Oleh M Zaid Wahyudi/Evy Rachmawati
sabtu 12 Oktober 2019
klik kompas
klik ayo balik ngaji
Stigma membuat perilaku kekerasan diidentikkan dengan penderita gangguan jiwa. Padahal, mereka yang yang tidak mengalami gangguan jiwa justru lebih banyak melakukan kekerasan.
Kisah kehidupan Joker, sosok badut yang dikenal sebagai musuh superhero Batman, diangkat ke layar lebar. Keberadaan film itu menggugah kesadaran publik terhadap persoalan kesehatan jiwa yang selama ini kerap kali terabaikan.
Dalam film itu, aktor Joaquin Phoenix memerankan Arthur Fleck, yang mencari nafkah sebagai badut dan mulai menjadi komedian tunggal. Keterasingan di kehidupan sosial, perundungan, dan gangguan jiwa yang dideritanya menjadikannya pembunuh berantai sekaligus gembong penjahat bernama Joker.
Dalam film tidak dijelaskan masalah kejiwaan yang dialami Fleck. Ia sempat rutin menjalani konseling dan mengonsumsi tujuh jenis obat yang disediakan Dinas Sosial setempat. Namun, ia putus berobat dan tak lagi menjalani konseling lantaran layanan itu ditutup pemerintah setempat demi efisiensi anggaran.
Fleck pun mengalami delusi atau keyakinan tak nyata yakni menjalin kasih dengan ibu tunggal yang bertetangga dengannya. Ia juga menderita cedera otak atau saraf sehingga kadang tertawa tanpa terkendali pada waktu tak tepat.
Kondisinya terus memburuk ketika mengalami perundungan dan penindasan. Dalam film itu, Fleck diganggu sekelompok remaja saat sedang bekerja menjadi badut di depan sebuah toko. Selain papan promosi yang dipegangnya direbut, ia juga dipukuli para remaja itu.
Kejadian itu membuat rekannya menawarkan sebuah pistol. Berawal dari memiliki pistol itu, ia dipecat dari tempat kerjanya karena menjatuhkan senjata itu ke lantai saat menghibur para pasien anak di rumah sakit. Namun, temannya justru berbohong dengan menyatakan justru Fleck yang menawarkan pistol itu.
Fleck pun menembak mati tiga eksekutif muda yang memukulinya karena tertawa tak terkendali saat mereka mengganggu seorang perempuan di kereta bawah tanah. Ia juga merenggut nyawa ibunya ketika tahu bahwa perempuan yang selama ini tinggal bersamanya itu justru membiarkannya jadi korban penganiayaan saat kanak-kanak hingga cedera otak.
Kemarahannya pada orang-orang yang mengganggunya dilampiaskan dengan menghabisi nyawa mereka, termasuk temannya yang menawarkan pistol dan seorang pembawa acara televisi yang mengolok-olok penampilannya saat mementaskan komedi tunggal. Ia pun menjelma menjadi sosok Joker yang tak segan-segan membunuh orang yang dianggap jahat terhadap dirinya.
Skizofrenia
Meski tidak dijelaskan eksplisit gangguan jiwa yang dialami, dari gejala delusi yang dialami, Fleck diduga menderita skizofrenia, penyakit yang memicu perubahan pikiran, perasaan dan perilaku. Gangguan itu menyebabkan penderitanya tidak bisa berpikir dan bertindak secara wajar.
Skizofrenia adalah penyakit medis yang sama dengan penyakit fisik lain, bukan akibat guna-guna, kurang iman atau hal mistis lainnya yang sering diyakini masyarakat Indonesia. Otak penderita skizofrenia biasanya memiliki kadar dopamin berlebihan.
”Berlebihnya dopamin membuat otak jadi salah persepsi,” kata psikiter di Rumah Sakit (RS) Marzoeki Mahdi Bogor, Jawa Barat, Lahargo Kembaren. Skizofrenia banyak ditemukan pada penduduk usia muda, antara 15-30 tahun.
Dopamin adalah senyawa kimia otak yang berperan terhadap motivasi dan penghargaan. Berlebihnya dopamin membuat penderitanya mengalami delusi, yaitu meyakini suatu hal yang sebenarnya tidak benar atau tidak ada. Jika Fleck memiliki delusi menjalin hubungan romantis dengan seorang perempuan, delusi atau waham penderita skizofrenia jauh lebih beragam dari itu.
Dari pengalaman Kompas berjumlah dengan penderita skizofrenia di sejumlah daerah, pekan lalu, ada pasien yang menerima bisikan untuk membunuh ibu atau mencekik suaminya. Bisikan itu menegaskan secara berulang bahwa yang diminta dibunuh itu bukan ibu atau suaminya.
Ada pula penderita yang mendapat bisikan untuk menyerang orang lain karena merasa dirinya terancam atau akan dihabisi. Keyakinan yang tidak nyata itulah yang mendorong sejumlah penderita skizofrenia melakukan kekerasa. Namun, itu bukan berarti semua penderita skizofrenia bisa melakukan kekerasan.
”Film Joker makin menstigma penderita gangguan jiwa. Padahal, pelaku kekerasan yang bukan penderita gangguan jiwa jauh lebih banyak jumlahnya,” tambah Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia Bagus Utomo.
Film Joker makin menstigma penderita gangguan jiwa. Padahal, pelaku kekerasan yang bukan penderita gangguan jiwa jauh lebih banyak jumlahnya.
Penderita skizofrenia yang melakukan kekerasan tidak lebih banyak jumlahnya dibanding pelaku kekerasan yang bukan penderita skizofrenia. Penderita skizofrenia melakukan kekerasan akibat gangguan yang dialaminya dalam menilai realitas, adanya halusinasi yang menyuruhnya melakukan kekerasan, atau munculnya delusi atau waham yang membuatnya terancam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar