Oleh RIZA MULTAZAM LUTHFY *)
Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (Puskolegis) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
Editor : Dhimas Ginanjar
OPINI
25 Januari 2023, 19:48:18 WIB
BELUM lama ini, ribuan kepala desa (Kades) dari berbagai penjuru daerah mengepung gedung DPR. Mereka menuntut masa jabatan diperpanjang dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Tuntutan itu, salah satunya, berlatar belakang bahwa pembangunan di desa kerap terhambat karena adanya lawan politik. Dengan usulan perubahan masa jabatan Kades, mereka berharap persaingan politik di level lokal bisa berkurang.
Padahal, pengaturan masa jabatan Kades selama enam tahun yang dimuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa meninggalkan catatan serius. Pasal 39 ayat (2) UU itu menyebutkan bahwa Kades dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak. Ketentuan tersebut memungkinkan seseorang bisa menjabat Kades selama 18 tahun. Dengan demikian, apabila ketentuan masa jabatan Kades diperpanjang sembilan tahun, sementara periodisasinya tetap boleh tiga kali, seseorang bisa menduduki kursi Kades selama 27 tahun!
Konfigurasi Politik
Saat penyusunan UU 6/2014, pengaturan mengenai masa jabatan Kades sempat menyita atensi para anggota dewan. Perdebatan antarfraksi mengindikasikan adanya silang pendapat yang cukup tajam tentang berapa lama Kades bisa menjabat.
Ada fraksi yang mengusulkan masa jabatan Kades selama sepuluh tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan. Itu berarti Kades bisa menjabat selama 20 tahun. Usulan masa jabatan Kades melebihi lima tahun menunjukkan suatu pandangan bahwa pemerintahan desa berbeda dengan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.
Fraksi lain mengusulkan masa jabatan Kades lima tahun. Mereka cenderung menyamakan kedudukan Kades dengan pejabat publik lainnya. Jika presiden dan kepala daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali, demikian pula seharusnya masa jabatan Kades.
Kesepakatan yang dicapai dalam perumusan UU 6/2014 sebenarnya memuat anomali. Dilihat dari prosesnya, tidak ada fraksi yang mengusulkan Kades mempunyai masa jabatan enam tahun dan boleh menjabat selama tiga periode. Berdasar pendapat sejumlah fraksi, masa jabatan Kades harus dibatasi hanya dua periode. Pembatasan itu penting demi meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal.
Dengan demikian, terdapat lompatan misterius dalam mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan. Rumusan Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 memuat missing link. Patut disayangkan bahwa usulan tentang masa jabatan Kades dengan bermacam pertimbangannya dinihilkan begitu saja.
Ketentuan mengenai panjangnya masa jabatan Kades boleh jadi merupakan pemanis bagi para elite lokal. Diaturnya masa jabatan Kades dalam UU 6/2014 dilakukan dalam rangka sekadar meredam beragam tuntutan mereka. Bagaimanapun, konfigurasi politik turut memengaruhi penetapan norma dalam peraturan perundang-undangan.
Konstitusionalisme
Munculnya wacana perpanjangan masa jabatan Kades merupakan sebuah kemunduran. Mengingat, besarnya kekuasaan Kades antara lain telah dipangkas dengan pembatasan masa jabatan mereka melalui peraturan perundang-undangan. Terutama UU 22/1999 dan UU 32/2004 terkait pemerintahan daerah.
Diperbolehkannya seseorang menjabat Kades selama sembilan tahun bertolak belakang dengan cita-cita hukum dan konstitusi. Hal tersebut mengesampingkan pembatasan kekuasaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi, konstitusi telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat).
Pengaturan dan pembatasan kekuasaan merupakan ciri konstitusionalisme sekaligus tugas utama konstitusi. Dengan demikian, potensi terjadinya kesewenang-wenangan dapat dihindari. Moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat atau sifat pemegangnya. Betapapun baiknya seseorang, kekuasaan senantiasa diatur dan dibatasi supaya kebaikannya tidak termakan oleh hukum besi kekuasaan (Asshiddiqie, 2010).
Regenerasi Kepemimpinan
Diembuskannya wacana perpanjangan masa jabatan Kades menjadi sembilan tahun itu tentu mencederai prinsip dan nilai demokrasi. Kekuasaan yang besar sering kali menjerumuskan pemimpin di tingkat lokal tersebut dalam kubangan oligarki, nepotisme, serta otoritarianisme pemerintahan desa. Besarnya kekuasaan juga berpotensi mengundang korupsi sebagaimana pernyataan Lord Acton (guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris):”Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.”
Terlalu lamanya seseorang menjadi Kades bisa membuatnya ”lupa diri” sehingga rentan menyalahgunakan kekuasaan. Kondisi demikian telah dijumpai di banyak tempat. Salah satunya di Desa Sontang, Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu. Pada tahun 1990 seseorang menduduki kursi Kades selama tiga periode. Dalam pelbagai kesempatan, dia menonjolkan kesewenangan dan dominasinya selaku penguasa. Selain fungsi pelayanan publik yang ditunjukkan oleh pemerintah desa sangat rendah, gaya kepemimpinan Kades juga cenderung sentralistis, otoriter, dan korup.
Di tingkat akar rumput (grassroots), krisis kepercayaan muncul akibat kejenuhan masyarakat. Di sinilah terlihat bahwa durasi waktu seseorang memegang jabatan turut menentukan kualitas kepemimpinannya.
Berdasar fakta di atas, optimalisasi pemerintahan desa bisa diwujudkan dengan pengetatan masa jabatan Kades dan pergantian kepemimpinan secara berkala. Di samping menghindarkan lahirnya penguasa tunggal yang mendominasi kehidupan masyarakat, langkah itu juga ditempuh untuk menghadirkan regenerasi kepemimpinan lokal.
Bagaimanapun, digelarnya kontestasi di level lokal bermaksud menjaring siapa saja yang dibekali kompetensi mengembangkan dan memajukan desa. Suksesi kepemimpinan lokal sebisa mungkin diakses oleh semua orang dan tidak dikuasai oleh kelompok tertentu. Dalam konteks inilah, munculnya rivalitas dalam jabatan publik merupakan keniscayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar