klik sayangi bumi maka akan disayang langitan

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

(HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

*

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

surat (30) ar rum ayat 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)

surat (5) al maa'idah ayat 32

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ (٣٢)

surat 4 An Nisa' ayat 114

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ  ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

surat 3 Āli 'Imrān ayat 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

*

klik nasehat

klik emak

*

Jumat, 13 September 2024

Kelas Menengah Indonesia, Tulang Punggung Ekonomi Terjun ke Titik Kritis

Yanuar Nugroho

Kamis, 12 September 2024 | 09:49 WIB

klik Aspiring Indonesia—Expanding the Middle Class in Sept 2019 

klik opini jawapos 

kelas menengah Indonesia merupakan tulang punggung ekonomi nasional. Mereka memiliki kemampuan daya beli yang cukup dan menjadi target utama sektor industri barang-jasa. Namun, di tengah ketidakpastian ekonomi global dan dampak Covid-19 yang masih terasa, posisi kelas menengah kini kian rapuh. Rentan turun kelas.

Turun kelas (middle-class squeeze) adalah fenomena menurunnya daya beli dan kualitas hidup individu atau rumah tangga yang sebelumnya termasuk kelas menengah secara ekonomi. Akibatnya, mereka harus mengurangi pengeluaran, bahkan jatuh ke dalam kategori warga berpenghasilan rendah. Fenomena itu semakin nyata di Indonesia, terutama dalam lima tahun terakhir.

Laporan Bank Dunia

Menurut laporan Bank Dunia yang berjudul Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class, kelas menengah adalah individu yang memiliki pengeluaran Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta per bulan per kapita.

Disisi lain individu hingga Rp 1,2 juta per bulan per kapita dikategorikan sebagai kelompok calon kelas menengah (aspiring middle class/AMF). Adapun yang memiliki pengeluaran Rp 354 ribu hingga Rp 532 ribu per bulan per kapita, mereka termasuk kelompok rentan.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi kelas menengah dalam struktur penduduk Indonesia pada 2023 hanya 17,44 persen. Angka itu menurun drastis dari proporsi pada 2019 sejumlah 21,45 persen.

Penurunan kelas menengah itu berbanding terbalik dengan kelompok rentan yang jumlahnya justru meningkat. Selama periode yang sama, kelompok rentan naik dari 68,76 persen (2019) menjadi 72,75 persen (2023).

Banyak rumah tangga kelas menengah yang kini harus berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kenaikan harga bahan pokok, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan menjadi faktor utama yang menekan anggaran rumah tangga. Di sisi lain, pendapatan yang stagnan atau menurun membuat mereka harus memotong pengeluaran untuk kebutuhankebutuhan sekunder dan tersier yang menjadi ciri khas konsumsi kelas menengah.

Faktor Penyebab

Ada beberapa faktor penyebab penurunan kelas menengah di Indonesia. Pertama, inflasi dan kenaikan biaya hidup. Kenaikan harga barang-jasa yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kenaikan pendapatan mengakibatkan banyak rumah tangga kelas menengah yang kehilangan kemampuan beli. Hal lain, mereka kehabisan uang setelah makan tabungan lantaran jumlah pendapatan tidak sebanding dengan pengeluaran. Namun, hal itu hanya bisa dilakukan selama satu dua tahun. Setelah itu, banyak warga yang tidak kuat lagi dan akhirnya turun kelas.

Kedua, utang konsumtif. Gaya hidup konsumtif yang didorong kemudahan akses kredit membuat banyak rumah tangga terjebak dalam utang yang sulit dilunasi. Pada akhirnya, pendapatan mereka tergerus.

Ketiga, pandemi Covid-19. Pagebluk itu menghantam berbagai sektor ekonomi, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak orang di kelas menengah.

Kehilangan pekerjaan atau penurunan pendapatan selama pandemi memaksa banyak individu merombak gaya hidup mereka secara signifikan. Setelah pandemi Covid-19, lapangan pekerjaan formal makin berkurang, sedangkan pekerjaan informal makin meningkat.

Karena upah pekerja formal rata-rata lebih tinggi daripada pekerja informal, kondisi tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan rata-rata kelas menengah. Pekerja informal umumnya memperoleh penghasilan dari menjual jasa-barang dengan konsumen utama pekerja formal yang memiliki daya beli yang stabil.

Namun, dengan berkurangnya jumlah pekerja formal, penghasilan pekerja informal otomatis menjadi lebih rendah. Idealnya, jumlah pekerja formal harus lebih banyak daripada pekerja informal untuk memastikan stabilitas ekonomi.

Keempat, ketidakstabilan ekonomi global. Krisis global seperti konflik geopolitik dan fluktuasi harga komoditas turut berkontribusi pada ketidakpastian ekonomi yang memperburuk kondisi kelas menengah.

Dampak Jangka Panjang

Jika fenomena tersebut terus berlanjut, dampaknya bisa sangat serius. Penurunan kelas menengah tidak hanya berdampak pada penurunan konsumsi, tetapi juga bisa memengaruhi stabilitas sosial dan politik.

Kelas menengah yang terimpit dan kehilangan harapan bisa lebih mudah terpengaruh narasi populer yang menjanjikan solusi instan. Pada gilirannya, tatanan politik dan ekonomi yang stabil dapat terganggu.

Lebih dari itu, melemahnya kelas menengah juga berarti hilangnya potensi investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan yang selama ini menjadi modal penting untuk menciptakan generasi penerus yang lebih kompetitif.

Urgensi Kebijakan Proaktif

Menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan kebijakan yang proaktif dan holistik dari pemerintah. Ada beberapa kebijakan yang sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan kelas ekonomi menengah dan mengembalikan stabilitas ekonomi mereka.

Pertama, pengendalian inflasi. Inflasi yang tinggi menjadi penyebab utama penurunan daya beli kelas menengah. Pemerintah perlu mengadopsi kebijakan moneter dengan lebih ketat untuk mengendalikan laju inflasi. Termasuk menjaga stabilitas harga bahan pokok dan barang-barang penting lainnya. Selain itu, upaya memperkuat produksi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor bisa membantu menstabilkan harga barang di pasar domestik.

Kedua, subsidi dan bantuan langsung yang tepat sasaran. Subsidi dan bantuan langsung kepada masyarakat harus diberikan lebih tepat sasaran. Khususnya kepada rumah tangga kelas menengah yang rentan. Subsidi pendidikan, kesehatan, serta perumahan bisa membantu mengurangi beban biaya hidup yang tinggi serta mencegah mereka jatuh ke dalam kategori berpenghasilan rendah.

Ketiga, peningkatan akses terhadap pelatihan dan pendidikan. Di tengah perubahan ekonomi yang cepat, peningkatan akses terhadap pelatihan dan pendidikan yang relevan sangatlah penting. Program-program pelatihan kerja, peningkatan keterampilan (upskilling), dan pendidikan lanjutan dapat membantu kelas menengah beradaptasi dengan tuntutan pasar kerja yang berubah serta memperkuat posisi mereka di pasar tenaga kerja.

Keempat, kebijakan pajak yang lebih adil. Sistem perpajakan yang lebih adil dan progresif bisa membantu mengurangi beban ekonomi kelas menengah. Relaksasi pajak bagi kelompok berpenghasilan menengah serta pengenaan pajak yang lebih tinggi pada kelompok berpenghasilan tinggi dan perusahaan besar bisa membantu menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata dan memperkuat daya beli kelas menengah.

Kelima, dukungan terhadap UMKM. Sebagian besar kelas menengah di Indonesia terkait erat dengan sektor UMKM. Kebijakan yang mendukung pertumbuhan dan keberlanjutan UMKM –seperti akses yang lebih mudah ke pembiayaan, pelatihan kewirausahaan, dan insentif pajak– akan membantu menjaga stabilitas ekonomi kelas menengah yang terlibat dalam sektor tersebut.

Keenam, perlindungan sosial yang lebih kuat. Meningkatkan cakupan dan efektivitas program perlindungan sosial –seperti asuransi kesehatan dan jaminan sosial– sangatlah penting untuk melindungi kelas menengah dari guncangan ekonomi. Perlindungan sosial yang lebih kuat bisa memberikan jaring pengaman yang memadai bagi mereka yang terkena dampak ekonomi sehingga tidak jatuh ke dalam kemiskinan.

Pada akhirnya, menjaga stabilitas kelas menengah bukan hanya menyelamatkan individu atau keluarga, melainkan juga menjaga fondasi ekonomi nasional yang kukuh serta berkelanjutan. 

Sebab, di tangan kelas menengahlah sebagian besar harapan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa ini bertumpu. 

*

klik angka kelas menengah 🇮🇩Indonesia🇮🇩 dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan 

klik Nasib kelas menengah di Indonesia: Banting tulang, makan tabungan, dan penuh kekhawatiran

klik bukti baru ekonomi ri lesu kredit menganggur tembus Rp. 2100 T 

klik kelas menengah di Indonesia 

klik uneg2 anak bangsa 

*

Paradoks Kelas Menengah di Indonesia

Josegi Machioreno Ginting

Mahasiswa master of public policy di Victoria University of Wellington, Selandia Baru

Kamis, 12 September 2024 | 09:45 WIB

klik opini jawa pos 

Dalam beberapa waktu terakhir, kelas menengah di Indonesia menjadi topik diskusi yang hangat di berbagai media. Fenomena ’’turun kelas’’ yang dialami banyak individu dari kelas menengah menjadi perhatian utama. Terutama di tengah situasi ekonomi yang terus berubah.

Meski Indonesia telah kembali masuk dalam klasifikasi upper middle income country menurut Bank Dunia pada 2023, banyak individu dari kelas menengah yang bergeser ke kategori ’’menuju kelas menengah’’ atau bahkan ’’rentan miskin’’. Hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi makro tidak selalu sejalan dengan perbaikan kesejahteraan individu.

Yang Termasuk Kelas Menengah

Menurut klasifikasi Bank Dunia dalam Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class (2019), penduduk Indonesia dibagi dalam lima kelas pengeluaran berdasar pengeluaran per kapita. Kelas-kelas itu meliputi, miskin (pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan); rentan miskin (pengeluaran per kapita 1–1,5 kali garis kemiskinan); menuju kelas menengah (pengeluaran per kapita 1,5–3,5 kali garis kemiskinan); kelas menengah (pengeluaran per kapita 3,5–17 kali garis kemiskinan); dan kelas atas (pengeluaran per kapita di atas 17 kali garis kemiskinan).

Karena patokannya adalah garis kemiskinan yang bisa berubah setiap waktu, nominal batasan antarkelas klasifikasi juga berubah setiap tahun. Pada 2024, kelas menengah adalah penduduk dengan pengeluaran per kapita Rp 2.040.262 hingga Rp 9.909.844.

Fenomena Turun Kelas

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan proporsi kelas menengah dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,13 persen pada 2024. Penurunan tersebut disertai peningkatan proporsi penduduk dalam kategori menuju kelas menengah (MKM) dan rentan miskin. Pergeseran itu diklaim terjadi akibat residu dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih.

Kelas menengah sering kali kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah lebih berfokus pada intervensi bagi penduduk miskin seperti menggelontorkan bantuan sosial dan subsidi. Sementara itu, kelas menengah kerap tidak diberi stimulus, tetapi justru dibebani kebijakan seperti rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), penghapusan subsidi BBM, dan yang terbaru adalah wacana program dana pensiun.

Meski demikian, kelas menengah memiliki peran yang sangat vital dalam perekonomian Indonesia. Mereka adalah kontributor terbesar dalam perekonomian melalui konsumsi rumah tangga. Berdasar data BPS 2023, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 53,18 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Dari 53,18 persen tersebut, hampir 82 persen konsumsi rumah tangga ditopang kelompok kelas menengah dan kelompok menuju kelas menengah.

Selain kontributor utama dari sisi pengeluaran, kelas menengah juga menjadi penopang utama pendapatan negara. 

Kementerian Keuangan pada Januari 2024 mengungkapkan, pada 202, sebanyak 77,6 persen pendapatan Indonesia berasal dari penerimaan perpajakan yang sebagian besar dibayar oleh penduduk dengan pendapatan di atas pendapatan tak kena pajak (PTKP) Rp 54 juta per tahun. Hal itu menunjukkan bahwa daya beli kelas menengah yang dikenal sebagai fast and big spender menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas serta dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Keadaan Kelas Menengah

Melihat keadaan perekonomian Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, pada 2020 misalnya, perekonomian Indonesia terkontraksi -2,07 persen akibat pandemi Covid-19. Kondisi tersebut mengakibatkan melambungnya tingkat pengangguran terbuka (TPT), yakni dari 5,23 persen pada Agustus 2019 menjadi 7,07 persen pada Agustus 2020.

Namun, rilis terbaru BPS menunjukkan, pada Februari 2024, TPT Indonesia menurun menjadi 4,82 persen, lebih rendah daripada kondisi sebelum pandemi. Meski demikian, kelihatannya, penurunan pengangguran tersebut tidak serta-merta memperbaiki kondisi kelas menengah yang justru mengalami fenomena turun kelas.

Menurut BPS, terjadi pergeseran lapangan pekerjaan bagi penduduk kelas menengah berdasar sektor pekerjaan. Pada 2019, sebelum pandemi Covid-19, sebanyak 62,76 persen dari kelas menengah bekerja di sektor formal. Namun, pada 2024, angka tersebut turun menjadi 59,36 persen. Pergeseran itu bisa diartikan bahwa sebagian kelas menengah yang sebelumnya bekerja di sektor formal kini (terpaksa?) beralih ke sektor informal. Atau, mereka tidak lagi tergolong sebagai kelas menengah alias turun kelas. Sektor informal dikenal memiliki risiko tinggi dengan jaminan pekerjaan yang minim, ketidakpastian penghasilan, serta rentan akan gejolak perekonomian.

Peringatan Darurat

Fenomena turun kelas serta pergeseran dari sektor formal ke sektor informal pada kelas menengah tersebut merupakan early warning (peringatan dini) bagi pembuat kebijakan. Mereka harus bisa lebih cepat dan tepat dalam mengambil keputusan intervensi jangka pendek, menengah, maupun panjang. Indonesia bukan hanya milik kelompok atas maupun kelompok miskin. Makin lama pemerintah mengambil langkah intervensi, akan makin kuat bunyi warning-nya.

Sebut saja, Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dirilis BPS pada awal September lalu menunjukkan bahwa telah terjadi deflasi selama 4 bulan berturut-turut pada Mei–Agustus 2024. Fenomena deflasi berturut-turut itu juga pernah terjadi saat krisis moneter 1998 dan 2008.

Menjadi pertanyaan serius, apakah hari ini kita sedang mengalami krisis moneter juga? Pemerintah tidak boleh ’’alergi’’ terhadap berbagai indikator dan early warnings. Pemerintah justru perlu mencermatinya lebih dalam agar dapat membuat diagnosis dan meramu ’’obat’’ yang tepat untuk perekonomian Indonesia.

Tidak ada komentar: