Elsevier: Semakin Kenal, Semakin Gelap
Oleh: Rizqy Amelia Zein *)
3 Agustus 2019, 18:15:04 WIB
*) Dosen Psikologi Sosial Universitas Airlangga, aktivis Komunitas Sains Terbuka Airlangga
Editor : Dhimas Ginanjar
klik Jawa Pos
klik TULISAN Aulia Abdul Aziz yang diterbitkan di Jawa Pos pada edisi 29 Juli 2019 yang membahas tentang peran Scopus, lembaga pengindeks yang merupakan salah satu unit bisnis dari Elsevier (RELX group), menghadirkan informasi yang kurang lengkap mengenai bisnis penerbitan komersial. Alih-alih komprehensif, tulisan tersebut menyuguhkan narasi tunggal, seolah-olah Scopus adalah satu-satunya platformyang menyediakan layanan serupa. Penulis juga lupa menyebutkan hal penting bahwa Elsevier menjalankan bisnis yang sangat bermasalah.
Argumen utama dari tulisan Prof Budi Darma adalah kegelisahan atas penilaian kualitas karya akademisi yang serta-merta dari tempat karya tersebut diterbitkan. Padahal, tempat diterbitkannya karya sama sekali tidak ada kaitannya dengan kualitas karya tersebut. Kegelisahan ini, hemat saya, sangat beralasan.
Menggunakan jumlah kutipan (sitasi) sebagai indikator kualitas riset adalah ide yang sangat buruk. Para peneliti scientometrics (ilmu yang mempelajari pengukuran dan analisis literatur saintifik) berkali-kali memperingatkan bahwa menghitung jumlah kutipan adalah cara yang kelewat sederhana untuk mengukur konsep yang sangat kompleks, seperti kualitas dan dampak riset.
Sebagai peneliti yang punya perhatian besar pada pengukuran konsep-konsep abstrak, seperti kepribadian, sikap, nilai, dsb., saya sangat skeptis bahwa metrik yang sederhana tersebut benar-benar bisa mengukur konsep yang kompleks seperti kualitas dan dampak riset.
Contohnya, artikel berjudul Primary Prevention of Cardiovascular Disease with a Mediterranean Diet (2013), yang ditulis oleh Ramón Estruch, dkk., diterbitkan di New England Journal of Medicine dan dikutip sebanyak 1.879 kali sebelum diretraksi (ditarik dari penerbitan) oleh redaksi jurnal tersebut pada 2018 lalu. Karya yang sama juga masih dikutip sebanyak 271 kali setelah diretraksi.
Yang menarik, koreksi atas karya tersebut hanya dikutip sebanyak 1 kali. Penelitian yang dilakukan oleh Moylan dan Kowalczuk (2016) menyebutkan nilai tengah (median) jumlah kutipan dari sebuah artikel justru lebih tinggi setelah artikel ditarik daripada sebelum ditarik. Bukti ini sangat mengkhawatirkan mengingat karya yang ditarik biasanya memuat kesalahan fatal.
Ketika sebuah naskah dikutip oleh naskah yang lain, kutipan tersebut tidak selalu berarti persetujuan atau dukungan pada argumentasi dalam naskah yang dikutip. Bisa jadi sebaliknya, karya tersebut dikutip karena sedang dikritik habis-habisan. Konsekuensinya, metrik yang formulanya bergantung pada jumlah kutipan seperti h-index merupakan indikator yang terlalu simplistik dalam mengukur kualitas dan dampak riset.
Beberapa ahli mengusulkan penggunaan analisis sentimen untuk menentukan berapa banyak kutipan yang nuansanya negatif atau positif, namun teknik ini tidak memberikan informasi yang ringkas dan cenderung lebih sulit dilakukan.
Peneliti juga rupanya perlu mendapat informasi bahwa Elsevier, termasuk penerbit komersial lainnya seperti Springer Nature, Wiley, dll., menjalankan bisnis komersialisasi pengetahuan yang sangat merugikan publik.
Penelitian yang dibiayai dari dana masyarakat seharusnya dapat diakses dengan bebas. Faktanya, ketika penulis menerbitkan karyanya di jurnal komersial, mereka dibebankan biaya penerbitan yang jumlahnya sangat besar (bervariasi tiap jurnal, umumnya antara Rp 8–35 juta per artikel) agar karyanya dapat diakses terbuka. Apabila penulis tidak dapat membayar, jurnal akan membebankan biaya langganan pada perpustakaan. Jasa langganan ini biasanya dijajakan dalam bentuk bundling sehingga biayanya sangat besar. Sampai-sampai perpustakaan universitas dengan dana abadi terbesar di dunia, Harvard University, mengeluh biaya langganan yang dibebankan penerbit kelewat mahal.
Sederhananya begini, penerbit tidak membiayai riset yang dilakukan. Penulis juga tidak dibayar. Umumnya, editor dan peninjau (reviewer) juga tidak dibayar.
Tetapi kemudian penerbit meminta penulis mentransfer hak intelektualnya kepada mereka sehingga penulis pun tidak bisa bebas membagikan karyanya. Sudah begitu pun, penerbit masih membebankan biaya langganan yang sangat mahal kepada perpustakaan, yang dibayar lagi dengan dana yang diambil dari pajak masyarakat. Scopus termasuk salah satunya. Ia tidak bebas diakses tanpa biaya langganan. Tidak heran, Elsevier bisa meraup margin keuntungan sampai 37% pada 2018, lebih besar dari Apple, Google, bahkan Amazon.
Bukan hanya itu, Elsevier secara aktif mendanai kampanye (meskipun kemudian menyatakan menarik dukungannya) agar UU Research Works Act dapat disahkan oleh Kongres AS pada 2012. Undang-undang tersebut melarang peneliti yang mendapatkan pembiayaan riset dari dana pemerintah federal untuk menerbitkan karya mereka di jurnal dengan akses terbuka. Elsevier juga aktif menghambat implementasi Plan S, di mana kebijakan tersebut mendorong peneliti untuk menerbitkan karyanya di jurnal dengan akses terbuka.
Model bisnis ini sangat bermasalah sehingga membuat peneliti di seluruh dunia geram. Sampai saat ini, sudah 17.644 peneliti yang menandatangani petisi The Cost of Knowledge, di mana mereka bersumpah tidak akan bersedia menulis, menyunting, atau meninjau untuk jurnal terbitan Elsevier. Konsorsium University of California, universitas-universitas di Swedia, Jerman, dan Norwegia juga memutuskan kontraknya dengan Elsevier sebagai bentuk protes.
Bukan hanya itu, para peneliti berupaya untuk menarik kembali upaya penyebaran ide dan kontrol kualitas riset pada komunitas akademik, bukan pada penerbit komersial. Beberapa di antaranya adalah inisiatif gerakan sains terbuka, yang meskipun bentuknya bervariasi, landasan filosofisnya satu; pengetahuan adalah milik publik sehingga tidak boleh menguntungkan satu atau sekelompok orang saja.
Beberapa di antaranya adalah inisiatif mereformasi cara peneliti melakukan riset dengan mendorong mereka untuk membagikan material studi (termasuk data dan cara analisis) secara terbuka. Bagaimana mungkin kita bisa menakar kualitas (apalagi dampak) suatu riset, sedangkan peneliti dibiarkan melakukan pekerjaannya di ruang-ruang gelap?
Selain itu, ada inisiatif membuat basis data dengan sumber terbuka. Saat ini sudah ada 1.300 basis data literatur ilmiah yang serupa dengan Scopus yang dapat diakses dengan bebas, lalu mengapa kita memilih basis data komersial? Terakhir, bagaimana mungkin pemerintah sebagai pendana utama aktivitas riset di Indonesia bisa menakar return of investment dari dana riset yang diinvestasikan apabila luaran utama riset, yaitu artikel ilmiah, terbit di balik dinding komersialiasi? (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar