klik sayangi bumi maka akan disayang langitan

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

(HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

*

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

surat (30) ar rum ayat 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)

surat (5) al maa'idah ayat 32

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ (٣٢)

surat 4 An Nisa' ayat 114

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ  ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

surat 3 Āli 'Imrān ayat 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

*

klik nasehat

klik emak

*

Senin, 31 Juli 2023

Janji Surga Berbuah Dusta UU Cipta Kerja

Kuswandi

- Minggu, 30 Juli 2023 | 15:16 WIB

Dudy Agung Trisna, SH., M.H./Konsultan Hukum Themis Indonesia

klik Opini Jawa Pos 

JANJI-janji surga dalam pasal Undang-undang Cipta Kerja, ternyata tak semanis apa yang dijanjikan dari mulut para pengusul dan pengesah UU tersebut. Musabanya, hingga saat ini masih banyak masalah yang ditimbulkan dari UU yang menuai polemik dari awal dihembuskan pihak eksekutif, hingga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Sebagai contoh, baru-baru ini ada sebuah kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diterima oleh seorang karwayan “outsourcing” (tenaga kerja alih daya) di sebuah anak perusahaan BUMN di Medan, Sumatera Utara. Sang karyawan di PHK karena alasan “dikembalikan” dari perusahaan pengguna.

Tanpa aba-aba, ia dikembalikan ke perusahaan penyedia tenaga kerjanya. Tanpa perlu waktu lama, perusahaan penyedia tersebut langsung mengeluarkan surat PHK. 

Padahal ia tidak pernah melakukan kesalahan atau atau melanggar peraturan perusahaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya surat peringatan atau “pembinaan” karena performance kerja yang buruk selama karyawan tersebut bekerja. Dan PHK ini dilakukan sebelum jangka waktu kontrak kerjanya selesai. Satu hal yang ia tuntut, uang ganti rugi sebagaimana yang telah “dijanjikan” oleh undang-undang dan di “iming-imingi” dalam perjanjian kerjanya.

Ternyata pangkal permasalahan ini ada di Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. 

Pasal yang isinya memberi “angin surga” apabila putus kontrak di tengah jalan, namun ternyata bisa “masuk angin” apabila di sigi dari pasal sebelumnya yaitu Pasal 61 pada Undang-undang yang sama.

Masalah terjadi di BAB IV KETENAGAKERJAAN UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Dalam Pasal 61 Ayat (1) huruf  “e” dikatakan yaitu : Perjanjian Kerja berakhir apabila adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Sebenarnya Pasal 61 pada BAB IV KETENAGAKERJAAN UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja sendiri memang mengalami perubahan dari isi dan bunyi dari Pasal 61 di UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya pada ayat (1) nya, yaitu bertambahnya alasan berakhirnya perjanjian kerja : sebab selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Angin surga sekaligus bisa masuk angin yang saya maksud ada di bunyi dari Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”

Ada 5 peristiwa yang membuat seorang pekerja PKWT tidak bisa mendapatkan ganti rugi sesuai Pasal 62 tersebut di atas, 

yaitu sesuai dengan bunyi pada Pasal 61 ayat (1) : 

Perjanjian Kerja berakhir apabila : 

a. pekerja meninggal dunia; 

b. berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja; 

c. selesainya suatu pekerjaan tertentu; 

adanya putusan pengadilan dan/atau putusan Lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau 

d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja. 

Baik isi dan bunyi Pasal 61 ayat (1) maupun Pasal 62 tersebut, kesemuanya diadopsi oleh perusahaan yang bergerak di bidang penyedia tenaga kerja (alih daya).

Adanya frasa “keadaan atau kejadian tertentu” seperti yang tertuang di dalam Pasal 61 ayat (1) huruf e, bisa di terjemahkan sangat “liar” oleh semua perusahaan penyedia tenaga kerja. Dalam kasus ini, salah satu isi pasal di dalam PKWT nya dikatakan bahwa PHK dapat terjadi apabila seorang karyawan dikembalikan oleh perusahaan pengguna kepada perusahaan penyedia tenaga kerja. Pengembalian tadi tidak memerlukan alasan atau parameter/indikator. Cukup perusahaan pengguna mengembalikan si karyawan, maka perusahaan penyedia tenga kerja bisa langusng mem-PHK karyawannya. 

Tentu mem-PHK karyawan sebelum jangka waktu perjanjian kerja berakhir bukan hal yang sulit, karena di pasal berikutnya dikatakan bahwa selama alasan PHK disebutkan di dalam perjanjian kerja maka perusahaan tidak perlu pusing untuk membayar uang ganti rugi kepada si karyawan. 

Hal ini terjadi karena perusahaan penyedia tenaga kerja juga mengadopsi isi dan bunyi Pasal 62 ke dalam PKWT. Alhasil si karyawan yang di PHK sebelum perjanjian kerja berakhir tidak bisa mendapatkan uang ganti rugi.

Setidaknya ada 19 klausul di dalam peraturan perusahaan dan 12 klausul di dalam perjanjian PKWT, sebagai penyebab seorang karyawan bisa di PHK yang saya temukan di perusahaan penyedia tenaga kerja tersebut. 

Meskipun adanya pasal yang mengatur tentang kewajiban membayar ganti rugi bagi pihak yang memutus perjanjian sebelum perjanjian berakhir, namun semuanya sirna karena adanya pasal “sapu jagat” setelahnya yang mengatakan bahwa ganti rugi tidak diberikan sepanjang alasan PHK telah dicantumkan di dalam perjanjian PKWT.

Dengan banyaknya jumlah klausul peraturan sebab PHK, kira-kira alasan apa lagi yang ada di muka bumi ini yang memungkinkan karyawan bisa mendapatkan ganti rugi akibat diputus kontrak di tengah jalan oleh perusahaan tempat ia bekerja?. 

Padahal baik di dalam Undang-undang maupun isi PKWT, bukan hanya perusahaan yang wajib membayar ganti rugi akibat putus kontrak di tengah jalan, tetapi karyawan/pekerja juga memiliki risiko yang sama untuk membayar ganti rugi apabila memutus kontrak kerja sebelum berakhirnya perjanjian kerja.

Setidaknya ada 2 permasalahan yang saling berkaitan dengan bunyi Pasal 61 ayat (1) huruf e dan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, 

pertama : terlalu luasnya penafsiran dan klausul yang di susun secara “membabi buta” oleh perusahaan di dalam membuat perjanjian PKWT, akibat Undang-undang yang menggunakan frasa “keadaan atau kejadian tertentu”, sehingga tidak adanya batasan yang jelas dari defenisi “keadaan atau kejadian tertentu” tersebut.

Frasa tersebut juga menjadi tameng ampuh bagi perusahaan untuk mem-PHK karyawan PKWT nya. Hal ini semakin menambah masalah, karena frasa tersebut tidak memberikan kepastian hukum. 

Yang kedua : Pasal 62 memberikan ruang untuk terjadinya peristiwa ganti rugi bagi pihak yang memutus kontrak, namun hal ini menjadi pupus karena adanya frasa “bukan karena ketentuan sebagaimana yang dimaksud Pasal 61 ayat (1).

Di sini ada rasa keadilan yang mengusik nurani. Ganti rugi apa lagi yang bisa didapatkan oleh karyawan bila seluruh isi pasal yang ada di muka bumi ini sebagai penyebab PHK sudah ditulis di PKWT, contohnya klausul “pamungkas” bagi karyawan PKWT yang bekerja sebagai alih daya : “dikembalian oleh perusahaan pengguna kepada perusahaan penyedia tenaga kerja”. 

Sedangkan risiko ganti rugi ini bukan hanya ada pada pengusaha, karyawan juga memiliki risiko membayar ganti rugi apabila melakukan putus kontrak di tengah jalan.

Asas di dalam perjanjian dan kedudukan yang tidak setara

PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja disebutkan, bahwa Perjanjian Kerja dibuat secara tertulis atau lisan (Pasal 2 ayat 2). 

Hal ini tentu sangat berguna bagi para pihak, yaitu agar karyawan dan perusahaan saling memahami dan dapat mememenuhi hak serta kewajibannya masing-masing. 

Secara filosofis isi dari perjanjian juga bertujuan untuk tercapainya keadilan bagi para belah pihak.

Salah satu asas yang terkenal di dalam berkontrak (perjanjian) adalah asas kebebasan berkontrak yang artinya setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian. 

Asas ini tentunya tidak lepas dari pakem atau bunyi dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : kesepakatan, kecakapan, adanya hal yang diperjanjikan dan tidak melanggar hukum. Agar adanya kepastian hukum dari hubungan hukum antara karyawan dan perusahaan maka biasanya perusahaan akan membuat perjanjian secara tertulis dengan karyawannya. 

Dalam peristiwa seperti ini juga dikenal asas pacta sunt servanda. Berasal dari Bahasa Latin yang artinya kurang lebih adalah : setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata).

Pada praktiknya saat ini, terutama bagi perusahaan yang bergerak di dalam bidang tenaga kerja alih daya pasti menggunakan perjanjian secara tertulis sebagai sebuah kesepakatan para pihak, yaitu antara pengusaha dengan karyawannya. 

Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan, sebab adanya hak dan kewajiban yang harus di penuhi masing-masing. Jumlah gaji, tunjangan, hari libur, istirahat adalah beberapa hal mutlak yang ada di perjanjian kerja. 

Tapi apakah kedudukan para pihak (pengusaha dan karyawan) saat akan melakukan kesepakatan di dalam perjanjian berada di dalam posisi yang setara ? 

Secara psikologis, tentu kondisi ini sangat berbeda antara si pemberi kerja dan pihak yang “meminta” agar dipekerjakan.

Teori undue influence (misbruik van omstandigheden) atau yang lebih dikenal dengan penyalahgunaan keadaan, adalah suatu perbuatan sedemikian rupa yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lain yang terikat dalam perjanjian, dengan memanfaatkan posisi yang tidak seimbang salah satu belah pihak, dengan tujuan untuk mengambil keuntungan ekonomis semata. 

Menurut ajaran ini, jika salah satu pihak pada saat pembuatan perjanjian itu berada dalam posisi yang lebih lemah (secara ekonomis) dari pihak lawannya, akan tetapi tetap mengikatkan diri dalam perjanjian dengan memanfaatkan posisi yang lemah dari pihak lawannya, maka perjanjian itu tadi bisa dimintakan kebatalannya oleh pihak yang dirugikan (Setiawan : Sistim Hukum Kontrak Nasional Dalam Perspektif Hukum Persaingan).

Maka, selain dari adanya kebebasan atas isi dan bunyi pasal-pasal antara perusahaan dan karyawan di dalam membuat perjanjian, perlu juga dilihat apakah posisi dan kedudukan mereka sudah setara atau tidak. Semua hal itu akan tergambar secara nyata dan terang benderang di dalam bunyi dan isi pasal yang ada di perjanjian PKWT. 

Perusahaan harus jujur dan ikhlas mengakui bahwa alasan perusahaan berdiri adalah untuk mencari keuntungan. Tidak ada rasanya perusahaan yang mau rugi. Namun ada hal lebih besar dari itu yang harus dicapai yaitu untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Jika tujuan ini menjadi landasan perusahaan, maka pasal pasal di dalam perjanjian PKWT tidak akan menutup celah adanya ganti rugi, apabila perusahaan yang melakukan putus kontrak. Toh, karyawan juga memiliki risiko yang sama untuk membayar ganti.

Perlunya perbaikan UU Cipta Kerja

Saya sedikit skeptis jika ingin menghapuskan sistem outsorcing di ketenagakerjaan. Namun saya bersyukur jika saya salah. 

Tapi apa yang harus kita perbaiki? 

Negara bukan tidak bertanggungjawab dalam permasalahan ini. Negara lah yang paling pertama jika harus dituntut untuk memperbaiki kondisi ini. 

Negara harusnya memberikan jaminan dan kepastian bagi seluruh warga negaranya. Seluruh pemangku jabatan yang ada di negara ini harus melihat ketimpangan yang terjadi di lapangan. Ada ketidakadilan yang terjadi di tengah-tengah para karyawan/buruh. 

Negara tidak boleh “seolah-olah” melegalkan praktik pembebasan memasukkan seluruh isi klausul yang ada di muka bumi ini sebagai alasan untuk mem-PHK karyawan PKWT di tengah jalan tanpa adanya ganti rugi.

UU Ketenagakerjaan yang diubah di dalam UU Cipta Kerja memang menyimpan segudang masalah. Namun masalah yang sudah ada sejak 2003 ternyata tidak pernah terpikirkan untuk diubah.

Peraturan Pemerintah harus memberi “pagar batasan” bagi frasa “keadaan atau kejadian tertentu” yang ada di Pasal 61 dan 62 UU Ketenagakerjaan. 

Jangan biarkan lagi perusahaan-perusahaan dengan seenak hatinya melakukan penafsiran keadaan atau kejadian tertentu yang menimbulkan “ke-liaran” bunyi dan isi perjanjian PKWT. 

Kondisi ini diharapkan agar pasal alasan PHK di PKWT seperti “dikembalikan oleh perusahaan pengguna” tidak menjadi pasal pamungkas dan tidak bertanggung jawab yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan alih daya lagi.

Tidak ada komentar: