Hatiku Surgaku Rumahku Surgaku

Selasa, 03 November 2020

Sejarah Anti-Sains dan Manifesto Taklid Buta pada Ideologi Represif



Josef Goebbels, Menteri penerangan dan propaganda Nazi Jerman, pernah berkata "Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja". Itu dikenal sebagai teknik 'argumentum ad nauseam', atau teknik 'big lie' -kebohongan besar. 


Teori Goebbels adalah rujukan utama para demagog, dan sayangnya, termasuk rujukan utama propagandis anti-sains yang sebarkan #infodemi di era pandemi #COVID19 ini. Tulisan ini mendekonstruksi motif 'kehendak berkuasa' (will to power) ideologi represif anti-sains, dan menawarkan solusi untuk mengarus-utamakan sains dalam menghadapi pandemi #COVID19 demi kemanusiaan itu sendiri.

Senin, 02 November 2020 11:57 WIB

klik https://m.akurat.co/id-1230474-read-sejarah-antisains-dan-manifesto-taklid-buta-pada-ideologi-represif



AKURAT.CO, Ilusi bahwa ‘sains adalah bebas nilai’ akhirnya dibongkar habis-habisan di era pandemi COVID-19, karena di kondisi gawat darurat sekarang ini, ilmuwan didorong harus bersikap tegas dimana mereka berdiri. Mereka berdiri untuk kemanusiaan, yang berarti menggunakan ilmunya untuk kebaikan sesamanya dan dunia, atau berdiri untuk ideologi represif anti-sains yang memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu, dan memarginalkan kelompok di luarnya.


Pada akhirnya, kemanusiaan dan ideologi totaliter harus berhadapan secara langsung selama pandemi ini, dan menjadikan para ilmuwan sebagai proksi dua episteme yang saling bertentangan tersebut. Menariknya, tarik menarik antara kemanusiaan dan ideologi represif tidak hanya terjadi sekarang, namun jauh sebelum perang dunia II meletus sudah dimulai dialektika tersebut. Sejarahnya ternyata cukup panjang, dan pada akhirnya ilmuwan memang harus melakukan pemihakan yang tegas untuk melawan episteme anti-sains.


Philip Lenard dan ide ‘sains Jerman’ merupakan sejarah kelam ideologi anti-sains di Jerman. Dia diberikan jabatan sebagai ‘penasihat sains Arya senior’ oleh Adolf Hitler, karena pintar menjilat. Sesungguhnya Lenard adalah ilmuwan berprestasi, pernah menang Nobel fisika tahun 1905 mengenai sinar katoda. Namun bias ideologi dia telah menghancurkan semua karir ilmuwan sempurna yang telah dibangun dengan susah payah. Lennard pernah menerbitkan buku mengenai ‘Fisika Jerman’ yang menurutnya merupakan antitesis dari ‘Sains Yahudi’ Albert Einstein dan koleganya. Pemikiran Lenard penuh bias ideologi, karena menuduh ‘Sains Yahudi’ Einstein sebagai ‘tidak nasionalis’ ,dan dengan penuh nasionalisme buta, tanpa bukti kuat,


Lenard menuduh ilmuwan asing, terutama dari Inggris seperti J.J Thompson mencuri ide-idenya. Episteme ‘Fisika Jerman’ selama era Nazi telah membuat dunia riset dan perguruan tinggi Jerman bergerak mundur, dan pada akhirnya setelah kalah perang dunia II, harus merelakan kepemimpinan mereka dalam bidang sains diambil alih oleh Amerika Serikat. Di Jerman modern sekarang ini, Lenard dan ‘Sains Jerman’nya sudah dilupakan para ilmuwan disana, dan mereka justru selalu menselebrasi Albert Einstein yang dahulu dimarjinalkan oleh Lenard.


Selain di Nazi Jerman, kisah tragis berkuasanya narasi anti-sains juga terjadi di Uni Soviet. Narasi ini dimulai dengan persaingan antara dua orang ilmuwan, yaitu N.I Vavilov melawan Trofim Lysenko. Vavilov adalah agricultural biologist yang sangat berdedikasi, seorang pakar biodiversitas yang mengumpulkan dan meneliti berbagai tanaman pertanian dari seluruh dunia. Dia adalah pendukung teori genetika Mendel, dan sangat percaya bahwa rekayasa genetika merupakan kunci bagi kemajuan sains Soviet. Namun musuh Vavilov, Lysenko, adalah kebalikannya. Dia menganggap genetika Gregor Mendel yang buatan barat adalah ‘proksi borjuasi’, dan ilmu ‘borjuasi’ Mendel harus dibuang ke tong sampah.


Selain genetika secara umum, Lysenko menolak dasar teori dari biologi molekuler, termasuk keberadaan DNA dan gen. Walaupun anti-sains, Lysenko adalah penjilat ulung, dan berhasil mengambil hati Stalin, sehingga pemimpin besar Soviet tersebut memberikannya posisi sebagai pemimpin di Lenin Institute, sebuah lembaga yang mendiseminasikan kebijakan sains di Uni Soviet. Akhirnya dengan kekuasaan yang dia miliki, Lysenko berhasil memenjarakan Vavilov ke gulag di Siberia. Ini sangat ironis, karena Vavilov sebenarnya adalah ilmuwan pertanian yang terkenal di seluruh dunia, dan pemikirannya juga menjadi rujukan di barat. 


Anti-sains Lysenko telah menghancurkan sains Soviet, dan sekali lagi menguntungkan Amerika Serikat yang dominasi perolehan Nobel Sainsnya semakin tidak terkalahkan. Akhirnya pemerintah Soviet menyadari kekeliruannya di tahun 60an, dan mulai merehabilitasi namanya. Di Rusia pasca-Soviet, sekarang justru Vavilov dinarasikan pemerintah mereka sebagai seorang pahlawan ilmu pengetahuan, sementara Lysenko justru digambarkan sebagai seorang ‘loser’.


Di era pandemi COVID-19, ternyata kisah tragis di Nazi Jerman dan Uni Soviet tersebut terulang kembali dengan skala yang jauh lebih masif dan mengglobal. Di Amerika Serikat, kelompok ‘white supremacist’ atau supremasi kulit putih menghembuskan isu bahwa Bill Gates merupakan pencipta virus SARS-CoV-2, COVID-19 menurut mereka adalah hanya flu biasa, dan mereka juga menghembuskan isu keberadaan 'Chinese Virus', dimana menurut mereka pihak China bertanggung jawab atas pandemi COVID-19, karena menurut mereka, virus SARS-CoV-2 dibuat di salah satu lab di negara tersebut. 


Teori ‘Bill Gates’, ‘COVID-19 adalah flu biasa’ dan ‘Chinese Virus’ penuh kontradiksi satu sama lain, dan berasal dari pihak yang sama. Narasi yang tidak konsisten dan saling bertentangan tersebut sudah menjadikan narasi mereka tidak logis sama sekali, dan tidak valid.


Sayangnya, banyak yang percaya dengan narasi menyesatkan tersebut. Mengapa teori ‘Bill Gates’ ‘COVID-19 flu biasa’ dan ‘Chinese Virus’ sangat beresonansi di media sosial, berbagai blog, dan portal berita yang tidak terpercaya, tidak lain karena dukungan modal yang sangat besar dari kelompok elit tertentu yang memiliki kepentingan politik. 


Di Amerika Serikat, seorang ilmuwan eksil dari Hong-Kong bernama Li-Meng Yan menerima dukungan dari tokoh white supremacist terkemuka Amerika Serikat, yaitu Steve Bannon, untuk mendanai penelitiannya yang diframing untuk memojokkan pihak China. Sama seperti Philip Lenard di Jerman dulu, Yan awalnya adalah ilmuwan berprestasi di negaranya. Namun karena ada konflik yang tidak di disclose dengan manajemen lembaga penelitiannya, akhirnya Yan melarikan diri ke Amerika Serikat, dan dengan dukungan pendanaan dari Bannon, merilis working article yang menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 adalah buatan China.


Media sosial dan online ‘berjasa’ mendiseminasikan pemikiran Yan dan pengikutnya seperti aliansi dokter dunia, ke seluruh jagat. Li-Meng Yan bahkan pernah tampil di Fox News, channel berita konservatif, untuk mempromosikan ide konspiratif absurdnya. Perlu diperhatikan bahwa Ideologi anti-sains di Nazi Jerman dan Uni Soviet hanya menghancurkan kedua negara tersebut, namun anti-sains di era pandemi COVID-19 memiliki potensi untuk membuat seluruh dunia menjadi kacau balau, karena dunia maya akan mengaplikasi ide tersebut ke seluruh dunia. 


Infodemik dari para covidiot ini akan menghasut publik untuk meninggalkan protokol kesehatan WHO, dan mereka memberikan ‘bumbu’ politik dengan menyatakan bahwa WHO tidak perlu didengarkan karena sudah pro-China. Sebuah tuduhan serius yang ditolak mentah-mentah oleh pihak WHO itu sendiri. Pihak China juga menolak tuduhan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pandemi COVID-19, karena sampai sekarang memang menurut mereka tidak ada bukti yang solid terhadap hal itu.



Sejarah ideologi anti-sains yang represif tersebut mengajarkan bahwa benang merah dari narasi diatas semuanya sama. Philip Lenard, Trofim Lysenko, dan Li-Meng Yan semuanya didukung lembaga politik yang sangat berpengaruh dan berkuasa di negara masing-masing, memiliki massa yang sangat besar, yang tentu saja memiliki agenda politik untuk memperjuangkan kepentingan kelompok mereka, bukan kepentingan kemanusiaan. 


Mereka menjadi corong ideologi yang sangat represif, bukan corong dari kemanusiaan. Kesemua ideologi tersebut, baik Nazi, Komunisme Soviet, maupun White Supremacist dari awal memang hanya memanfaatkan massa untuk konsolidasi kekuasaan mereka, bukan untuk memberikan layanan publik yang terbaik bagi konstituen mereka. Lenard, Lysenko, dan Yan bukanlah tokoh pejuang kemanusiaan yang altruistik seperti Henry Dunant, Florence Nightingale, dan Albert Schweitzer karena mereka menjadi proksi kepentingan politis represif kelompok tertentu. Ideologi represif akan menghargai para penjilat dan penghasut, bukan pelayan kemanusiaan.


Satu hal yang harus dicermati, berbeda dengan ilmuwan yang berpegang teguh dengan etika dan kemanusiaan, terutama ilmuwan kedokteran dengan sumpah Hipokrates, mereka akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya (the end justifies the means) termasuk menyebarkan hoax yang sangat berbahaya jika dipercaya. Sains percaya dengan proses telaah rekan sejawat, diskursus kritis, presentasi data, etika penelitian, dan percaya bahwa teori yang usang dapat diperbaharui secara dialektik. 


Anti sains percaya dengan totalitarianisme, agitasi politik, peminggiran etika penelitian, anti-dialektik, dan percaya bahwa keyakinan mereka final dan tidak bisa dikritik. Paradigma anti-kritik dan anti-etika mereka membuat anti sains memiliki kepentingan yang sama dengan semua ideologi totaliter di dunia ini.


Kita sudah melihat kisah negara lain, kemudian, apa potensi masalah yang dapat ditimbulkan ideologi anti-sains di negara kita? Di era pandemi, anti sains akan langsung mengalienasi pengikutnya terhadap pelayanan kesehatan yang disediakan untuk mereka. Mereka bisa menolak pelayanan kesehatan karena kemakan hoax bahwa COVID-19 adalah sama dengan flu biasa. Selain itu, hoax anti-sains bisa mengurangi compliance terhadap program vaksinasi COVID-19 nantinya di masa depan sehingga memperpanjang durasi pandemi. 


Rentetan compliance terhadap hoax anti-sains akan berpotensi menurunkan life expectancy dan kualitas kesehatan negara kita. Negara kita sudah memulai program ‘universal healthcare coverage’ dengan penerapan BPJS kesehatan dan JKN, yang terinspirasi dari konsep Welfare state. Program ini jelas berpotensi di disrupsi oleh ideologi anti sains. Investasi besar negara kita untuk bidang kesehatan akan sia-sia kalau akhirnya publik kita lebih percaya dengan Hoax covidiot daripada protokol kesehatan WHO.


Sedihnya, sikap anti sains akhirnya membahayakan orang lain, terutama nakes yang berjuang di layanan kesehatan, karena pengabaian protokol kesehatan WHO akan semakin masif. Fitnah juga semakin masif, seperti fitnah bahwa nakes mengambil keuntungan dengan bertambahnya pasien dan mortalitas COVID-19. Jelas tuduhan yang tidak masuk akal dan tidak ada bukti sama sekali, tapi ada saja yang percaya terhadap omong-kosong tersebut. Jelas tidak ada nakes maupun industri farmasi manapun yang menginginkan pandemi COVID-19 ini terjadi, karena sebelumnya, mereka juga harus bertarung menghadapi berbagai penyakit berbahaya lainnya seperti Kanker, Jantung, HIV/AIDS, Diabetes, dan lainnya. 


Tenaga mereka sudah hampir habis menghadapi penyakit-penyakit tersebut, apa untungnya mereka menciptakan penyakit lain demi keuntungan mereka? Menciptakan penyakit yang juga mengancam nyawa mereka sendiri? Namun, hoax memang selalu penuh kontradiksi dan tidak logis, dan ini sangat mudah dipercaya oleh mereka yang tidak kritis.


Kemudian, Anti-sains menghancurkan inovasi suatu bangsa. Nazi Jerman dan Uni Soviet kehilangan komando kepemimpinan di bidang ilmu hayati karena kebijakan riset mereka sangat anti-sains. Ilmuwan-ilmuwan jenius dari negara tersebut akhirnya melarikan diri ke negara lain, terutama Amerika Serikat. 


Brain drain ini merupakan kesempatan emas yang hilang. Hal ini juga bisa terjadi di negara manapun, selama narasi anti-sains dibiarkan menjadi hoax yang ditelan bulat-bulat oleh masyarakat. Setelah inovasi berhenti, gerakan anti sains akan menjadi manifestasi kehendak berkuasa yang menindas kemanusiaan. 


Kehancuran Nazi Jerman dan Uni Soviet sudah mengajarkan, bahwa mereka akhirnya menciptakan chaos dan Vacuum of power yang mengorbankan mereka yang tidak berdosa untuk jalankan agenda politis mereka.


Di Amerika Serikat, kelompok ini sudah hampir berhasil menciptakan chaos selama pandemi COVID-19. Hal ini terlihat dengan jumlah infeksi dan mortalitas COVID-19 di Amerika Serikat adalah yang tertinggi di dunia, salah satunya karena spektrum ideologi konservatif dan kanan yang berkuasa disana cenderung mengabaikan protokol kesehatan WHO. 


Dr. Anthony Fauci, Direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) sampai menyatakan di era pandemi COVID-19 ini supaya berhati-hati dengan ‘bias anti-sains’ di Amerika Serikat. Ini suatu statement yang sebelumnya tidak pernah terdengar sama sekali di negara yang paling banyak memenangkan Nobel bidang Sains tersebut, karena Fauci menganggap masalahnya sudah sangat serius. 


Peringatan Fauci juga diamplifikasi oleh pemimpin redaksi jurnal ilmiah sangat bereputasi di sana seperti Lancet, Nature, dan Science, yang sangat prihatin dengan narasi anti-sains ideologi kanan tersebut. Pemilu Amerika Serikat 3 November nanti adalah penentuan, jalan apa yang akan dipilih negara Paman Sam tersebut dalam menghadapi pandemi. Jalan tersebut akan diobservasi dan mungkin juga diimitasi dengan cermat oleh seluruh dunia, terutama termasuk oleh negara kita sendiri.



Negara kita yang tercinta juga tentu saja terkena narasi anti-sains dan WHO tersebut, dan mulai marak disebarkan di media sosial. Namun sejauh ini aparat masih bertindak cepat dan tegas dengan mengamankan mereka yang bertanggung jawab. Tidak hanya itu, policy yang meragukan seperti ‘kalung korona’ dan ‘akselerasi procurement vaksin’ akhirnya mulai dikoreksi oleh pihak istana. Kedepannya, pemerintah kita perlu berperan lebih proaktif ketimbang sekedar menunggu hoax apa yang akan ‘meledak’ selanjutnya di media sosial, karena penyebaran hoax sangatlah cepat. Peran pemerintah, terutama kemenkominfo, dan lembaga penyiaran mereka seperti RRI dan TVRI akan sangat krusial di era pandemi. Pemerintah tidak cukup hanya mensosialisasikan protokol kesehatan ‘as it is’, namun juga harus aktif menarasikan program mereka secara interaktif. 


Kerjasama dengan konsorsium keilmuan, terutamanya ilmu kesehatan dan hayati (life sciences) untuk mempopulerkan sains terkait pandemi COVID-19 akan sangat membantu. Pemerintah bisa bekerja sama dengan konsorsium keilmuan tersebut untuk mengembangkan konten edukasi di media sosial, terkait protokol kesehatan, keamanan dan efektivitas vaksin, dan konten sains populer lainnya yang penting bagi publik di era pandemi COVID-19 ini.


Selain mendorong pemerintah berperan lebih aktif dalam kontek komunikasi publik, semua konsorsium keilmuan dan asosiasi profesi yang berkaitan dengan penanganan pandemi seyogyanya bersuara lebih lugas dan keras dalam menghadapi narasi anti-sains, yang merupakan kendaraan bagi ideologi totaliter. 


Janganlah bersikap netral, sebab narasi naif ‘netralitas’ hanyalah menguntungkan propagandis anti-sains, karena netralitas akan langsung diartikan dengan ketidakpedulian terhadap protokol kesehatan WHO, ketidakpedulian terhadap nasib bangsa ini di era pandemi, dan ketidakpedulian mengenai kemanusiaan itu sendiri. 


Terakhir, kita semua dapat berperan sangat penting menghadapi infodemik yang masif ini, dengan berhati-hati share berita di media sosial. Pastikan informasi yang dishare tersebut sejalan dengan pedoman WHO, yang dioperasionalkan oleh Kemenkes dan BNPB. 


Ingat saja perkataan Edward Deming “Without data you’re just a person with an opinion”, dan WHO membangun narasi mereka berdasarkan riset yang sangat ekstensif, dan mengolah data dalam jumlah banyak menjadi informasi yang berharga dalam menghadapi pandemi COVID-19. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar