Sebelum Tahun 1967, dikampung Jogokariyan belum ada masjid. Kegiatan keagamaan dan dakwah berpusat di sebuah langgar kecil di pojok kampung terletak di RT 42 RW 11 ( sekarang menjadi rumah keluarga Bp. Drs. Sugeng Dahlan, selatan rumah Almarhum Bp. H. Basyir Widyahadi). Langgar berukuran 3×4 meter persgi dengan lantai berundak tinggi ini Ramadhan saja tidak pernah terisi. Maklum masyarakat Jogokariyan pada saat itu umumnya kalangan “ABANGAN” karena kultur Abdi dalam prajurit keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang lebih ngugemi “Tradisi Kejawen” dari pada kultur pada kultur keIslaman.
Kampung Jogokariyan yang dibuka sejak masa HB IV, setelah penduduk ndalem Beteng Baluwerti Keraton telah sesak, makan Bergodo-Bergodo prajurit Kesatuan dipindah keluar beteng bersama keluarganya dan Abdi Dalem Prajurit dari Kesatuan “Jogokariyo” dipindah di selatan benteng, di utara Panggung Krapyak atau Kandang Menjangan, sehingga tempat tinggal/Palungguhan Prajurit ini sesuai dengan Toponemnya dikenal dengan nama “Kampung Jogokariyan”.
Pada masa HB ke VIII ada perubahan peran prajurit di Keraton Ngayogyakarta yang semula adalah Prajurit Perang hanya menjadi prajurit upacara dan dipersempit yang semula jumlahnya 750 orang hanya menjadi 75 orang saja. Maka para abdi dalam prajurit banyak yang kehilangan jabatan dan pekerjaan.
Kebiasaan hidup mapan sebagai Abdi Dalem dengan senang judi, mabuk bahkan nyeret (Nyandu) harus berubah menjadi petani karena tidak lagi menerima gaji, tetapi diberi tanah Palungguh (sawah) dan Pekarangan, tidak sedikit yang tidak bisa menyesuaikan diri sehingga tanah pekarangan banyak yang jatuh dijual kepada Pengusaha Batik dan Tenun dari Kampung Jogokariyan.
Terjadilah perubahan sosial ekonomi yang cukup membuat syok warga. Kampung Jogokariyan mulai berubah jadi kampung batik dan tenun, generasi anak-anak Abdi Dalem terpaksa bekerja jadi buruh di pabrik-pabrik Tenun dan Batik.
Nasa-masa kejayaan Batik dan Tenun, merupakan masa-masa buram bagi keturunan Abdi Dalem prajurit Jogokariyan yang tidak bisa menyesuaikan diri, mereka penduduk asli yang sudah menjadi miskin ditengah kemakmuran pendatang, padahal mereka punya gelar bangsawan, Raden atau Raden Mas. Kesenjangan sosial ekonomi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan sentimen kelas buruh dan majikan.
Maka gerakan PKI disambut antusias oleh warga Jogokariyan yang termarjinalisasi ini, sehingga di Jogokariyan menjadi basis PKI yang didominasi warga miskin dan buruh. Para juragan yang berasal dari “Abangan” aktif di PNI dan beberapa pendatang dari Karangkajen menjadi pendukung Masyumi (Jumlahnya minoritas). Pada saat meletus G30S PKI 1965, banyak warga yang diciduk (ditangkap dan dipenjara) sebagai tahanan politik. Alhamdulillah di masa-masa kritis tersebut Masjid Jogokariyan dibangun dan menjadi alat perekat untuk melakukan perubahan sosial menjadi masyarakat Jogokariyan yang berkultur Islam.
Masjid Jogokariyan telah benar-benar melaksanakan fungsi sebagai agen perubahan. Jogokariyan yang dulu “Abangan” Komunis kini mejadi masyarakat Islami melalui dakwah berbasis Masjid.
Nama Masjid
Sejak masjid dibangun, sudah banyak usulan “Nama” terhadap masjid yang tengah dalam proses pembangunan yang dimulai pada tanggal 20 September 1966 di kampung Jogokariyan ini.
Bahkan hingga hari ini masih selalu saja ada orang yang mempertanyakan tentang nama Masjid yang terletak di tengah-tengah kampung ini. Tetapi para Pendiri dan Perintis Dakwah di Jogokariyan telah sepakat memberi nama Masjid ini dengan nama “Masjid Jogokariyan”.
Dengan alasan:
1. Berdasarkan Sunnah Rasulullah SAW, ketika memberi nama masjid yang pertama beliau dirikan di kampung Kuba Madina di beri nama juga “Masjid KUBA” demikian pula dengan masjid yang dibangun di kampung “Bani Salamah” juga dikenal sebagai Masjid “Bani Salamah”, hanya karena ada peristiwa peralihan arah kiblat, maka masjid tersebut kini lebih dikenal sebagai “Masjid Kiblatain”
2. Masjid diharapkan memiliki wilayah yang jelas, dengan nama masjid “Jogokariyan” seperti nama kampungnya, maka otomatis masjid telah memiliki wilayah teritorial dakwahnya.
3. Masjid diharapkan mampu menjadi perekat dan pemersatu masyarakat Jogokariyan yang sebelumnya terkotak-kotak dalam aliran politik dan gerakan politik dimasa-masa pergolakan sebelum peristiwa 1965. Masjid Jogokariyan bisa menjadi alat pemersatu ummat dan masyarakat bebasis kultur kampung “Jogokariyan” sehingga proses ishlah masyarakat segera berlangsung melalui masjid pasca terbebasnya masyarakat dimasa-masa Demokrasi Liberal yang berpuncak tragedi 30 September 1965
Proses Pembangunan Masjid Jogokariyan
Masjid Jogokariyan dimulai dari ide oleh H.Jazuri seorang Pengusaha batik dari Karangkajen yang memiliki rumah di kampung Jogokariyan, ide ini dibicarakan dengan beberapa tokoh ummat dan masyarakat seperti Bpk.Zarkoni (Waktu itu belum Haji), Bpk.Abdulmanan, H.Amin Said (satu-satunya warga yang sudah haji tahun 1957), Bpk.Hadits Hadi Sutarno, KRT Widyodiningrat, Ibu Margono dll.
Tetapi di Jogokariyan tida ada tanah wakaf, maka mereka membentuk panitia dan kemudian mengumpulkan dana untuk membeli tanah dimana diatasnya akan dibangun Masjid Jogokariyan.
Alhamdulillah atas bantuan para pengusaha Batik dan Tenun yang tergabung dalam koperasi Batik “Karang Tunggal” dan Koperasi tenun “TRI JAYA” yang sebagian besar adalah pendukung dakwah Muhamamdiyah dan simpatisan partai Politik Masyumi, di awal Juli 1966 telah dapat untuk membeli tanah seluas kurang lebih 600 m2 di selatan lokasi masjid sekarang ini.
Ketika panitia hendak memulai pembangunan, ada pemikiran kalau masjid itu akan lebih baik dan monumental kalau dapat berdiri di pinggir jalan di perempatan tengah-tengah kampung. Kebetulan saat itu, tanah yang dimaksud dimiliki oleh ahli waris Bpk.Yudo Mardoyo, yaitu Bpk.Sukadis yang baru saja pensiun dari pegawai PU di Temanggung dan ingin pulang kampung di Jogokariyan. Alamdulillah, ketika dirembug untuk tukar guling terjadi kesepakatan, tukar lokasi tanah dengan syarat panitia membangunkan rumah permanen untuk keluarga Bpk.Sukadis dan tanah Bpk.Sukadis menjadi lokasi pendirian Masjid Jogokariyan.
Alhamdulillah, pada tanggal 20 September 1965, diatas tanah hasil tukar guling itu dilakukan peletakan batu pertama. Bangunan masjid berukuran 9×9 m2 ditambah serambi 9×6 m2. Sehingga total luas bangunan adalah 15×9 m2 terdiri dari Ruang Utama dan Serambi. Bangunan seluas 135 m2, sedangkan luas tanah adalah 660 m2.
Atas izin Alloh SWT, pada bulan Agustus 1967, dalam rangkaian HUT RI ke 22, Masjid Jogokariyan diresmikan oleh ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Kota Yogyakarta.
Pak Isman, pada tanggal 20 Agustus dan pembangunan selanjutnya adalah membuat Aula ukuran 19×6 m2 di sebelah selatan masjid yang ditengahnya masih ada halaman. Tetapi dalam perkembangan masjid tidak lagi mencukupi luapan Jama’ah sehingga di tahun 1976 dibangunlah serambi selatan dengan atap seng dan Tahun 1978 dibangun serambi utara dengan atap Alumunium Krei. Masjid tidak lagi memiliki Halaman, bahkan jalan masuk dari depan (arah timur) tempat meletakkan sandal saja tidak ada, kemudian Takmir memutuskan membeli tanah milik Ibu Hj.Sukaminah Hadits Hadi Sutarno seluas 100 m2. Sehingga pada Tahun 1978, luas tanah masjid menjadi 760 m2.
Pada Tahun 1999, ketika terjadi peremajaan Pengurus Takmir, dimulai renovasi masjid Tahap I dilanjutkan Tahun 2003 Tahap ke II, masjid menjadi 3 lantai. Alhamdulillah selesai Tahun 2004 dengan menghabiskan dana kurang lebih 2,1 Milyar Rupiah.
Pada Tahun 2009, Ibu Hj.Sukaminah Hadits Hadi Sutarno, menawarkan agar tanah beliau di depan masjid dibeli dan disusul dengan keluarga Hery Wijayanto menawarkan tanah dirumahnya dibeli masjid. Alhamdulillah hanya dalam waktu 3 minggu Tamir bisa membeli 2 bidang tanah tersebut dengan harga 485 Juta Rupiah yang kemudian dibangun Islamic Center Masjid Jogokariyan, sehingga sekarang luas tanah masjid menjadi 1.478 m2.
Setelah pembebasan tanah, Takmir segera membangun Islamic Center 3 lantai dimana di lantai 3 dibangun 11 kamar penginapan dan di lantai 2 meeting room untuk menjadi “Usaha Masjid” menuju masjid yang mandiri secara finansial.
Sejarah Manajemen Masjid Jogokaryan
Ta’mir masjid Jogokaryan bersama para ta’mir lainnya, masuk pada langkah strategis dan praktis. Yaitu dengan konsep Manajemen Masjid- ada di 3 langkah: Pemetaan, Pelayanan, dan Pemberdayaan.
Pada konteks Pemetaan, bisa diartikan, setiap Masjid harus memiliki peta dakwah yang jelas, wilayah kerja yang nyata, dan jama’ah yang terdata. Pendataan yang dilakukan Masjid terhadap jama’ah mencakup potensi dan kebutuhan, peluang dan tantangan, kekuatan dan kelemahan.
Di masjid Jogokariyan, para Ta’mir masjid Jogokaryan, bersama Ustadz HM Jazir ASP, menginisiasi Sensus Masjid. Pendataan tahunan ini menghasilkan Data Base dan Peta Dakwah komprehensif.
Data Base dan Peta Dakwah Jogokariyan tak cuma mencakup nama KK dan warga, pendapatan, pendidikan, dan lainnya, melainkan sampai pada siapa saja yang shalat dan yang belum, yang berjama’ah di Masjid dan yang tidak, yang sudah berqurban dan berzakat di Baitul Maal Masjid Jogokariyan, yang aktif mengikuti kegiatan Masjid atau belum, yang berkemampuan di bidang apa dan bekerja di mana, dan seterusnya. Detail sekali.
Peta Dakwah Jogokaryan memperlihatkan gambar kampung yang rumah-rumahnya berwarna-warni: hijau, hijau muda, kuning, dan seterusnya, hingga merah. Di tiap rumah, ada juga atribut ikonik: Ka’bah (sudah berhaji), Unta (sudah berqurban), Koin (sudah berzakat), Peci, dan lain-lain. Konfigurasi rumah sekampung itu dipakai untuk mengarahkan para Da’i yang cari rumah.
Data potensi Jama’ah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Segala kebutuhan Masjid Jogokariyan yang bisa disediakan jama’ah, diorder dari jama’ah. Masjid Jogokariyan juga berkomitmen tidak membuat Unit Usaha agar tak menyakiti jama’ah yang memiliki bisnis serupa.
Ukhuwah umat Islam di Jogokaryan dibangun dengan kuat. Tiap pekan, Masjid Jogokariyan menerima ratusan tamu. Konsumsi untuk para tamu, diorderkan secara bergiliran dari jama’ah yang memiliki rumah makan.
Mengundang Jamaah ke Masjid dengan Penuh Hormat
Data jama’ah tersebut digunakan untuk Gerakan Shubuh Berjama’ah. Sehingga, pada 2004, dibuat sebuah terobosan program baru agar para jamaah lebih meramaikan masjid. Caranya, yaitu dengan membuat Undangan Cetak, layaknya pernikahan. Semua undangan ditulis dengan daftar nama. UNDANGAN itu persis berbunyi “Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Saudara …. dalam acara Shalat Shubuh Berjama’ah, besok pukul 04.15 WIB di Masjid Jogokariyan..”
Undangan itu dilengkapi hadits-hadits keutamaan Shalat Shubuh. Hasil terobosan program itu cukup menakjubkan. Ada peningkatan jumlah jamaah secara signifikan. Hal itu bisa dilihat ketika jumlah jamaah sholat Shubuh, bisa mencapai sepertiga jumlah jamaah Sholat Jumat.
Gerakan Infak Selalu Tersisa Nol Rupiah
Ta’mir masjid Jogokaryan juga membuat sistem keuangan Masjid Jogokariyan yang berbeda dari masjid lainnya. Jika ada Masjid mengumumkan dengan bangga bahwa saldo infaknya jutaan, maka Masjid Jogokariyan selalu berupaya keras agar di tiap pengumuman, saldo infak sebisa mungkin NOL! Infak itu ditunggu pahalanya untuk menjadi ’amal shalih, bukan untuk disimpan di rekening Bank. Meskipun pada aplikasinya tidak mungkin saldo selalu Nol, tapi motto ini adalah tekad kami untuk menyegerakan penyaluran infaq.
Ta’mir masjid Jogokaryan memiliki konsep yang sangat humanis dan memikirkan masalah keumatan sehari-hari. Pengumuman infak jutaan akan sangat menyakitkan, ketika tetangga Masjid ada yang tak bisa ke Rumah Sakit sebab tak punya biaya, atau tak bisa sekolah. Ta’mir Masjid Jogokaryan memiliki prinsip, menyakiti jama’ah ialah tragedi da’wah. Dengan pengumuman saldo infak sama dengan NOL, jama’ah lebih semangat mengamanahkan hartanya.
Gerakan Jamaah Mandiri
Masjid Jogokariyan pada 2005 juga menginisiasi Gerakan Jama’ah Mandiri. Jumlah biaya setahun dihitung, dibagi 52. Sehingga ketemu biaya setiap pekan. Kemudian, Dibagi lagi dengan kapasitas Masjid; ketemu biaya per-tempat shalat. Lalu disosialisasikan. Jama’ah diberitahu bahwa jika dalam sepekan mereka berinfak dalam jumlah tersebut, maka dia Jama’ah Mandiri. Jika lebih, maka dia Jama’ah Pensubsidi. Jika kurang maka dia Jama’ah Disubsidi.
Gerakan Jama’ah Mandiri ini sukses menaikkan infak pekanan Masjid Jogokariyan hingga 400%. Sebab, ternyata, orang malu jika Ibadah saja disubsidi. Demikianlah jika peta, data, dan pertanggungjawaban keuangannya transparan (Infak Rp.1000 pun bisa diketahui ke mana alirannya). Tanpa diminta pun, Jama’ah akan berpartisipasi. Tiap kali renovasi, Masjid Jogokariyan berupaya tak membebani jama’ah dengan proposal.
Makna Penting Dokumentasi
Caranya, Takmir hanya pasang spanduk, “Mohon Maaf Ibadah Anda Terganggu, Masjid Jogokariyan sedang Kami Renovasi.” Nomer rekening tertera di bawah, ditambah sebuah foto dokumentasi pembangunan masjid Jogokaryan tahun 1967. Gambar dokumentasi itu adalah seorang bapak sepuh berpeci hitam, berbaju batik, dan bersarung sedang mengawasi para tukang mengaduk semen untuk Masjid Jogokariyan.
Makna foto lama ini membantu dalam proses pembangunan masjid di tahun 2002/2003. Ketika Masjid Jogokariyan direnovasi besar-besaran, foto itu dibawa kepada putra si kakek dalam gambar foto. Akhirnya, foto tahun 1967 itu mendorong putra si kakek dalam foto berkenan menyumbang Rp.1 Milyar dan menjadi Tim Pembangunan Masjid Jogokariyan.
Program Skenario Planning
Ta’mir masjid Jogokaryan membuat Skenario planning dalam memajukan da’wah di masjid Jogokaryan. Dalam membuat Skenario Planning, Ta’mir membuat 3 periode. Periode pertama pada tahun 2000-2005. Periode kedua pada tahun 2005-2010. Dan periode ketiga pada tahun 2010-2015.
Skenario planning pada tiap periode memiliki karakteristik yang berbeda. Tetapi, jika ditinjau dari jenis dan jumlah program kerjanya tidak jauh berbeda. Gambaran sKenario planning pada setiap periode, antara lain Jogokariyan Islami (2000-2005), dengan mengubah masyarakat dari kaum abangan menuju islami.
Selain itu, pemuda yang suka mabuk di jalan, diarahkan ke masjid. Warga yang belum shalat diajak untuk shalat. Mengajak anak kecil beraktivitas di Masjid. Warga yang shalat di ruma diarahkan shalat di Masjid. Bahkan, menjadikan para pemabuk sebagai kemaanan Masjid.
Skenario planning ke dua adalah Jogokariyan Darusalam I pada rentang 2005-2010. Yaitu dengan membiasakan masyarakat untuk berkomunitas di Masjid. Jama’ah subuh menjadi 50% (10 shaf) dari Jama’ah shalat jumatan. Menyejahterakan Jama’ah melalui lumbung Masjid,memperbanyak pelayanan, membuka poliklinik, memberikan bantuan beasiswa, memberikan layanan modal bantuan usaha.
Skenario Planning ke 3 adalah Jogokariyan Darusalam II (2010-2015), yaitu dengan meningkatkan kualitas keagamaan masyarakat. Menuntaskan orang yang belum shalat Jama’ah. Meningkatkan Jama’ah shalat subuh menjadi 75% (14 shaf) dari Jama’ah shalat jumatan. Menjadikan para (eks) pemabuk menjadi bagian dari Masjid (BBM, relawan Masjid, dll).
Apakah hukumnya melaksanakan kegiatan BMT (Baitul Mâl Wat-Tamwîl) di ruangan masjid yang digunakan untuk shalat ? seperti pembicaraan simpan pinjam dan lain sebagainya yang sifatnya tamwîlul mâl ?
Pengurus BMT melaksanakan kegiatan seperti ini dalam masjid dengan alasan, bahwa pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam baitul mâl juga dilaksanakan di masjid. Benarkah cara berdalil seperti ini ?
Apakah sama antara baitul mâl pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan BMT yang ada sekarang ini ? Bukankah pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu kegiatan baitul mâl itu tidak ada unsur bisnisnya (tamwîl) ?
Bukankah mengumumkan barang hilang dan berjual beli dilarang dalam masjid ? Syukran, jazakumullahu khairan. (Abul-Hasan, di Sawah Lunto-Sumatera Barat) 628537xxxxx Jawaban.
Semoga Allâh menjaga Anda dan kita semua.
Jawaban.
Pembahasan masalah ini kembali kepada pembahasan masalah hukum jual beli di masjid.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ في المَسْجِدِ، فَقُولُوا: لا أرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ ضَالَّةً فَقُولُوا: لا رَدَّهَا الله عَلَيْكَ
Jika kalian melihat ada orang yang menjual atau membeli di masjid, katakanlah ‘Semoga perdagangan kalian tidak beruntung’. Dan jika kalian melihat orang yang mengumumkan barang hilang di sana, katakanlah ‘Semoga Allâh tidak mengembalikan barang itu’.” [HR. at-Tirmidzi no. 1321. Hadits ini dihukumi shahîh oleh Ibnu Khuzaimah, al-Albâni dan Ahmad Syâkir rahimahumullâh] Dalam riwayat Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu :
أنَّ رسولَ اللهِ n نَهَى عَن الشِّراءِ والبَيْعِ في المَسْجِدِ، وَأنْ تُنْشَدَ فِيهِ ضَالَّةٌ؛ أَوْ يُنْشَدَ فِيهِ شِعْرٌ
Rasûlullâh melarang jual beli, mengumumkan barang hilang dan membaca syair di masjid Dalam beberapa hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa masjid tidak dibangun untuk hal-hal seperti itu, tetapi untuk shalat dan membaca al-Qur`ân. Dengan demikian, jelaslah bahwa jual beli di masjid itu terlarang.
Demikian pula akad-akad semisal yang mengandung transaksi bisnis seperti sewa menyewa dan syarikah (koperasi). Saat melihat kepada hakekat dan praktek Baitul Mâl wa Tamwîl (BMT) di Indonesia, kita akan dapatkan bahwa transaksinya tidak lepas dari jual beli, seperti mudhârabah, murâbahah atau yang lain.
Kegiatan Baitut tamwîl adalah mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil.
BMT berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi untuk anggota dan lingkungannya. Karena itu, sebagian peneliti mengindonesiakan kepanjangan BMT menjadi Balai-usaha Mandiri Terpadu. BMT bukanlah lembaga sosial, meski dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan zakat, infaq dan sadaqah bagi kesejahteraan orang banyak.[1]
Adapun Baitul Mal pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafâ’ur Râsyidîn Radhiyallahu anhum, fungsinya adalah mengurus pemasukan dan pengeluaran negara. Domainnya adalah zakat, kharaj (pajak), jizyah (upeti), ghanîmah (harta rampasan yang didahului dengan pertempuran), fai` (harta rampasan tanpa didahului dengan pertempuran), wakaf dan semisalnya.[2]
Jadi tugas Baitul Mâl adalah mengatur pendapatan Negara dan membelajakan atau menyalurkannya kepada yang berhak. Dalam kegiatannya, tidak ada unsur bisnis di dalamnya. Sebagian harta itu kadang disimpan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu :
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikirimi harta dari Bahrain, maka beliau berkata, “Letakkan ia di masjid.” [HR. al-Bukhâri no. 411]
Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits larangan jual beli di masjid, karena penyimpanan harta dari Bahrain ini tidak mengandung unsur jual beli.
Dengan memahami uraian di atas, maka nampak jelas perbedaan antara baitul mâl dan BMT. Meski menjalankan sebagian fungsi baitul mâl, namun tujuan utama BMT adalah bisnis, sehingga kegiatan BMT tidak boleh dilakukan di dalam masjid, kecuali kegiatan yang tidak mengandung unsur bisnis seperti penerimaan zakat dan simpan pinjam nirlaba (non ribawi).
Apalagi, masih banyak BMT yang ternyata tidak lepas dari transaksi ribawi. Transaksi yang demikian adalah haram, baik dilakukan di dalam masjid maupun di luar. Adapun ruangan khusus yang berada di luar dinding masjid, meskipun ruangan itu masih menyatu dengan masjid, namun dia bukan bagian dari masjid dan ruangan itu tidak mengikuti hokum masjid.
Jual beli boleh dilakukan di tempat seperti ini, sebagaimana difatwakan oleh Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa di Kerajaan Arab Saudi.[3] Wallahu A’lam. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] _______
Footnote
[1]. Lihat: Apa Itu BMT (artikel di http://ekisopini.blogspot.com/)
[2]. Lihat: Baitul Mal fi ‘Ahdin Nabi wal Khulafâ`ir Râsyidin, Dr Raghib as-Sirjani. (http://islamstory.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar