Hatiku Surgaku Rumahku Surgaku

Jumat, 05 Januari 2024

Meneguhkan Politik Hukum Lingkungan

klik ustad suparto wijoyo

editor : dimas ginanjar

Rabu, 3 Januari 2024 | 11:42 WIB

klik jawa pos 

*

resonansi dalam kepak sayap kupu-kupu🧐


klik stanford 

klik stsci 

HARIAN ini membuka lembaran baru 2024 dengan Jati Diri Perlu Dengar Wawasan Kebencanaan di Pilpres. Diwartakan terjadinya gempa magnitudo 4,1 skala Richter di Sumedang pada pergantian tahun. Gempa di Papua magnitudo 6,5. Sebelumnya gempa yang sama terjadi di Aceh Jaya 6,5 skala Richter. Mengawali tahun baru, Jepang dilanda gempa berkekuatan 7,5 skala Richter (2/1/2024).

Tapi, bencana bukan itu saja. Tahun 2023 secara ekologis pun menyajikan bencana hidrometeorologi yang ternarasikan sebagai persoalan untuk diatasi pada 2024. BNPB melaporkan terjadinya 3.489 bencana selama 1 Januari hingga 4 Desember 2023. Cuaca ekstrem 981 kejadian dan karhutla 818 peristiwa. Terdapat 491 tanah longsor, 158 kekeringan, 26 gempa bumi, 24 abrasi, serta 2 erupsi gunung api. Bencana ini membuat 7,52 juta orang menderita dan mengungsi, 5.713 luka-luka, 222 jiwa meninggal, dan 15 hilang. Akibatnya, 29.241 rumah dan 755 fasilitas umum rusak.

Angka-angka itu merupakan data yang menggedor kesadaran agar negara tidak abai pada kepentingan lingkungan yang kerap dinistakan. Kita semua perlu becermin diri tentang lemahnya pengawasan atas alih fungsi lahan yang berlangsung TSM (terstruktur-sistematis-masif). Negara tidak elok mentradisikan pemahaman bahwa bencana adalah takdir dan siklus tahunan. Pemimpin dilarang mengundi nasib penduduk mengenyam nestapa. Kalaulah tahun 2024 nanti tetap menyajikan peta bencana ekologis yang meluas, adakah Pilpres 2024 bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan?

Bunuh Diri Ekologis

Bertahun-tahun kawasan lindung dipaksa melakukan bunuh diri ekologi (ecological suicide). Hutan dan perkebunan digerus perlahan tapi pasti untuk diubah menjadi pergudangan. Pejabat membentangkan karpet merah kepada industri tanpa konservasi. Penyalahgunaan tata ruang yang tengah dipertontonkan dengan vulgar harus dihentikan. Kebijakan perhutanan sosial mutlak menghadirkan penjagapenjaga hutan, bukan penjarah-penjarah hutan. Laku sidakep pengawe-awe (main mata dengan perambah hutan) wajib dipungkasi. Konversi lahan hutan yang berlangsung aksesif dan cenderung melegalisasi deforestasi saatnya dikoreksi.

Tahun 2024 dapat dijadikan momentum peneguhan politik hukum lingkungan yang memperkukuh wibawa negara. Rakyat membutuhkan sosok yang mampu memproteksi setiap jengkal teritori NKRI. Hari-hari ini harus dihelat tonggak pembenahan tata kelola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang bersendi harmoni kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Orientasi pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengakibatkan defisit ekologi.

Pertumbuhan ekonomi yang inklusif bagi kinerja ekologi adalah opsi tunggal di era green century. Banjir dan kekeringan dapat dicegah dengan menghadirkan ”desa hutan” dan ”kota hutan” (bukan sekadar hutan desa/hutan kota) sebagai ”yurisdiksi mata air”. Ini merupakan resolusi membangun negeri tanpa jerit tangis ekologis lagi.

Langkah Kecil Berdampak Besar

Mungkin langkah ini terlalu kecil, tetapi sebagaimana dikatakan Al Gore (2013), langkah ini pada pusarannya bolehlah small changes, tetapi memiliki big impacts. Ini merupakan sumbangsih untuk tatanan lingkungan dari titik lokal (think globally, act locally). Kita semua dapat melakukan secara personal. Apalagi kalau digerakkan oleh institusi pemerintahan hasil Pilpres 2024 untuk menjadi penerang dunia dalam penyelamatan lingkungan.

Siapa pun dan apa pun profesinya dapat menyodorkan prakarsa strategis-the new strategic possibilities and opportunities yang menyediakan skema mengatasi jerit tangis ekologis. Inilah makna terdalam kepedulian publik menghargai alam (nature appreciation principle) sedasar hak asasi alamnya (nature stewardship principle). Kehendak pribadi maupun administrasi untuk mengatasi problem lingkungan merupakan panggilan menata kehidupan bernegara.

Sewajarnyalah kita membangun negara sebagai rumah kehidupan yang ramah lingkungan dengan pemimpin yang memiliki gairah ekologis tinggi. Utamakan kepentingan bangsa dengan pembangunan nasional yang bervisi ekologi-ekonomi dan sosial secara seimbang. Penyelenggara pemilu sudah sepatutnya meneguhkan tema kebencanaan lingkungan dalam debat kandidat. Pemilu hendaknya menjadi kosmologi politik untuk memanen pemimpin yang bervisi ekologi.

Dari debat capres-cawapres yang telah lalu dan akan datang, kita semua dapat mengukur muatan pemikiran para kandidat pemimpin nasional meski sebersitan narasi visualnya. Selanjutnya ikuti selalu debat-debat berikutnya yang semoga layak simak.

Ingat Khotbah Gandhi

Dalam batas ini, keterjagaan negara adalah opsi utama. Siapa pun yang memanggul amanat demokrasi, pastilah terdapat mandat untuk menyelamatkan rakyat. Pasal 28 huruf H UUD 1945 yang mengingatkan kita semua agar pemimpin tetap mengedepankan hak konstitusional setiap warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pencemaran dan perusakan lingkungan yang tergelar di Nusantara membincangkan negara seolah jauh dari norma hukum UUD 1945. Jutaan orang mengalami gangguan kesehatan: terkena ispa, iritasi mata, asupan oksigen yang kurang, dan paru-paru yang radang. Korban mengalami derita berjemaah yang dalam rentang panjang membahayakan NKRI berupa rendahnya kompetensi SDM.

Kondisi ini mengancam lumpuhnya negara karena bonus demografi dapat menjadi ilusi dan beban kependudukan semata. Renungkanlah pesan filosofis Mohandas Karamchand Gandhi (1869–1948): ”... earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”. Ini khotbah penuh hikmah: sejatinya bumi dapat memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, tetapi tidak pernah cukup untuk “mengenyangkan” keserakahan seseorang. Optimistislah menjalani 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar