klik sayangi bumi maka akan disayang langitan

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

(HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

*

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

surat (30) ar rum ayat 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)

surat (5) al maa'idah ayat 32

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ (٣٢)

surat 4 An Nisa' ayat 114

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ  ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

surat 3 Āli 'Imrān ayat 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

*

klik nasehat

klik emak

*

Senin, 30 Januari 2023

Refleksi 100 Tahun, Menjaga Nalar Kritis NU

Oleh: KH ABDUSSALAM SHOHIB BISRI

Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, Pengasuh PP Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang

Editor : M. Sholahuddin

OPINI

29 Januari 2023, 17:58:44 WIB

klik jawapos 

muqoddimah kitab Riyadhus Shalihin karya Syaikh Imam an-Nawawi,

... إِنَّ للهِ عِبَادًا فُطَنَا ...

... طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الفِتَنَا نَظَروا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا ...

... أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا جَعَلُوها لُجَّةً واتَّخَذُوا ...

... صَالِحَ الأَعمالِ فيها سُفُنا ...

"Innalillahi ‘ibadan futhona, tholaqu ad-dunya wa khoful fitana, nadhoru fiha falamma ‘alimu, annaha laisat lihayyin wathona, ja’aluha lujjatan wattakhodzu, sholihal a’mali fiha sufuna.”

Artinya kurang lebih demikian, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana.

Ialah mereka yang menceraikan dunia karena khawatir akan tipu daya dan fitnahnya.

Mereka benar-benar melihat dan mengetahui, bahwa sesungguhnya dunia bukanlah tempat hidup yang sebenarnya bagi manusia.

Mereka melihat dunia sebagai bahtera lautan yang sangat dalam dan menjadikan amal saleh sebagai perahu untuk mengarunginya.

klik Hijjaz - Pandangan Mata

klik Iwan Fals - Mata Hati

klik jadwal sholat 

*

AGUS Sunyoto dalam Post Hegemony XXVII: Jamaah Nahdliyyin Tidak Pernah Dijajah Belanda, menggambarkan seorang intelektual Belanda, Nuchter van Oogkleppen, berpandangan bahwa Belanda tidak pernah menjajah Indonesia. Justru, sebaliknya, Belanda menjalankan Heilige plicht beschaven.Tugas suci memberadabkan. Belanda telah berjasa besar dalam usaha-usaha memberadabkan bangsa Indonesia yang kala itu terbelakang.

Namun, sejak mengkaji serius literasi kenusantaraan dan berdiskusi dengan berbagai kalangan tokoh NU dan pesantren, Nuchter baru menyadari bahwa di samping kebenaran fakta bahwa Belanda telah menjajah Indonesia dengan dibuktikan Proklamasi Kemerdekaan RI. Selain itu, juga mengakui bahwa komunitas pesantren tradisional (kiai, santri, mursyid tariqah dan pengikutnya), selalu melakukan perlawanan sejak Abad ke-15 hingga ke-19 M. Sejak masa VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang. Artinya, tidak pernah terjajah, walau kerap mengalami kegagalan dalam melakukan perlawanan terhadap imperialis.

Agus Sunyoto mengajak Nuchter untuk berpandangan obyektif. Bahwa, memaknai kekalahan dalam perang fisik, tidak identik dengan menyerah dan tunduk kepada pemenang. Meski pihak yang kalah tidak berdaya menghadapi pihak yang menang, namun selama pihak yang kalah masih bisa mengatakan “tidak”, dan bahkan menolak aturan yang ditetapkan pemenang dengan berbagai cara, maka pihak yang kalah belum tunduk, apalagi dijajah oleh pemenang. Terlebih komunitas pesantren tradisional juga cerdik melakukan “perlawanan pasif” dengan strategi “anti tasyabbuh”. Perlawanan budaya terhadap kolonialisme, sebagaimana tergambar dalam  hasil bahtsul masail Muktamar NU ke-2, pada 1927.

Komunitas pesantren tradisional itu identik dengan jamaah Nahdliyyin atau warga NU. Dan, dalam Anggaran Dasar disebutkan: NU didirikan oleh ulama pondok pesantren. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sesungguhnya jamaah Nahdliyyin, sesuai sejarah perlawanan pendahulunya terhadap kolonial, tidak pernah dijajah.

Mengapa demikian? Ulama-kiai, baik pesantren maupun mursyid taariqah, adalah entitas sosial keagamaan yang mandiri, berdaulat (memiliki harkat martabat tinggi), teguh (istiqamah dalam kebenaran), berani (menjadi pelopor), terbuka (dengan keluasan ilmu), teladan (dengan pandangan dan sikap moderat), dan visioner (dengan intuisi kemaslahatan). Hal demikian dididikkan kepada santri dan diajarkan kepada jamaahnya. Sehingga berkemampuan untuk merespons kondisi dan lingkungan yang ditujukan untuk perubahan demi kemaslahatan dan keadilan.

Kedatangan bangsa Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, dan sekutu, direspons komunitas Islam tradisional dengan nalar kritis. Tidak mudah terbuai dan terbawa arus. Kemudian, dilawan sebagai ancaman atau sumber malapetaka. Bahkan, perlawanan fisik yang monumental dilakukan melalui Resolusi Jihad Rais Akbar PBNU Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari pada 1945.

Respons dalam bentuk berbeda-beda dilakukan NU saat agresi sekutu, pemberontakan DI/TII dan PRRI Permesta, Gerakan PKI, hingga sepanjang dalam tekanan Orde Baru selama 32 tahun. Nalar kritis hingga perlawanan itu bersumber dari kesadaran keagamaan dan kemasyarakatannya yang matang disertai hujjah yang kuat dan kontekstual berdasar kaidah keagamaan.

Semua kondisi itu dihadapi para ulama-kiai dan NU dengan keteguhan sikap, kecerdikan, dan nalar kritis, yang tidak berubah. Hal itu karena kiai pesantren-NU tertempa dan terlatih sebagai ulama pewaris perjuangan dan keteladan Nabi Muhammad. Tidak ada rasa khawatir, apalagi takut sedikit pun. Tidak terbuai oleh tipu daya, apalagi hanyut terbawa arus, dengan keuntungan pragmatis. Sebaliknya, selalu istiqamah dalam keyakinan atas kebaikan dan kebenaran.

Inilah yang selalu dipegang ulama-kiai. Kedaulatan nalar dan sikap, dalam menjaga kesucian agama dan kemaslahan sosial (rakyat dan bangsa). Hal demikian itu bisa ditelusuri dalam kepemimpinan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Ali Ma’shum, KH Ahmad Shiddiq, KH Sahal Mahfudz, dan para penerusnya.

Khittah NU pada 1984 adalah cermin kedaulatan nalar dan sikap NU dalam menjaga kesucian agama dan kemaslahatan bermasyarakat bangsa, yang menjadi tugasnya. Gus Dur telah mempraktikkannya, walau NU harus hidup dalam tekanan dan ketidaknyamanan. Itu tidak mengurangi keteguhan sikap NU. Kokoh pada prinsip, walau dengan taktis merespons setiap dinamika yang terjadi untuk bertahan. Tidak hanya bertahan, bahkan NU mendapat simpati luas dari internal komunitas pesantren. Juga, dari eksternal kalangan nasionalis, reformis, dan modernis atas konsistensinya bersikap kritis terhadap kondisi serta mandiri.

Sekadar contoh, kepemimpinan KH Hasyim Muzadi dan KH Said Aqil Siradj. Keduanya kader dan pewaris pemikiran Gus Dur. Masing-masing memiliki puzzle-puzzle perjalanan, di mana NU tetap teguh, kritis, dan berdaulat dalam nalar dan sikapnya. Berbagai masalah mendapat perhatian dan disikapi NU secara proporsional dan strategis. Baik lokal, nasional maupun internasional.

Para ulama-kiai tidak hanya menghadapi tekanan Orde Baru. Saat dan pascareformasi harus menyelesaikan residu konflik dari sampah sosial-politik. Juga, menghadapi para komprador asing dan anasir kekuatan Orde Baru, yang bangkit melalui berbagai kelompok, yang merusak konstruksi dan tujuan berbangsa di berbagai bidang dan sektor, serta membonceng sentimen SARA, khususnya agama, untuk memicu dan mengobarkan konflik berdimensi horisontal maupun vertikal.

Ketangguhan ulama-kiai menghadapi kondisi dengan nalar dan kesadaran kritisnya itu harus dilemahkan dari dalam lingkungan NU. Agar rapuh dan tidak bertenaga lagi. Tahun 1938 terjadi gesekan di dalam tubuh NU, antara kalangan tua dan muda. Sepanjang Orde Baru pun terjadi benturan kepentingan, konflik dari dalam dan luar NU. Bahkan, pascareformasi, di samping harus menghadapi kekuatan dominan yang memanfaatkan transisi pemerintahan demi pragmatisme, juga harus menyelesaikan konsolidasi internal NU, yang terpolarisasi dan terurai oleh paparan pragmatisme eksternal, hingga menjadi wabah pragmatisme yang meluas dan akut.

Namun, para ulama-kiai NU tetap kokoh dan tangguh menghadapinya. Tidak lain karena NU memiliki sistem kesadaran dan fikrah sendiri dengan nalar kritis. Tidak mudah luntur oleh paparan kepentingan sesaat. Apalagi rapuh terbuai pragmatisme yang memabukkan. Ulama-kiai NU tetap bisa lebih percaya diri. Akhirnya, dihormati harkat-martabatnya. Karena konsisten berpegang pada kesadaran ilmu dan keyakinan atas Islam Aswaja an-Nahdliyyah serta nalar kritis yang dikembangkan secara konstekstual.

Bagi mereka, dunia beserta dinamika bermasyarakat-bangsa, beragama, dan berorganisasi (berjamiyyah NU), baik terkait kekuasaan, jabatan, keuntungan, ketidakberuntungan, keberhasilan, ketidakberhasilan, kekayaan, dan lain sebagainya, hanyalah sebuah wasilah (sarana), bukan ghayah (tujuan). Sementara tujuannya adalah kemaslahatan, keadilan, dan kesejahteraan lahir-batin serta puncak tujuan adalah mencari ridla Allah SWT.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari perjalanan NU tersebut adalah ketangguhan ulama-kiai NU, beserta santri dan para pengikutnya, dalam menjalankan tanggung jawab sebagai pewaris perjuangan Nabi Muhammad, demi kedaulatan beragama, mencerdaskan kehidupan, dan martabat berbangsa, berujung pada ridla Allah serta syafaat Nabi Muhammad SAW.

Perjuangan itu dilakukan secara mandiri, berintegritas, keberanian, keteladanan, kepeloporan, visioner dan istiqomah, sebagaimana hadit=ss: Ya ma’syara al-qurro, istaqiimuu fain akhodtum yamiinan wa syimaalan laqod dholaltum dholalan ba’idan. Wahai para ulama, berjalanlah pada lajur yang istiqamah, jika kalian beralih pada jalan kanan atau kiri, maka sungguh tersesatlah kalian dengan kesesatan yang jauh.

Maka, memasuki genap usia 100 tahun, NU tidak boleh kehilangan kesadaran. Kesadaran terhadap latar belakang kelahiran dan tujuan eksistensinya di Indonesia beserta peranannya di pentas global. Menjaga nalar kritis NU adalah menjaga karakter, kepribadian, jatidiri, dan identitas ulama-kiai NU, bercirikan bangkit bergerak untuk selamanya. Perbedaan pendapat di dalam NU adalah cerminan keluasan ilmu, sudut pandang dan kemudahan, yang tidak mengorbankan izzul Islam wal Muslimin, persatuan dan tujuan berjamiyyah.

Kejelian bersikap, tidak mudah tertipu dan diperdaya, adalah cermin keteguhan berkhidmat dalam kebaikan dan kebenaran. Sebagaimana fatwa Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari terkait anti tasyabbuh, penerimaan Pancasila, haji dlarar (identik masjid dlarar dalam QS. At-Taubat 9, Ayat 107), Resolusi Jihad, dan lain-lain, yang keseluruhan sikap itu ada landasan dan sandaran teologisnya.

Semoga kita terus bangkit bergerak memasuki Abad Kedua. Berkhidmat melalui NU, tabarrukan pada doa Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari: Allahumma Ayqidz Qulubal Ulama wal Muslimin min Nawmi Ghaflatihim al-‘amiq wahdihim ila Sabilir Rasyad.

Membangunkan, membangkitkan hati, akal, kesadaran, semangat, kekuatan, keberanian, agar tidak abai, tertipu-daya, lalai hingga terlelap pada kondisi yang menjadikan barisan ulama-kiai, santri, dan para pengikutnya melemah, surut, dan kendor untuk berperan dan melayani umat secara optimal. Hal demikian ini bisa merapuhkan hingga menghilangkan kepercayaan kepada jamiyyah NU. Semoga tidak terjadi. Amin.

 *


Xxxx

Xxxx

Xxxx

Xxxx

Xxxx

Xxxx

Xxxx

Xxxx

Xxxx

xxx

xxx

Xxxx

Xxxx

xxx

Xxxx

Tidak ada komentar: