klik sayangi bumi maka akan disayang langitan

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

(HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

*

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

surat (30) ar rum ayat 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)

surat (5) al maa'idah ayat 32

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ (٣٢)

surat 4 An Nisa' ayat 114

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ  ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

surat 3 Āli 'Imrān ayat 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

*

klik nasehat

klik emak

*

Senin, 17 Desember 2018

hikikomori

WABAH HIKIKOMORI DI INDONESIA

(Mereka yang mengurung diri dan betah di kamar)

Semua anak kecil ketika ditanya tentang apa impian dan cita-cita mereka biasa spontanitas, tanpa perlu berpikir panjang mereka langsung memberikan jawabannya. Jawaban mereka sesuai dengan gambaran sosok yang melekat dalam benak mereka. "Saya mau jadi Dokter!", "Aku ingin jadi Pilot!", "Aku mau jadi Polisi!" Kalau saya dulu ingin jadi Guru, atau pekerja sosial. Tidak ada anak-anak berkeinginan menjadi anak pemurung, si jahat, si keji, si dingin. Tidak pernah saya dengar mereka kecil bercita-cita jadi Hikikomori.


Saya ingin bahas Hikikomori lebih dalam, masih banyak yang asing bukan dengan istilah ini. Sebenarnya Hikikomori itu istilah sebutan dari Psikolog Jepang bernama Saito Tamaki Janti, 2006:189). Saito dalam Janti (2006: 189) menjelaskan konsep hikikomori merupakan satu gejala dimana penderitanya mengurung diri lebih dari enam bulan di dalam kamar tanpa bersosialisasi dengan dunia pekerjaan, sekolah dan hanya berhubungan dengan keluarga.

Apakah keluarga kalian ada yang menunjukkan perilaku seperti hikikomor?. Kalau begitu baca sampai habis ya.

 Faktor Perilaku Hikikomori

Berdasarkan arti tersebut, ada 2 (dua) unsur gejala hikikomori, yaitu:

1. Unsur “keadaan” yaitu keaadaan yang menunjukkan seseorang tidak keluar rumah, mengurung diri di dalam sebuah kamar, dan tidak mau bersosialisasi. Jika penderita dalam kondisi sedang bekerja atau bersekolah maka si penderita tidak aktif dari kegiatan sehari-harinya.

2. Unsur “waktu” yaitu waktu yang lebih dari enam bulan bahkan bisa bertahun-tahun. Menurut Saito dalam janti (2006: 189) hikikomori bukanlah sejenis penyakit atau diagnosis, kata ini hanya digunakan untuk mengungkapkan keadaan. Bilamana keadaan ini terus berlanjut dan muncul gejala kejiwaan atau psikis maka diperlukan penyembuhan.

Sebaliknya, hikikomori bisa saja terjadi karena adanya gejala dari gangguan mental yaitu keadaan yang menunjukkan seseorang tidak keluar rumah, mengurung diri di dalam sebuah kamar, dan tidak mau bersosialisasi. Mereka menarik diri dari lingkungan. Biasanya anak remaja hikikomori ditemukan di keluarga menengah keatas. Berbeda dengan fenomena hikikomori yang terjadi di Indonesia, malah sering di dapati pada keluarga ekonomi menengah bahkan kebawah.

 Kehidupan Seorang Hikikomori di Dunia Nyata

Menurut penuturan Bian, seorang penderita hikikomori menolak bersosialisasi dengan orang lain. Pada umumnya dari tindakan tersebut mereka mengunci dirinya di dalam kamar selama lebih dari enam bulan. Bukan hanya mengunci dan menarik diri saja, tetapi kehidupan seorang penderita Hikikomori berbeda dengan manusia pada umumnya. Perbedaan tersebut adalah pada siang hari mereka tertidur pulas dan pada malam hari mereka terjaga. Pada saat terjaga, mereka mempunyai kesibukan sendiri seperti bermain game, menonton video, internetan, menonton TV dan lain-lain. Saat penghuni rumah tertidur, seorang Hikikomori baru beraktivitas. Kebanyakan Hikikomori juga mempunyai kebiasaan yang lain, yaitu terobsesi akan game, benda-benda kesukaannya, dan lain-lainnya.

 Kehidupan Hikikomori di Dunia Maya

Berbeda dengan mereka di dunia nyata, seorang Hikikomori ada yang menjadi lebih hangat, bersahabat, berwibawa dan ada juga yang kadang bersikap kasar pada orang-orang pengguna sosial media. Ya, Indonesia adalah pengguna sosial media facebook terbanyak ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Dari anak kecil, remaja sampai orang tua pun mempunyai sosial media berbasis facebook ini.

Beberapa contoh kasus diatas sudah bisa kita bayangkan dampak buruk terlalu aktif di sosial media mengalahkan aktivitas sosial dunia nyata jika tidak pandai menyeimbangkan. Hal ini juga merupakan indikasi masuknya wabah atau trend Hikikomori ke generasi muda di Indonesia. Yang membahayakan dari wabah ini adalah orang yang mengalaminya kemungkinan besar tidak akan punya kompetensi untuk menjalani kehidupan di dunia nyata seperti berorganisasi, membangun relasi, bahkan menikah!

 Kenapa Bisa Ada Wabah Hikimori Di Kalangan Pelajar/Mahasiswa Indonesia

Gejala Hikikomori sebenarnya tidak berdiri dari satu faktor, tapi disebabkan oleh banyak faktor beragam, baik bersifat internal maupun eksternal. Pemicu seseorang menjadi hikikomori tiap indibidu itu berbeda-beda faktor penyebabnya. Jadi tidak ada satu keyword tunggal menyebabkan sesorang menjadi Hikikomori.

- Faktor internal

Menurut survei kecil yang dilakukan penulis adanya gejala Hikikomori yang terjadi di Indonesia seperti karena seseorang memiliki kelainan psikologis yang menyebabkan dirinya cenderung tertutup, tidak suka bergaul dengan sesamanya, kepribadian introvert yang senang menyendiri dengan lebih banyak hidup di dunia maya, berselancar internet dalam waktu lama juga membuat anak kehilangan waktu bersosial. Keadaan dan kondisi sudah nyaman ini akhirnya dijadikan gaya hidup.


- Faktor eksternal

Adapun faktor eksternal sendiri juga beragam namun kebanyakan publik menduga bahwa kehilangan figur orang tua, akhirnya memudarkan respect anak ke orang tua, membedakan pemberian kasih sayang, korban bullying disekolah atau akademik, hingga ada juga karena godaan video games Jepang yang sangat menggiurkan.

"Bian setiap mau pergi sekolah merasa tidak nyaman, terlebih dia adalah anak pemalu, jarang sekali dia terlihat berkomunikasi dengan teman sekolahnya. Sekolah seperti siksaan baginya. Seusai sekolah pun dia hanya berdiam diri dikamar. Aku Mila, teman satu sekelasnya. Hari ini aku ingin mengajak Bian pergi makan siang di Bento. "Huh, dia menolaknya," katanya malas dan capek. Angan-angan makan di bento sambil ngobrol jadi buyar. Alhasil cuma chattingan doang."

 Mulai Menarik Diri Secara Bertahap

Beberapa gejala Hikikomori yaitu tidak muncul secara drastis, melainkan secara bertahap sampai akhirnya pelaku benar-benar mengunci pintu kamarnya. Sebelum menjadi seorang Hikikomori, mereka sering terlihat tidak bahagia, murung, kehilangan teman, merasa tidak aman, malu dan berdiam diri. Kadang-kadang mereka menjadi bahan ejekan dari teman-temannya di sekolah/kampus atau teman lingkungan rumah, karena sudah mencapai puncaknya maka hal tersebut dapat menjadi penyebab pengurungan diri. Bagi Hikikomori yang masih bersekolah, gejala awalnya adalah toukoukyohi yaitu penolakan untuk pergi ke sekolah. Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya tekanan dari teman-temannya sehingga biasanya pelaku merasa tidak nyaman lagi berada bahkan pergi ke sekolah.

Selain itu faktor budaya dan lingkungan juga mempengaruhi seseorang berperilaku menjadi hikikomori. Penyebab gejala Hikikomori dari luar adalah lingkungan sekitar seperti hubungan jalinan dengan sosial yang gagal dan buruk. Kondisi seperti ini juga bisa mengakibatkan seorang anak stress, bahkan ada yang depresi.

 Depresi Memicu Tindakan Hikikomori

Salah satu penyebab hikikomori adalah depresi. Depresi juga dapat menjadi penyebab internal dan eksternal Hikikomori, namun tetap tergantung pada kondisi orang tersebut. Menurut analisa saya, bahwa orang yang terkena depresi akan terlihat sedih, tidak bahagia, murung dan menderita. Perasaan sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga, tidak ada harapan, merasa gagal dan menuduh diri sendiri, dan sering disertai dengan rasa iri hati dan ingin bunuh diri karena orang tersebut sudah putus asa dengan dirinya sendiri. Perubahan keadaan ini juga yang membuat sebagian Hikikomori terlihat kaku, sulit menyampaikan ekspresi dan kemudian bersikap dingin terhadap orang lain.
Depresi sendiri dapat terjadi dari faktor biologi, psikologis, hidup yang stress, dan obat-obatan. Depresi juga dapat terjadi karena adanya pengalaman pahit dan kejam yang dialami oleh seseorang sehingga membuat dirinya menjadi trauma. Tak heran juga membentuk pola pikir menyimpang (berdelusi).

Bian hanyalah satu diantara jutaan anak di Indonesia yang memilih hidup menjadi hikikomori. Dia anak laki-laki cerdas, ahli matematika. Mila menyukai Bian karena Bian sering membantunya dalam pemahaman matematika yang Mila kurang kuasai. Remaja-remaja seperti Bian biasanya melakukan hal yang mereka suka seperti membaca buku, internetan, diskusi di forum, main game, nonton tv, sampai bermain musik, dan menulis cerpen. Intinya aktivitas utama Hikikomori di dunia maya.
Namun jika Hikikomori terus berlanjut akan muncul gejala-gejala gangguan mental seperti depresi, tidak berani untuk bertemu dengan orang lain atau sulit berinteraksi dengan orang lain sehingga perlu penangganan khusus untuk menanganinya (Janti, 2006: 189). Walaupun sebelumnya telah dikatakan bahwa seorang penderita gejala hikikomori menolak bersosialisasi dengan orang lain, bukan berarti mereka menutup diri dari informasi yang ditayangkan di internet maupun yang ada di televisi (Janti, 2006:190).

Meski penderita Hikikomori selalu berada di dalam kamar, ternyata ada juga beberapa penderita Hikikomori yang mau keluar dari kamarnya hanya untuk makan bersama orang tua atau berbelanja keluar rumah untuk membeli CD. Untuk manusia normal keluar rumah dengan memberitahu kepada orang tuanya adalah sebuah hal biasa, tetapi berbeda dengan para penderita Hikikomori. Seorang penderita gejala Hikikomori lebih menyukai keluar rumah diam-diam tanpa diketahui oleh siapa pun dan rutinitas keluar rumahnya pun sangatlah jarang, sehari sekali atau seminggu sekali dan mereka hanya keluar rumah untuk membeli kebutuhan pribadinya saja. Tidak hanya itu, mereka juga lebih sering mengunjungi convinience store yang dapat menyediakan semua kebutuhan mereka dan yang membuat mereka nyaman di toko kecil itu adalah karena pelayanan yang cepat dan tanpa basa-basi.

Bian pun juga awalnya cuma menarik diri dari lingkungan sekolah, memutuskan komunikasi dengan teman–temannya,hingga memutuskan komunikasi dengan keluarganya. Bukan berarti putus sama sekali ya, tepatnya komunikasi sedikit karena remaja seperti Bian merasa terlalu banyak interaksi itu buang energi, apalagi sesuatu hal yang tak terlalu penting. Karena sifat dan merasa nyaman dengan kondisi itu, lama kelamaan menjadi gaya hidup sampai dia lulus sekolah. Ia sempat kuliah waktu itu, tapi putus ditengah jalan. Mila sendiri kurang tahu faktor Bian memutuskan kuliahnya. Mila dan Bian pun sudah tidak pernah berkomunikasi lagi sejak kelululusan sekolah.

 Impact dari broken home

Dampak dari broken home, pola asuh orang tua yang salah lah yang memicu karakter anak seperti Bian di kemudian hari. Banyak anak-anak dengan luka bathin saat masih kecil. Hingga mereka tidak menyadarinya sampai dewasa yang padahal dirinya ada masalah internal. Mereka disepelekan, pendapat mereka tak didengar, menerima beban dipundak sayap kecil dan anak terpaksa untuk lebih memahami orang dewasa. Ditambah pola asuh orang tua yang salah, kelak jangan heran dan menyalahkan anak jika menemui karakter seperti Bian.
Saat orang tua emosi tak stabil anak dipaksa memahami keadaan sang Ibu. Alih-alih bisa sabar, mereka kerap kali kasar "Diam....Ibu pusing", Kekerasan verbal bahkan fisik tak jarang anak terima. Padahal anak gak tahu apa-apa, anak-anak kecil tidak begitu mengerti mengapa orang tuanya sebegitu marahnya hanya karena hal sepele saja. Sedang sang Ayah lebih kepada sikap diam dan ketawa-ketawa saja ketika si Istri mengeluhkan rasa capek dan anak-anak mereka. Rumah Tangga yang miss-communications. Ibu sering marah dirumah, masalah demi masalah muncul saat Bian tak sanggup lagi meneruskan kuliahnya.

"Aku mulai menyalahkan diri sendiri. Orang tuaku juga menyalahkanku karena tak pergi ke kampus. Kian lama tekanan terasa makin besar," Ucap Bian.
Kini Bian sudah dewasa, usianya sekarang sudah 25tahun. Keadaan ini menjadikan Bian melabeli dirinya orang tak berharga, pemalu, tidak ada orang yang benar perduli. Bian sudah dewasa, seharusnya tidak pantas lagi bersikap begitu. Bian anak laki-laki yang baik, tenang, jarang sekali terlihat marah. Tapi di dalam dirinya masih tersimpan dengan rapi sisi sebenarnya adalah pemurung. Ada anak yang bisa melewati traumanya, ada yang enggan dan merasa nyaman-nyaman saja. Padahal sayap mereka patah, amputated wings.

"Bian masih seperti dulu, usia pun sudah semakin bertambah, tetap saja semua tak merubah keadaan, ia kesulitan berinteraksi sosial membuat keluarga mengganggap dia anak yang aneh, pemalas, parasit. Tak jarang Ibunya mengeluh, membanding-bandingkan Bian dengan sepupu dan anak-anak tetangga. Bian semakin muak dengan suasana rumah yang baginya begitu asing. Bian rindu ayah yang sudah tiada. Bian pikir andai masih ada ayah, mungkin masih ada sosok pribadi yang mengerti dirinya."

Pertikaian orang tua memang akan selalu menyisakan dampak psikologis pada anak, menjadikan anak sedikit kepercayaan diri seperti Bian remaja hingga memasuki usia dewasa. Hubungan relasi ke anggota rumah yang berjarak, membuat Bian semakin menarik diri dari kebisingan lingkungan yang menurtunya begitu mendominasi. Saya memahami hidup dilingkungan traumatik memang sulit. Saya pun termasuk dari keluarga broken home juga. Namun, bagi saya untuk keluar dari zona nyaman dimulai dari kemauan kita sendiri, niat dan usaha.

Bian berbeda dengan saya, saya anak perempuan yang berani menyampaikan atas ketidaksukaan dengan batas norma sosial, saya akan tetap mendengarkan nasehat orang dewasa sebagai rasa hormat serta mengambil hikmah dari mereka. Saya selalu senang mereka menasehati saya meski kadang begitu tidak realistis. Saya hanya sedih ada beberapa teman yang tetap menikmati tekanan hingga menjadi biasa dan menganggap tak apa-apa, boro-boro mematahkan malah menikmatinya seolah tak ada jalan lain.

Sosok Bian pada tulisan ini adalah gambaran Hikikomori yang ada di Indonesia. Pengidap Hikikomori Indonesia memang sedikit berbeda dengan negara asalnya Jepang. Kalau hikikomori Jepang kebanyakan dari keluarga menengah ke atas. Lain dengan di Indonesia malah di idap oleh anak-anak dari keluarga sederhana dan bahkan banyak dari keluarga ekonomi kebawah. Pantaslah saya menyebut kasus ini sebagai "Wabah Hikikomori."

*Intinya hikikomori bisa berangkat dari faktor komorbiditas gangguan mental (dengan catatan hikikomori didefinisikan sbg Social Anxiety), wabah trend, kebiasaan berperilaku, lingkungan traumatik, pemasungan dan seterusnya.

Hikikomori sebenarnya masih terlalu ambigu untuk disebut penyakit karena tidak tercantum dalam DSM V. Saya setuju jika hikikomori disebut sebagai disorder a.k.a gangguan.


Semoga kita lebih memahami anggota keluarga terdekat kita. Tetap berikan supportivitas possitif.

"Bantulah dirimu sendiri, relasi terdekat hanya mendorongmu untuk bisa"

1 komentar:

Hantara mengatakan...

Semenjak dr September 2017 sampai bbrp hari belakangan ini baru sadar. Apa yg sy alami Hikikomori. Skrg sy mencoba. mulai membuka lewat internet. perhaps..