rukun Islam, sedangkan wakaf bersifat sunah atau atas dasar sukarela.

Kedua, meskipun wakaf bersifat sunah, peruntukannya lebih luas dan fleksibel, tidak terbatas pada golongan tertentu (ashnaf) sebagaimana pada zakat. Ketiga, syariat Islam memprioritaskan distribusi dana zakat secara langsung untuk memenuhi kebutuhan kaum duafa. Sedangkan untuk wakaf, asetnya harus dikelola terlebih dahulu, barulah kemudian keuntungan yang didapatkan dimanfaatkan untuk kepentingan umat.

Lebih lanjut, aset wakaf seharusnya dikelola secara produktif dengan mengupayakan adanya nilai tambah ekonomi di samping mempertahankan kekekalan pokok aset wakaf dan manfaatnya. Hal itu sebenarnya telah dipraktikkan pada masa awal Islam.

Tepatnya ketika sahabat Umar bin Khattab mewakafkan kebun kurmanya di Kota Khaibar sehingga hasil panennya disedekahkan bagi kerabat dan kaum duafa dengan tetap memastikan bahwa kebutuhan pengelolanya (nazhir wakaf) juga terpenuhi. Wakaf produktif akan memiliki kesamaan dengan impact investing, yakni investasi yang diarahkan untuk memiliki dampak positif secara sosial atau bagi lingkungan hidup, selain keuntungan secara ekonomi.

Sebagai ilustrasi, wakaf dapat berperan sebagai solusi untuk mempertahankan stabilitas harga daging sapi dengan menjadi sumber pendanaan pusat pembibitan sapi. Jadi, di lahan wakaf yang belum optimal seperti di pesantren dapat dibangun pusat pembibitan sapi dengan dana wakaf uang (cash waqf).

Adapun operasionalnya dikelola perguruan tinggi yang memiliki fakultas terkait seperti peternakan atau kedokteran hewan dengan dibiayai dana CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan yang menggunakan daging sapi sebagai bahan baku. Jika terwujud, konsep itu dapat menjadi solusi berkelanjutan bagi upaya menjaga stabilitas harga sapi nasional sebagai bagian dari pembangunan nasional.

Dalam rangka mendukung optimalisasi pengelolaan wakaf, perkembangan teknologi informasi yang sangat masif saat ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Salah satu aplikasi teknologi infomasi terkini yang berpotensi meningkatkan kualitas pengelolaan wakaf ialah Blockchain.

Pengelolaan wakaf produktif dengan Blockchain memungkinkan peningkatan efisiensi dan efektivitas dari tiga sisi. Pertama, jika wakif dan nazir terhubung pada suatu sistem Blockchain, transaksi donasi wakaf dapat dilakukan dengan simultan secara digital dan transparansi terjaga.

Kedua, apabila wakaf berbasis Blockchain dapat menjangkau nazir wakaf global, sangat mungkin wakif dari suatu negara berwakaf di negara lain, terutama negara yang membutuhkan pendanaan pembangunan. Hal itu dapat mewujudkan dampak pengelolaan wakaf produktif yang bersifat inklusif pada skala global.

Ketiga, sistem Blockchain sebagai suatu rekaman bersama atas transaksi dalam suatu komunitas digital yang menghubungkan wakif selaku donatur wakaf, nazir (pengelola wakaf), hingga mauquf ’alaih atau penerima wakaf memungkinkan seluruh pihak untuk saling mengawasi, terutama terkait dengan pengelolaan wakaf oleh nazir. Dengan begitu, transparansi pengelolaan wakaf dapat terjaga dan potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan wakaf dapat dicegah.

Sebagai simpulan, wakaf sebagai instrumen filantropi yang berasal dari syariat Islam perlu dioptimalkan melalui pengelolaan secara produktif dengan berorientasi pada dampak positif bagi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup serta berpedoman pada aturan syariah dengan pemanfaatan teknologi digital IR 4.0, salah satunya Blockchain. (*)

*) Kepala Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Keterangan:

Tulisan ini adalah rangkuman dari orasi ilmiah penulis dalam pengukuhan guru besar bidang ekonomi Islam pada 22 Juni 2019 di Kampus C Unair.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar