semakin merapat kepada Allah SWT, kepada orang tua, kepada para kyai, kepada para ustad/ustadzah, kepada para alim ulama (guru, dosen, sensei, senpai, suhu), dll.
merapat untuk mengaji, bukan untuk me-mata-mata-i dan mempersekusi.
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Keduanya berkata: \"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
surat 2 Al Baqarah Ayat 250
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَلَمَّا بَرَزُوْا لِجَـالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ قَا لُوْا رَبَّنَاۤ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَا مَنَا وَا نْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْکٰفِرِيْنَ
"Dan ketika mereka maju melawan Jalut dan tentaranya, mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."
surat 7 Al A'raf Ayat 126
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَمَا تَـنْقِمُ مِنَّاۤ اِلَّاۤ اَنْ اٰمَنَّا بِاٰ يٰتِ رَبِّنَا لَمَّا جَآءَتْنَا ۗ رَبَّنَاۤ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ
"dan engkau tidak melakukan balas dendam kepada kami, melainkan karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami." (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu)."
surat 2 Al Baqarah Ayat 201
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَاۤ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰ خِرَةِ حَسَنَةً وَّ قِنَا عَذَا بَ النَّا رِ
"Dan di antara mereka ada yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka."
*
muqoddimah kitab Riyadhus Shalihin karya Syaikh Imam an-Nawawi,
... إِنَّ للهِ عِبَادًا فُطَنَا ...
... طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الفِتَنَا نَظَروا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا ...
... أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا جَعَلُوها لُجَّةً واتَّخَذُوا ...
... صَالِحَ الأَعمالِ فيها سُفُنا ...
"Innalillahi ‘ibadan futhona, tholaqu ad-dunya wa khoful fitana, nadhoru fiha falamma ‘alimu, annaha laisat lihayyin wathona, ja’aluha lujjatan wattakhodzu, sholihal a’mali fiha sufuna.”
Artinya kurang lebih demikian, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana.
Ialah mereka yang menceraikan dunia karena khawatir akan tipu daya dan fitnahnya.
Mereka benar-benar melihat dan mengetahui, bahwa sesungguhnya dunia bukanlah tempat hidup yang sebenarnya bagi manusia.
Mereka melihat dunia sebagai bahtera lautan yang sangat dalam dan menjadikan amal saleh sebagai perahu untuk mengarunginya.
*
dakwah kepada manusia
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
surat 4 An-Nisa' ayat 114
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar."
surat 3 Āli 'Imrān 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
*
penjajahan di bidang ilmu dan teknologi.
HR. Abu Daud no. 4297 dan Ahmad 5: 278, shahih kata Syaikh Al Albani.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ السَّلاَمِ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا " . فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ " بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ " . فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ " حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ " .
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.”
*
jejak langkah intelijen Israel di Indonesia.
*
Global : A Web of Surveillance – Unravelling a murky network of spyware exports to Indonesia
May 2, 2024
An expansive range of highly invasive spyware and surveillance products are being imported and deployed in Indonesia, Amnesty International’s Security Lab said today as it released a new briefing in collaboration with media partners – Haaretz, Inside Story, Tempo, WAV research collective and Woz.
Through open-source intelligence, including commercial trade databases and spyware infrastructure mapping, the Security Lab found evidence of sales and deployment of highly invasive spyware and other surveillance technologies to companies and state agencies in Indonesia between 2017 and 2023.
The entities include the Indonesian National Police (Kepolisian Negara Republik Indonesia) and the National Cyber and Crypto Agency (Badan Siber dan Sandi Negara).
***
“The sale and transfer of highly invasive spyware and surveillance technologies to Indonesia continues to be a concerning development for human rights. The secretive trade of such spyware tools continues at a time when the rights to freedom of expression, peaceful assembly and association are already under attack in the country,”
said Jurre van Bergen, Technologist at Amnesty International.
***
A murky ecosystem of surveillance vendors
The sale and transfer of these spyware and surveillance technologies was enabled through a murky ecosystem of surveillance vendors, brokers and resellers with complex ownership structures.
The identified vendors include Luxembourg-based Q Cyber Technologies SARL (linked to NSO Group), the Intellexa consortium, Israel-based Wintego Systems Ltd and Saito Tech (also known as Candiru) and Malaysia-based Raedarius M8 Sdn Bhd (linked to FinFisher). The investigation also identified brokers and resellers based in Singapore and Indonesia.
Intentionally or otherwise, these obscured and non-transparent networks of companies can hide the nature of surveillance exports, making independent oversight challenging for national and international judicial authorities, regulators and civil society organizations. Limited transparency and the systemic lack of information on dual-use (technology or goods that can be used for either civilian and military purposes) surveillance transfers, including the suppliers and end-users involved and export licenses requested, granted, or rejected, make it challenging for regulatory mechanisms – where they exist – to be effectively enforced.
The Security Lab also identified malicious domain names and network infrastructure linked to multiple advanced spyware platforms, seemingly aimed at targeting individuals in Indonesia. Malicious domains tied to Candiru and Intellexa’s Predator spyware have imitated key national and regional news media outlets, opposition political parties and media stories related to documenting rights violations. Such attack sites are typically chosen by spyware operators to trick their intended targets to click through, which causes the device to be exposed to a potential infection.
While Amnesty has uncovered significant new evidence about spyware and surveillance systems supplied to Indonesia, this research did not involve a forensic investigation or an attempt to identify specific individuals who may have been targeted with such surveillance tools.
Highly invasive spyware tools are designed to leave as few traces as possible, making it exceedingly difficult to detect cases of unlawful misuse of these tools. Instead, the research focuses on the sale and transfer of several highly invasive spyware tools.
Amnesty International’s Security Lab requested comments and clarifications on the findings of the investigation from the twenty-one entities referenced in the investigation.
Amnesty International received responses from Candiru (referred to as Saito Tech in the research) and NSO Group (responding also for Circles and Q Cyber Technologies SARL) as well as exporting agencies Swiss State Secretariat for Economic Affairs (SECO) and Israeli Defense Exports Control Agency (DECA) which are reflected in the Security Lab briefing A web of surveillance: Unravelling a murky network of spyware exports to Indonesia. Candiru responded to explain that the company operates under the Israeli Ministry of Defense Export Control Agency (DECA) – Export Control Law, 5766-2007. NSO Group responded to explain that it is closely regulated by export control authorities in the countries “from which they export products.”
Human rights implication of spyware trade
The misuse of surveillance technologies, as well as the use of technologies incompatible with human rights, such as highly invasive spyware, are some of many tactics being used around the world to shrink civic space. The number of identified sales and deployment of highly invasive spyware to Indonesia is of special concern, as there is an ongoing assault on the rights to freedom of expression, peaceful assembly and association, personal security and freedom of arbitrary detention in the country.
“Human rights defenders and activists have repeatedly faced repression online in Indonesia. The Electronic Information and Transaction (EIT) law and other restrictive laws have been used to prosecute and intimidate human rights defenders, activists, journalists, academics and others. The murky trade in spyware tools to Indonesia adds another dangerous tool for potential intimidation. This cannot be allowed to continue” said Carolina Rocha da Silva, Operations Manager at Amnesty International’s Security Lab.
While Indonesia has ratified the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and recognizes the rights to freedom of expression, peaceful assembly and association, personal security and freedom of arbitrary detention, the country does not have laws specifically governing the lawful use of spyware and surveillance technologies.
Amnesty International’s Predator Files: Caught in the Net report, shows that even extensive human rights safeguards will not protect civil society against highly invasive spyware. For this reason, Amnesty International calls for a permanent global ban of highly invasive spyware and a moratorium – a halt on the sale, transfer and use of all spyware until there are proper international and national human rights regulatory frameworks in place that protect people from the human rights abuses caused by spyware and surveillance technology.
*
The Pegasus Project: One year on, spyware crisis continues after failure to clamp down on surveillance industry
July 18, 2022
klik YouTube
Is your country on this Pegasus Spyware list?#PegasusProject pic.twitter.com/jWuSXLhKtR
— Amnesty International (@amnesty) July 19, 2021
One year after the Pegasus Project revelations, the lack of a global moratorium on the sale of spyware is allowing the surveillance industry to continue unchecked, Amnesty International warned today.
The Pegasus Project uncovered how governments worldwide were using NSO Group’s invasive Pegasus spyware to put human rights activists, political leaders, journalists and lawyers around the world under unlawful surveillance.
Following repeated calls for the surveillance industry to be regulated, some steps have been taken in the right direction – but government action has not yet been enough.
***
Everyone targeted with NSO Group’s spyware has a right to remedy
Danna Ingleton, Amnesty Tech’s Deputy Director
***
“One year after the Pegasus spyware revelations shocked the world, it is alarming that surveillance companies are still profiting from human rights violations on a global scale,” said Danna Ingleton, Amnesty Tech’s Deputy Director.
“The Pegasus Project offered a wake-up call that action was urgently needed to regulate an industry that is out of control. Shamefully, governments worldwide are yet to step up and fully deal with this digital surveillance crisis.
“Everyone targeted with NSO Group’s spyware has a right to remedy. Global governments’ failure to take meaningful action is an insult to all those who have suffered, physically and psychologically, after being targeted with this invasive software.
“The unlawful targeted surveillance of human rights defenders and civil society is a tool of repression. It is time to clamp down on this industry that continues to operate in the shadows.”
The Pegasus Project was a collaboration by journalists from 17 media organizations in 10 countries, coordinated by Forbidden Stories. Amnesty International’s Security Lab used cutting-edge digital forensic tests and research methodologies to confirm evidence of targeting and infections on scores of phones around the world.
In the last year, the Security Lab uncovered new instances of targeting using Pegasus in Morocco-Western Sahara and Poland. In addition, the Security Lab independently confirmed numerous additional cases where Pegasus was still being used to unlawfully target people, including cases in El Salvador, Israel/Occupied Palestinian Territories, Poland, and Spain.
Unlawful surveillance violates the right to privacy, and can also violate the rights to freedom of expression, opinion, association, and peaceful assembly.
‘A very violent form of censorship’
Amnesty International has been investigating unlawful surveillance for many years. There is mounting evidence of human rights violations being committed by governments, and how companies profit from unlawful targeted surveillance.
Every month, there are new cases confirmed of people being targeted with Pegasus. Amnesty International interviewed several people who had been infected with Pegasus, who told of their distress at being targeted.
***
That’s their goal: to make you paranoid, isolate you from people and lock you in a prison
Hicham Mansouri, Moroccan journalist
***
Julia Gavarrete, a journalist in El Salvador, said: “It’s a shame that a powerful tool to combat criminals is being used to attack independent journalists and human rights defenders. It’s a shame that we have no clue about who was behind the targeting. It’s impossible not to feel angry when our entire life is at someone else’s hands, and there’s no answers about the responsibility of this.
“Being targeted led me to change my way of communicating, the places I used to go, and also to think twice about the type of information I want to share with others – not only because of my own security, but to protect the integrity of those who communicate with me. I have to be aware of the places we visit and try to be very careful every time we have our devices near… As a journalist, I have to guard my sources, but as a woman, I need to protect my family and friends. Surveillance entails an indignity to our professional life and our private life.”
Hicham Mansouri, a Moroccan journalist living in France, described being targeted as “a very violent form of censorship, because we deprive ourselves of expressing ourselves on many subjects both in a professional and personal context”. He added: “That’s their goal: to make you paranoid, isolate you from people and lock you in a prison.”
Ongoing investigations
There are currently open investigations and cases pending against NSO Group in France, India, Mexico, Poland and Spain. In March, the European Parliament established the PEGA Committee to investigate the use of Pegasus and other spyware in Europe.
In November 2021, the United States’ government placed NSO Group on its Entity List, for “engaging in activities that are contrary to the national security or foreign policy interests”. Later that month, Apple filed a lawsuit against NSO Group to hold it accountable for the surveillance and targeting of Apple users.
In recent weeks, there have been reports that US defence contractor company L3Harris is in talks to buy ownership of Pegasus software. NSO Group’s future remains uncertain.
“Any attempt by NSO Group to alter its business model in a bid to evade accountability must be resisted. The entire surveillance industry is broken and needs urgent reform,” said Danna Ingleton.
“We continue to call for a global moratorium on the sale, transfer and use of spyware until human rights regulatory safeguards that govern its use are in place.”
States have binding obligations under international law to not only respect human rights, but also to protect them from abuse by third parties, including private companies.
*
1. Laporan Investigasi: Indonesia Impor Spyware dari Perusahaan Israel
Editor Ida Rosdalina
Jumat, 3 Mei 2024 16:16 WIB
klik tempo
Investigasi internasional menemukan bahwa setidaknya empat perusahaan yang terkait dengan Israel telah menjual teknologi spyware dan pengawasan siber yang invasif ke Indonesia, yang tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan Israel dan merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.
Penelitian yang dilakukan oleh Security Lab, Amnesty International – berdasarkan sumber terbuka termasuk catatan perdagangan, data pengiriman dan pemindaian internet – mengungkap hubungan antara badan dan lembaga resmi pemerintah di negara Asia Tenggara dan perusahaan teknologi Israel NSO, Candiru, Wintego dan Intellexa, sebuah konsorsium perusahaan terkait yang awalnya didirikan oleh mantan perwira militer Israel, setidaknya sejak 2017. Selain empat perusahaan Israel tersebut, sebuah perusahan Jerman, FinFisher, yang terafiliasi dengan Raedarius M8 Sdn Bhd yang berbasis di Malaysia, juga menjadi salah satu pemasok.
Laporan investigasi Security Lab Amnesty Internasional hasil kerja sama dengan Haaretz, Inside Story, Tempo, kolektif riset WAV, dan Woz, mengungkapkan Indonesia tengah mengimpor dan menyebar sejumlah produk spyware dan pengawasan yang sangat invasif.
Entitas tersebut termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kepolisian Negara Republik Indonesia) dan Badan Siber dan Sandi Negara (Badan Siber dan Sandi Negara).
Temuan ini memunculkan kekhawatiran akan pelanggaran HAM. Jurre Van Bergen, ahli teknologi di Amnesty International menyebutkan penjualan dan pengalihan teknologi spyware dan pengawasan yang sangat invasif ke Indonesia terus menjadi perkembangan yang memprihatinkan dalam bidang hak asasi manusia.
“Perdagangan rahasia alat-alat spyware tersebut terus berlanjut pada saat hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai sudah diserang di negara ini,” katanya.
Jaringan Perdagangan yang Tidak Jelas
Dalam laporannya, Amnesty Internasional menyebutkan penjualan dan pengalihan teknologi spyware dan pengawasan ini dimungkinkan melalui ekosistem vendor, pialang, dan pengecer pengawasan yang suram dengan struktur kepemilikan yang kompleks. Investigasi juga mengidentifikasi broker dan reseller yang berbasis di Singapura dan Indonesia.
Jaringan perdagangan yang suram ini dapat menyembunyikan sifat pengawasan ekspor. Transparansi yang terbatas dan kurangnya informasi secara sistemik mengenai transfer pengawasan penggunaan ganda (untuk tujuan sipil dan militer), termasuk pemasok dan pengguna akhir yang terlibat dan izin ekspor yang diminta, diberikan, atau ditolak, menjadi tantangan bagi mekanisme peraturan – jika ada – untuk ditegakkan secara efektif.
Domain-domain Berbahaya
Security Lab juga mengidentifikasi nama domain berbahaya dan infrastruktur jaringan yang terkait dengan beberapa platform spyware canggih, yang tampaknya ditujukan untuk menargetkan individu di Indonesia. Domain jahat terkait spyware Predator milik Candiru dan Intellexa telah meniru outlet media berita utama nasional dan regional, partai politik oposisi, dan berita media terkait dengan pendokumentasian pelanggaran hak asasi manusia. Situs serangan seperti ini biasanya dipilih oleh operator spyware untuk mengelabui target yang dituju agar mengklik, sehingga menyebabkan perangkat terkena potensi infeksi.
Amnesty menyatakan mereka tidak dapat mengidentifikasi individu yang menjadi target pengawasan tersebut. Alat spyware yang sangat invasif dirancang untuk meninggalkan jejak sesedikit mungkin, sehingga sangat sulit untuk mendeteksi kasus penyalahgunaan alat ini secara melanggar hukum.
Candiru menanggapi dengan menjelaskan bahwa perusahaan tersebut beroperasi di bawah Badan Pengendalian Ekspor Kementerian Pertahanan Israel (DECA) – Undang-undang Pengendalian Ekspor, 5766-2007. NSO Group menjelaskan bahwa mereka diatur secara ketat oleh otoritas kontrol ekspor di negara “tempat mereka mengekspor produk.”
Daftar Hitam AS
Amerika Serikat memasukkan NSO ke dalam daftar hitam pada 2021 karena kekhawatiran bahwa teknologi peretasan teleponnya telah digunakan oleh pemerintah asing untuk “menargetkan secara jahat” para pembangkang politik, jurnalis, dan aktivis. Penunjukan ini mempersulit perusahaan-perusahaan AS untuk berbisnis dengannya.
Candiru dan Intellexa juga tunduk pada peraturan kontrol perdagangan AS.
Pada Maret, AS menjatuhkan sanksi terhadap Intellexa karena “mengembangkan, mengoperasikan, dan mendistribusikan teknologi spyware komersial yang digunakan untuk menargetkan warga Amerika, termasuk pejabat pemerintah AS, jurnalis, dan pakar kebijakan”.
Potensi Pelanggaran HAM
Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan mengakui hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai, keamanan pribadi dan kebebasan penahanan sewenang-wenang. Namun, Indonesia tidak memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur penggunaan spyware dan teknologi pengawasan yang sah.
“Pembela dan aktivis hak asasi manusia telah berulang kali menghadapi penindasan secara online di Indonesia. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan undang-undang pembatasan lainnya telah digunakan untuk mengadili dan mengintimidasi pembela hak asasi manusia, aktivis, jurnalis, akademisi, dan lainnya. Perdagangan alat spyware yang tidak jelas ke Indonesia menambah potensi intimidasi yang berbahaya. Hal ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut” kata Carolina Rocha da Silva, Manajer Operasi di Security Lab Amnesty International.
*
2. Investigasi Tempo dan Amnesty International: Produk Spyware Israel Dijual ke Indonesia
Editor Yudono Yanuar
Jumat, 3 Mei 2024 16:26 WIB
klik tempo
Sejumlah besar produk spyware dan surveillance Israel yang sangat invasif diimpor dan disebarkan di Indonesia, kata Lab Keamanan Amnesty International ketika merilis laporan investigasi terbaru bekerja sama dengan mitra media – Tempo, Haaretz, Inside Story, kelompok riset WAV, dan Woz.
Dalam rilis yang disiarkan Kamis, 2 Mei 2024, Amnesty menyebutkan bahwa melalui intelijen sumber terbuka, termasuk database perdagangan komersial dan pemetaan infrastruktur spyware, Lab Keamanan menemukan bukti penjualan dan penyebaran spyware sangat invasif dan teknologi pengawasan lainnya ke perusahaan dan lembaga negara di Indonesia antara tahun 2017 dan 2023.
Entitas tersebut termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Siber dan Sandi Negara. Polri dan BSSN belum menjawab surat permintaan wawancara Tempo hingga Jumat, 3 Mei 2024.
Hasil liputan investigasi selengkapnya akan dimuat di Majalah Tempo yang terbit hari Minggu, 5 Mei 2024 untuk edisi digital, sedangkan edisi cetaknya terbit pada Senin, 6 Mei 2024.
Penjualan dan pengalihan teknologi spyware dan surveillance ini dimungkinkan melalui ekosistem vendor, pialang, dan pengecer pengawasan dengan struktur kepemilikan yang kompleks.
Vendor yang teridentifikasi termasuk Q Cyber Technologies SARL yang berbasis di Luksemburg (terkait dengan NSO Group), konsorsium Intellexa, Wintego Systems Ltd dan Saito Tech yang berbasis di Israel (juga dikenal sebagai Candiru) dan Raedarius M8 Sdn Bhd yang berbasis di Malaysia (terkait dengan FinFisher).
Investigasi juga mengidentifikasi broker dan reseller yang berbasis di Singapura dan Indonesia.
Disengaja atau tidak, jaringan perusahaan yang tidak jelas dan tidak transparan ini dapat menyembunyikan sifat pengawasan ekspor, sehingga pengawasan independen menjadi tantangan bagi otoritas peradilan nasional dan internasional, serta regulator dan organisasi masyarakat sipil.
Lab Keamanan juga mengidentifikasi nama domain berbahaya dan infrastruktur jaringan yang terkait dengan beberapa platform spyware canggih, yang tampaknya ditujukan untuk menargetkan individu di Indonesia, demikian diungkap Transparancy.
"Domain berbahaya yang terkait dengan spyware Candiru dan Predator Intellexa telah meniru outlet media berita utama nasional dan regional, partai politik oposisi, dan berita media terkait dengan pendokumentasian pelanggaran hak asasi manusia," kata rilis lembaga internasional ini.
Situs serangan seperti ini biasanya dipilih oleh operator spyware untuk mengelabui target yang dituju agar mengklik, sehingga menyebabkan perangkat berpotensi terkena virus. Dari sini, pemasang bisa mengumpulkan informasi dari individu atau pengguna perangkat tertentu.
Surveillance merupakan tindakan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi dari individu atau pengguna perangkat tertentu dengan interception yaitu tindakan untuk menangkap dan mengubah jalur komunikasi secara diam-diam tanpa pengetahuan pengguna perangkat. Tindakan ini memungkinkan terjadi akses secara ilegal terhaap data rahasia
Atau dengan cyber weapon dan malware, yaitu alat dan perangkat lunak untuk menyusup ke perangkat digital seseorang dengan tujuan menyedot semua data dari aktivitas perangkat digital. Baik itu lewat metode one click mau pun zero click.
Meskipun Amnesty telah menemukan bukti baru yang signifikan mengenai sistem spyware dan pengawasan yang dipasok ke Indonesia, penelitian ini tidak melibatkan penyelidikan forensik atau upaya untuk mengidentifikasi individu tertentu yang mungkin menjadi sasaran alat pengawasan tersebut.
Alat spyware yang sangat invasif ini dirancang untuk meninggalkan jejak sesedikit mungkin, sehingga sangat sulit untuk mendeteksi kasus penyalahgunaan alat ini secara melanggar hukum. Sebaliknya, penelitian ini berfokus pada penjualan dan transfer beberapa alat spyware yang sangat invasif.
Lab Keamanan Amnesty International menklaim telah minta tanggapan dan klarifikasi mengenai temuan investigasi ini dari dua puluh satu entitas yang dirujuk dalam investigasi tersebut.
Menurut Amnesty International, penyalahgunaan teknologi pengawasan, serta penggunaan teknologi yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia, seperti spyware, adalah beberapa dari banyak taktik yang digunakan di seluruh dunia untuk mempersempit ruang sipil.
*
3. Amnesty Desak DPR dan Pemerintah Buat Aturan Ketat Impor Spyware
Reporter Eka Yudha Saputra
Editor Eko Ari Wibowo
Jumat, 3 Mei 2024 17:25 WIB
klik tempo
Amnesty Internasional Indonesia mendesak DPR dan pemerintah membuat peraturan ketat terhadap spyware yang sangat invasif dan dipakai untuk melanggar hak asasi manusia.
“Amnesty mendesak parlemen dan pemerintah untuk segera memberlakukan peraturan yang berarti, termasuk larangan terhadap spyware yang sangat invasif,” Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, lewat keterangan tertulisnya, 2 Mei 2024.
Usman mengatakan ekosistem antara pemasok, pialang dan pengecer spyware dan pengawasan yang suram, serta struktur perusahaan yang kompleks, memungkinkan industri ini dengan mudah menghindari akuntabilitas dan regulasi.
Di Indonesia, jumlah penjualan dan penyebaran spyware juga sangat invasif. Usman mengatakan ruang sipil telah menyusut dalam beberapa tahun terakhir akibat pelanggaran yang terus berlanjut terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan keamanan pribadi disebabkan penggunaan spyware.
Lab Keamanan Amnesty International merilis laporan investigasi terbaru hasil kerja sama dengan berbagai media dan lembaga, antara lain Tempo, Haaretz, Inside Story, kelompok riset WAV, dan Woz. Laporan ini mengungkap masifnya produk spyware dan surveillance Israel yang diimpor dan disebarkan di Indonesia.
Amnesty menyebutkan Lab Keamanan, melalui intelijen sumber terbuka, termasuk database perdagangan komersial dan pemetaan infrastruktur spyware, menemukan bukti penjualan dan penyebaran spyware yang sangat invasif ke perusahaan dan lembaga negara di Indonesia antara 2017 dan 2023. Lembaga yang diduga membeli spyware tersebut Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Siber dan Sandi Negara.
Polri dan BSSN belum menjawab surat permintaan wawancara Tempo hingga Jumat, 3 Mei 2024.
Investigasi ini juga mengidentifikasi broker dan reseller yang berbasis di Singapura dan Indonesia. Namun jaringan perusahaan ini lolos dari sistem pengawasan ekspor karena tidak adanya transparansi.
Hasil liputan investigasi ini akan dimuat di Majalah Tempo edisi Ahad, 5 Mei 2024 untuk edisi digital, sedangkan edisi cetaknya terbit pada Senin, 6 Mei 2024.
*
4. Investigasi Tempo Ungkap Perusahaan Israel Diduga Pasok Spyware ke Indonesia sejak 2017
Reporter Han Revanda Putra
Editor Iqbal Muhtarom
Sabtu, 4 Mei 2024 12:47 WIB
klik tempo
Empat perusahaan Israel diduga memasok teknologi spyware dan surveillance ke Indonesia sepanjang 2017–2023. Empat vendor yang teridentifikasi termasuk Q Cyber Technologies SARL yang berbasis di Luksemburg (terkait dengan NSO Group), konsorsium Intellexa, Wintego Systems Ltd dan Saito Tech yang berbasis di Israel (juga dikenal sebagai Candiru), dan Raedarius M8 Sdn Bhd yang berbasis di Malaysia (terkait dengan FinFisher).
Lab Keamanan Amnesty International bekerja sama dengan Tempo, Haaretz, Inside Story, kelompok riser WAV, dan Woz telah menyelidiki dugaan ini melalui intelijen sumber terbuka, termasuk database perdagangan komersial dan pemetaan infrastruktur spyware.
Dari penyelidikan itu, mereka menemukan bukti penjualan dan penyebaran spyware sangat invasif dan teknologi pengawasan lainnya ke perusahaan dan lembaga negara di Indonesia antara 2017 dan 2023.
Spyware merupakan sejenis malware yang mampu memata-matai titik akhir atau endpoint yang terinfeksi. Karena itu, spyware dirancang untuk mengawasi dan melacak kegiatan pengguna dan mencuri informasi yang dapat membuat pengguna beresiko terkena serangan siber.
Amnesty menyebutkan, entitas sasaran penjualan teknologi spyware termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri dan Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN. Polri dan BSSN belum menjawab surat permintaan wawancara Tempo hingga Jumat, 3 Mei 2024.
Jurre van Bergen, teknolog di Amnesty International, menyatakan penjualan dan transfer perangkat lunak mata-mata dan teknologi pengawasan yang sangat invasif ke Indonesia menjadi ancaman bagi penegakan HAM. "Perdagangan rahasia dari alat-alat mata-mata terus berlangsung pada saat hak-hak atas kebebasan berekspresi sudah berada dalam serangan di negara tersebut," kata van Bergen dalam keterangan tertulis, Rabu, 1 Mei 2024.
Indonesia tidak memiliki legislasi khusus yang mengatur penggunaan spyware atau teknologi pengawasan. Dalam ketiadaan regulasi dan mekanisme pengawasan hukum yang nyata, tulis Haaretz pada Kamis, 2 Mei 2024, peluang teknologi tersebut akan disalahgunakan oleh klien-kliennya di negara-negara non-Barat semakin meningkat.
Hasil liputan investigasi selengkapnya akan dimuat di majalah Tempo yang terbit pada Ahad, 5 Mei 2024 untuk edisi digital, sedangkan edisi cetaknya terbit pada Senin, 6 Mei 2024.
*
5. Cara Kerja Teknologi Pengintai Asal Israel yang Masuk Indonesia: Palsukan Situs Berita
Reporter Han Revanda Putra
Editor Ahmad Faiz Ibnu Sani
Sabtu 4 Mei 2024 22:00 WIB
klik tempo
Sejumlah perusahaan asal Israel diduga menjual teknologi pengintaian atau spyware ke Indonesia. Hal ini terungkap dalam investigasi bersama antara Lab Keamanan Amnesty International, Tempo, Hareetz, Inside Story, kelompok riset WAV, dan Woz.
Candiru, salah satu perusahaan itu, menciptakan spyware yang diduga bekerja dengan memalsukan situs-situs berita di Indonesia. Dilansir dari Hareetz, Indonesia merupakan salah satu klien Candiru. Sumber-sumber di Israel mengonfirmasi kesepakatan mereka telah terjadi sejak 2018.
Investigasi menemukan setidaknya tiga pengiriman komponen perangkat keras dan perangkat lunak terkait dengan sistem infiltrasi atau ekstraksi intelijen siber pada periode 2020 hingga 2021 dengan total nilai US$33 juta.
Candiru, menurut Hareetz, telah ditambahkan ke daftar hitam Amerika Serikat pada 2021. Penambahan ke daftar hitam ini dilakukan setelah teknologinya disalahgunakan oleh klien.
“Candiru menjual teknologi spyware bernama ‘Cyrus’ yang dapat meretas sistem PC serta ponsel,” tulis Hareetz dalam laporannya, Kamis, 2 Mei 2024.
Analisis jaringan mengungkapkan adanya domain yang meniru situs berita Indonesia, termasuk TribunNews, Tirto, Media Indonesia dan Antara News. Sebuah domain bernama Indoprogress juga ditemukan.
Laboratorium Keamanan Amnesty belum mengonfirmasi apakah domain tambahan ini merupakan server infeksi spyware Candiru. Meskipun begitu, mereka menyatakan terus mengamati domain spyware Candiru tambahan dengan fokus pada Indonesia hingga 2022.
Amnesty menyebutkan, entitas sasaran penjualan teknologi spyware termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri dan Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN. Polri dan BSSN belum menjawab surat permintaan wawancara Tempo hingga Jumat, 3 Mei 2024.
Jurre van Bergen, teknolog di Amnesty International, menyatakan penjualan dan transfer perangkat lunak mata-mata dan teknologi pengawasan yang sangat invasif ke Indonesia menjadi ancaman bagi penegakan HAM.
"Perdagangan rahasia dari alat-alat mata-mata terus berlangsung pada saat hak-hak atas kebebasan berekspresi sudah berada dalam serangan di negara tersebut," kata van Bergen dalam keterangan tertulis, Rabu, 1 Mei 2024.
Hasil liputan investigasi selengkapnya akan dimuat di majalah Tempo yang terbit pada Ahad, 5 Mei 2024 untuk edisi digital, sedangkan edisi cetaknya terbit pada Senin, 6 Mei 2024.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar