klik sayangi bumi maka akan disayang langitan

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

(HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

*

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

surat (30) ar rum ayat 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)

surat (5) al maa'idah ayat 32

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ (٣٢)

surat 4 An Nisa' ayat 114

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ  ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

surat 3 Āli 'Imrān ayat 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

*

klik nasehat

klik emak

*

Jumat, 17 Februari 2023

Demokrasi Kita Baik-Baik Saja ?

klik RENDY PAHRUN W., Peneliti politik, peraih PhD dari University of Leeds, UK

editor : Dhimas Ginanjar

klik opini

Kamis, 16 Februari 2023 | 19:48 WIB

DAN Slater pada Januari 2023 menulis di salah satu outlet ilmiah prestisius, Journal of Democracy, tentang politik mutakhir Indonesia. Profesor politik dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, itu memberikan apresiasi yang tinggi bagi demokrasi Indonesia kontemporer, sebuah berita yang makin terdengar jarang.

Negeri kita adalah bukti hidup atas betapa kuatnya formasi masyarakat demokratis pada waktu dan tahun di mana penduduk dunia menyaksikan satu per satu negara demokrasi jatuh ke tangan otoritarianisme. Di Asia Tenggara hari ini, Indonesia adalah satu negara yang tergolong masih waras dibanding Myanmar yang tersiksa oleh cengkeraman militer, Thailand yang ditopang oleh monarki dan peraturan militeristis, atau Filipina di bawah kutukan pengaruh dinasti Marcos.

Sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas, Indonesia lagi-lagi tergolong ”normal” ketimbang Turki yang semakin menjurus pada otokrasi, Tunisia yang balik badan ke arah kuasa diktatorial, atau Sudan dan Mesir yang penuh konflik keras. Di lintasan liga negara dengan penduduk terbanyak semisal Rusia, Tiongkok, India, atau Brasil, Indonesia berhasil menyelamatkan demokrasi dari intervensi militer dan konflik berdarah, juga perang yang tak perlu.

Ringkasan profil kegagalan demokrasi negara-negara di atas memoles citra demokrasi kita. Indonesia adalah contoh yang baik dari negara yang pernah dikubur oleh kekuasaan kolonialisme selama ratusan tahun, untuk kemudian menikmati kemerdekaannya yang sebentar sebelum tenggelam kembali dalam trajektori otoritarianisme. Dalam segala keterbatasan, Indonesia pada akhirnya lepas dari kegawatan kolonial dan kepemimpinan otoriter, menandai pertobatan politik sistemis menuju demokrasi yang utuh dan bulat. Sampai pada awal 2023, Indonesia masih bertahan pada sistem ini meski berkali-kali eksperimen dan intensi untuk kembali pada era otoritarian masih terus disorongkan oleh banyak pihak.

Proyeksi ini barangkali kelewat optimistis. Tetapi, Slater juga mengingatkan bahwa Indonesia masih sekadar ”contoh” dan Indonesia belumlah menjadi teladan dan model. Terutama karena menguatnya intoleransi religius, polarisasi sosial, dan kebijakan-kebijakan kontroversial semacam UU Omnibus Law. Dengan tren kejatuhan negara-negara demokrasi, Indonesia pun harus dilihat sebagai negeri yang rentan dan secara realistis sangat mungkin untuk ditelan gelombang yang sama.

Pertaruhan

Pada titik inilah penulis lebih suka meletakkan kebaikan-kebaikan demokrasi Indonesia hari ini sebagai modal yang dipertaruhkan. Satu tahun ke depan akan menjadi waktu-waktu di mana turbulensi politik akan menguji seberapa kuat demokrasi kita. Kompetisi pemilu serentak pada Februari 2024 yang kurang setahun lagi sungguh-sungguh akan menjadi titik uji strategis (significant checkpoint) atas setidaknya tiga hal utama.

Pertama, seberapa kapabel sistem demokrasi kita dalam melahirkan kompetisi kandidat yang bermutu. Risiko pembusukan partai politik membuat kompetisi pemilu hanya mengulang-ulang nama-nama lama. Kontes pemilu dipenuhi figur-figur tua atau mereka yang berada dalam lingkaran dinasti politik yang pernah atau sedang berkuasa. Sirkulasi kandidat sengaja dibuat tertutup bagi kelompok yang datang dari kekuatan alternatif. Kepengapan ruang kompetisi ini adalah alarm pertama yang harus diantisipasi atas nama kesehatan demokrasi kita.

Kedua, seberapa mampu ekosistem politik kita untuk mengakhiri elitisme dalam pemilu. Indonesia, dalam banyak laporan independen, adalah negara yang tergolong lemah dalam menciptakan sistem yang mampu mengikat elite dan rakyat yang diwakilinya. Pemilu hanyalah rutinitas menyervis elite dan memberinya ruang cukup besar untuk mengobral janji. Tanpa memikirkan sebuah sistem untuk menagih janji ini dan menambah kekuatan posisional rakyat. Akibatnya, pascapemilu, kita menyaksikan lepasnya elite dari orbit kepentingan rakyat, seolah-olah janji hanya berlaku selama kampanye dan terdiskualifikasi dengan sendirinya begitu pemilu usai.

Ketiga, seberapa halus dan sukses Indonesia mengelola risiko-risiko dalam transisi politik. Periode transisional adalah masa paling genting ketika banyak negara di dunia kini menjadi semakin rentan dalam mengelola potensi konflik pascapemilu. Biang keroknya ada pada fanatisme dan polarisasi beracun yang sengaja didesain untuk membikin proses pemilu sarat manipulasi. Kita pernah dikepung oleh konflik serupa dan berita-berita atau rumor tentang pemilu curang dan konspirasi.

Kegagalan dalam mengelola tiga hal tersebut adalah pertanda serius yang dapat membawa kita pada deret negara demokrasi yang gagal. Kita boleh berharap pada ketahanan politik masyarakat sipil Indonesia, yang sebagaimana diakui oleh Dan Slater sendiri adalah luar biasa. Dalam performa demokrasi yang makin lama makin terancam oleh elitisme, masyarakat sipil tetap tegak berdiri sebagai salah satu, jika bukan satu-satunya, kekuatan waras yang menawarkan kearifan-kearifan politik. Salah satu kearifan itu adalah melepaskan ketergantungan berlebih atas seluruh eksponen elite politik.

Tetapi, tren-tren mutakhir tetap membuat kita mawas diri. Kita mungkin hanya dibatasi oleh tabir tipis antara demokrasi dan otoritarianisme. Tetapi, modal dan kebaikan-kebaikan yang selama ini dipunya adalah jangkar yang harus dikawal dan dipastikan terus-menerus. Pada poin ini, penulis sepakat pada Dan Slater: Indonesia adalah spesies langka (endangered species) yang harus dijaga. 

Tidak ada komentar: