sumber : alodokter
Sindrom Down adalah gangguan genetika paling umum yang menyebabkan perbedaan kemampuan belajar dan ciri-ciri fisik tertentu. Sindrom Down tidak bisa disembuhkan, namun dengan dukungan dan perhatian yang maksimal, anak-anak dengan sindrom Down bisa tumbuh dengan bahagia.
Data WHO menyebutkan bahwa angka kejadian Sindrom Down adalah 1 dari 1.000 kelahiran hidup di dunia. Setiap tahunnya, diperkirakan ada setidaknya 3.000 hingga 5.000 bayi yang lahir dengan kelainan kromosom ini. Menurut sebuah jurnal pediatri, pada tahun 2016 tercatat ada setidaknya 300 ribu kasus Sindrom Down di Indonesia.
Gejala Sindrom Down
Gejala sindrom Down pada anak-anak adalah memiliki beberapa ciri fisik yang mirip, namun mereka tidak sama persis karena ada faktor keturunan dari orang tua dan keluarga masing-masing.
Anak-anak dengan sindrom Down membutuhkan bimbingan seperti anak normal lainnya atau bahkan lebih. Perkembangan mereka dalam berbagai aspek memerlukan waktu, dan mereka akan menjalaninya bertahap, sesuai dengan kemampuan mereka.
Penyebab Sindrom Down
Normalnya terdapat 46 kromosom dalam sel seseorang yang diwariskan, yakni masing-masing 23 kromosom dari ayah dan ibu, namun kebanyakan orang dengan sindrom Down memiliki 47 kromosom. Perkembangan tubuh dan kinerja otak akan berubah jika terdapat kromosom ekstra atau tidak normal, dan itulah yang menjadi penyebab sindrom Down.
Banyak yang menganggap bahwa sindrom ini hanya terjadi karena faktor keturunan. Padahal kelainan dalam proses perkembangan telur, sperma dan embrio merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kondisi ini.
Para ahli tidak tahu penyebab kelainan genetika yang terjadi pada penderita sindrom Down, namun ada beberapa hal yang bisa meningkatkan risiko memiliki bayi dengan sindrom Down, di antaranya:
-Jika Anda telah memiliki bayi lain dengan sindrom Down.
-Jika Anda memiliki adik atau kakak dengan sindrom Down.
-Jika wanita hamil di usia 35 tahun ke atas.
Diagnosis dan Perawatan Sindrom Down
Ada pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mencari tahu risiko terkena sindrom Down pada bayi di dalam kandungan, yaitu dengan pemeriksaan antenatal melalui tes darah dan tes USG. Jika pemeriksaan antenatal menunjukkan adanya risiko yang cukup signifikan, ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis Sindrom Down sebelum bayi lahir antara lain melalui prosedur amniocentesis, cordocentesis atau penyampelan vilus korionik. Selain mendiagnosis sindrom Down sebelum bayi lahir, tes darah bisa dilakukan setelah persalinan untuk mengonfirmasi kondisi ini.
Sindrom Down tidak bisa disembuhkan, namun ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk membantu seseorang dengan sindrom Down agar mendapatkan kehidupan yang sehat, aktif, dan mandiri.
Komplikasi Sindrom Down
Anak-anak dengan sindrom Down bisa mengalami masalah kesehatan yang berbeda-beda dan akan membutuhkan perawatan medis serta perhatian ekstra.
Pria dan wanita dengan sindrom Down cenderung memiliki tingkat kesuburan yang berkurang. Meski sulit, namun bukan berarti mereka tidak bisa memiliki anak.
Beberapa komplikasi kesehatan yang dapat terjadi di antaranya masalah pencernaan, demensia, masalah penglihatan, leukemia, gangguan jantung, lebih rentan terhadap infeksi, masalah kelenjar tiroid, masalah pendengaran, obesitas, kejang, masalah kulit, menopause dini dan henti napas saat tidur (sleep apnea).
Sindrom Down bisa memengaruhi seseorang dalam berbagai cara dan masing-masing akan mengalami kebutuhan perawatan dan sosial yang berbeda.
Ada beberapa ciri-ciri fisik yang sama pada anak-anak dengan sindrom Down, namun karakteristik dari orang tua dan keluarga juga berperan dalam penampilan fisik mereka.
Ciri-ciri fisik orang dengan sindrom Down yang paling umum adalah sebagai berikut:
-Berat dan panjang saat lahir di bawah rata-rata.
-Berkurangnya tegangan otot seperti hipotonia.
-Mata miring ke atas dan ke luar.
-Telapak tangan hanya memiliki satu lipatan.
-Hidung kecil dan tulang hidung rata.
-Antara jari kaki pertama dan kedua terdapat jarak yang luas.
-Mulut kecil.
-Tangan lebar dengan jari-jari pendek.
-Bertubuh pendek.
-Leher pendek.
-Kepala kecil dan datar di bagian belakang.
-Lidah menonjol keluar.
-Bentuk telinga tidak normal atau kecil.
-Kelenturan otot berlebih.
-Bintik putih pada selaput mata.
-Anak-anak dengan sindrom Down juga memiliki tingkat ketidakmampuan belajar dan hambatan pertumbuhan yang berbeda antara satu sama lain.
-Beberapa perkembangan penting kadang-kadang terkena dampaknya, termasuk cara berbicara, berjalan, membaca, berkomunikasi, meraih barang, berdiri, dan duduk. Dampak keterbelakangan mental seperti perilaku impulsif, kesulitan dalam mengambil keputusan hingga kemampuan atensi minim juga dapat terjadi.
Anak-anak dengan sindrom Down masih bisa tumbuh normal secara kognitif dan sosial walau proses ini membutuhkan waktu lebih lama daripada anak biasanya.
Normalnya terdapat 46 kromosom dalam sel seseorang yang diwariskan, yakni masing-masing 23 kromosom dari ayah dan ibu. Kromosom merupakan kumpulan DNA dan mengandung petunjuk genetika rinci yang memengaruhi faktor-faktor luas, seperti warna mata, jenis kelamin bayi, dan perkembangan tiap sel tubuh.
Seseorang berpotensi mengalami sindrom Down jika kromosom yang diturunkan mencapai 47. Perkembangan tubuh dan kinerja otak akan berubah jika terdapat kromosom ekstra atau tidak normal.
Orang-orang dengan sindrom Down, semua atau beberapa sel dalam tubuh mereka memiliki 47 kromosom karena terdapat satu salinan ekstra dari kromosom 21. Material genetika tambahan ini menyebabkan ciri-ciri fisik dan pertumbuhan yang terkait dengan sindrom Down.
Tipe-tipe Sindrom Down
Ada tiga tipe sindrom Down seperti yang disebutkan di bawah ini.
-Trisomy 21. Ini adalah tipe yang paling umum terjadi dan dialami lebih dari 90 persen penderita sindrom Down. Trisomy berasal dari kata Yunani yang berarti “salinan ketiga”. Jika tiap sel di dalam tubuh memiliki salinan kromosom 21 ekstra, orang itu disebut menderita sindrom Down Trisomy 21. Hal ini dipicu dengan adanya kelainan pembagian sel saat proses perkembangan telur atau sperma.
-Translocation. Ini adalah tipe yang diderita sekitar 4 persen penderita sindrom Down. Tipe ini terjadi ketika kromosom 21 menempelkan dirinya secara keliru pada kromosom lain. Gejala sindrom Down translocation mirip dengan Trisomy 21. Translocation mungkin saja diturunkan dari orang tua ke anak-anak mereka, meski hal ini jarang terjadi.
-Mosaicism. Ini adalah tipe yang paling jarang terjadi di antara dua tipe sindrom Down lainnya, dan hanya sekitar 2 persen orang yang terkena sindrom Down tipe ini. Mosaicism bisa dibilang versi lebih ringan dari Trisomy 21 karena pada penderita sindrom Down mosaicism, hanya sebagian kecil sel yang memiliki salinan kromosom 21 ekstra. Orang dengan sindrom Down mosaicism umumnya mengalami hambatan pertumbuhan yang lebih sedikit.
Faktor Risiko
Faktor yang jelas meningkatkan risiko memiliki bayi dengan sindrom Down adalah usia ibu saat mengandung. Wanita yang hamil di usia 20 tahun memiliki risiko 1 banding 1.500. Jika kehamilan tersebut ditunda 10 tahun, risikonya meningkat dan menjadi 1 banding 800. Dan jika ditunda 10 tahun lagi sehingga hamil di usia 40 tahun, risikonya menjadi 1 banding 100. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya risiko tinggi untuk semua tahap kehamilan.
Wanita diatas 35 tahun memiliki risiko tinggi melahirkan anak dengan kondisi sindrom Down, khususnya jika sperma yang didapatkan adalah dari pria berusia 40 tahun keatas. Wanita yang telah mempunyai anak dengan sindrom Down juga lebih berisiko melahirkan bayi dengan kondisi ini pada kehamilan berikutnya.
Selain faktor risiko usia, ada faktor lain yang bisa meningkatkan risiko memiliki bayi dengan sindrom Down, di antaranya adalah keturunan.
Walau jarang terjadi, sindrom Down tipe translocation bisa diturunkan dari orang tua ke anak. Jenis kelamin pembawa sindrom Down translocation memengaruhi kemungkinan mewarisi kondisi ini pada anak.
-Risiko sekitar 3 persen jika ayah menjadi pembawa sindrom Down translocation.
-Risiko antara 10 hingga 15 persen jika ibu yang menjadi pembawa sindrom Down.
Kemungkinan seorang bayi terlahir dengan sindrom Down dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan dan pengujian antenatal. Sedangkan untuk diagnosis, langkah ini bisa dilakukan saat janin masih berada di dalam kandungan atau melalui tes darah setelah bayi dilahirkan.
Pemeriksaan antenatal
Pemeriksaan ini dilakukan guna memeriksa hal tidak normal yang mungkin berkembang atau sudah berkembang selama kehamilan. Tes ini sama sekali tidak mendiagnosis kondisi sindrom Down tapi digunakan untuk memperkirakan seberapa tinggi risiko janin mengalami sindrom Down. Jika menurut pemeriksaan antenatal ada kemungkinan cukup tinggi janin terkena sindrom Down, tes diagnosis bisa dilakukan untuk mengonfirmasinya.
Tiap wanita hamil akan ditawari pemeriksaan kondisi genetika seperti sindrom Down, khususnya bagi yang berpotensi. Umumnya pemeriksaan antenatal dilakukan pada akhir bulan ketiga usia kehamilan.
Dalam pemeriksaan antenatal untuk sindrom Down, tes darah dan pemindaian ultrasonografi (USG) akan dilakukan. Tes darah dilakukan untuk memeriksa tingkat protein dan hormon tertentu. Jika darah Anda mengandung zat-zat ini dalam tingkatan yang tidak normal, Anda mungkin berpeluang lebih tinggi memiliki bayi dengan sindrom Down.
Dengan tes USG, dokter akan mengukur ketebalan cairan yang terletak di belakang leher bayi. Jumlah cairan ini bisa memberi informasi mengenai kemungkinan bayi mengalami sindrom Down.
Jika berdasarkan tes darah dan tes USG kemungkinan bayi mengalami sindrom Down cukup tinggi, maka ibu hamil bisa menjalani tes diagnostik untuk mengonfirmasi kondisi tersebut, sebelum bayi dilahirkan (prenatal).
Tes diagnosis prenatal
Tes yang dapat mendiagnosis sindrom Down pada bayi yang belum lahir adalah amniocentesis, cordocentesis atau CVS (Chorionic Villus Sampling).
Harap diperhatikan bahwa ada sekitar satu persen pasien yang menjalani salah satu tes ini mengalami komplikasi keguguran. Selain keguguran, risiko kedua tes tersebut juga meliputi infeksi dan pendarahan.
CVS dapat dilakukan setelah usia kehamilan memasuki 10 pekan dengan mengambil sedikit sampel sel-sel plasenta untuk pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium.
Amniocentesis biasanya dilakukan setelah usia kehamilan memasuki 15 hingga 22 pekan dengan mengambil sedikit sampel air ketuban.
Cordocentesis adalah diagnosa yang dilakukan dengan mengambil sampel darah janin melalui tali pusar guna memeriksa jumlah kromosom yang ada. Tes ini biasa dilakukan dalam usia kehamilan diantara 18 hingga 22 minggu.
Selain itu, tes DNA cell-free fetal juga dapat dilakukan pada minggu ke 10 kehamilan guna memeriksa lebih lanjut potensi bayi terserang sindrom Down. Tes ini dianggap sebagai acuan terbaik untuk memeriksa kondisi ini lebih lanjut, khususnya bagi ibu yang memiliki potensi tinggi atau dicurigai adanya gejala tertentu setelah pemeriksaan sebelumnya.
Diagnosis setelah kelahiran
Selain tes diagnosis di atas, diagnosis juga bisa dilakukan setelah bayi lahir. Umumnya, bayi yang lahir dengan Sindrom Down akan memiliki ciri fisik tertentu. Namun pada beberapa kasus, ciri fisik ini tidak jelas sehingga dokter memerlukan pemeriksaan tambahan yang disebut dengan chromosomal karyotype.
Tes ini bertujuan untuk menganalisa struktur kromosom dalam gen bayi yang baru lahir. Apabila terdapat kromosom 21 tambahan pada beberapa atau seluruh sel, maka bayi tersebut terdiagnosa menderita Sindrom Down.
Dibutuhkan peran aktif seluruh anggota keluarga untuk membantu penderita sindrom Down agar mendapatkan kehidupan senormal mungkin karena sindrom Down tidak bisa disembuhkan.
Keluarga dengan anak Sindrom Down
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan jika anak Anda menderita sindrom Down, di antaranya adalah:
-Mengikuti grup atau organisasi edukasi dan dukungan agar dapat bertukar informasi untuk membantu para orang tua, keluarga, dan teman.
-Memiliki dan menjalani kehidupan keluarga yang normal, serta keahlian mengasuh yang baik.
-Memiliki akses perawatan kesehatan yang baik, termasuk menemui beberapa spesialis berbeda sesuai kebutuhan.
-Mengikuti berbagai program yang mendukung bagi anak-anak penderita sindrom Down dan orang tua.
Ada dampak emosional yang pasti dirasakan oleh orang tua saat mengetahui anaknya menderita sindrom Down, seperti merasa sedih, bingung, dan takut. Orang tua sebaiknya mencari tahu lebih banyak tentang kondisi ini dan bicara dengan pihak medis profesional dan orang tua lain untuk berbagi pengalaman agar mendapatkan pemahaman yang lebih baik akan dampak kehidupan yang mungkin mereka alami.
Orang tua harus menemukan keseimbangan dalam mengasuh, tidak harus selalu melakukan kegiatan yang mendidik, namun bisa juga melakukan kegiatan dalam bentuk rekreasi atau bersenang-senang dengan keluarga.
Ingat, bahwa Anda tidak sendiri dalam situasi yang Anda hadapi ini. Anda bisa berbagi informasi dan pengalaman dengan keluarga lain atau asosiasi sindrom Down seperti Ikatan Sindroma Down Indonesia.
Orang Dewasa dengan Sindrom Down
Banyak orang dewasa dengan sindrom Down dapat menjalani kehidupan yang aktif dan mandiri dengan bantuan dan dukungan. Dan tidak sedikit dari mereka yang mengejar pendidikan lebih tinggi. Bahkan beberapa orang dengan sindrom Down mendapatkan pekerjaan, biasanya paruh waktu.
Banyak orang dengan sindrom Down juga memiliki hubungan asmara, namun mereka memerlukan bimbingan dan dukungan jika menyangkut hal seperti kontrasepsi.
Penderita sindrom Down cenderung memiliki tingkat kesuburan lebih rendah. Meski sulit, bukan berarti mereka tidak bisa memiliki anak. Wanita dengan sindrom Down memiliki risiko keguguran dan lahir prematur lebih besar. Jika salah satu dari ayah atau ibu memiliki sindrom Down, risiko anaknya mengalami hal yang serupa adalah sekitar 50 persen.
Masih sulit untuk menghitung risiko anak terkena sindrom Down jika kedua orang tuanya adalah penderita karena hal ini masih sangat jarang terjadi.
Bimbingan dan dukungan spesialis diperlukan bagi mereka yang memutuskan untuk memiliki anak dalam mengatasi tuntutan fisik dan mental dari bayi yang akan lahir nantinya.
Selain itu, penderita sindrom Down harus aktif memeriksakan kondisinya ke dokter guna memantau potensi masalah yang mungkin terjadi dan menghindari komplikasi lebih lanjut.
Komplikasi mungkin terjadi saat lahir atau timbul di kemudian hari karena semua organ di dalam tubuh bisa terkena dampak material genetika ekstra.
Anak-anak dengan sindrom Down dapat mengalami komplikasi atau masalah kesehatan berbeda-beda yang membutuhkan perawatan medis serta perhatian ekstra. Beberapa komplikasi kesehatan yang dapat terjadi di antaranya:
-Masalah pencernaan. Banyak orang dengan sindrom Down memiliki masalah pencernaan, seperti diare, konstipasi, dan kesulitan mencerna. Diperkirakan terdapat sekitar 5-15 persen orang dengan sindrom Down menderita penyakit coeliac (tidak dapat mengonsumsi gluten).
-Demensia. Orang dengan sindrom Down memiliki kecenderungan terkena demensia di usia muda dibandingkan populasi pada umumnya dan lebih berisiko terkena penyakit Alzheimer.
-Masalah penglihatan. Sekitar setengah penderita sindrom Down memiliki masalah dengan penglihatan mereka, seperti katarak, rabun jauh, rabun dekat, juling, nystagmus, ambliopi, dan konjungtivitis.
-Leukemia. Sebagian kecil anak-anak dengan sindrom Down menderita leukemia akut.
-Gangguan jantung. Sekitar setengah dari pasien anak-anak dengan sindrom Down menderita gangguan jantung bawaan dan lebih dari setengahnya membutuhkan perawatan di rumah sakit hingga operasi.
-Infeksi. Orang dengan sindrom Down lebih rentan terkena infeksi, terutama infeksi paru-paru (pneumonia). Sistem kekebalan tubuh alami bisa melawan infeksi jika berkembang dengan baik, namun orang dengan sindrom Down tidak memiliki sistem kekebalan tubuh alami yang baik.
-Masalah kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid berfungsi untuk mengendalikan metabolisme dengan melepaskan hormon tiroid ke dalam tubuh. Orang dengan sindrom Down memiliki risiko lebih tinggi terkena masalah kelenjar tiroid. Kebanyakan penderita sindrom Down mengalami hipotiroidisme dan memiliki gejala, seperti bertambahnya berat badan, reaksi fisik dan mental yang lamban, serta lemas.
-Masalah pendengaran. Kurang lebih sekitar setengah penderita sindrom Down memiliki masalah dengan telinga dan pendengaran. Umumnya mereka mengalami radang telinga tengah yang disebabkan oleh kelebihan cairan.
-Apnea tidur. Penderita sindrom Down, baik anak-anak maupun dewasa, memiliki risiko gangguan sleep apnea lebih besar karena jalur udara terhalang akibat perubahan jaringan lunak dan kerangka.
-Masalah lainnya. Penderita sindrom Down mungkin dapat mengalami komplikasi masalah lainnya seperti obesitas, menopause dini, kejang, dan masalah kulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar