Senin, 31 Juli 2023 | 19:45 WIB
*
resonansi dalam kepak sayap kupu-kupu🧐
*
SUPARTO WIJOYO, Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum & Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup MUI Jawa Timur.
KONDISINYA semakin terang bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja. Krisis iklim telah mengancam dan Indonesia mengalami dampak yang kian benderang. Harian ini melaporkan Kekeringan, Sejumlah Daerah Terancam Krisis Air Bersih (28/7). Wilayah bagian selatan khatulistiwa akan sering mengalami kekeringan akibat kemarau. Agustus–Oktober diprediksi hawa panas memuncak akibat El Nino.
Bulan lalu diwartakan pula Gelombang Panas Renggut Puluhan Nyawa di India (Jawa Pos, 20/6). Tercatat, 96 orang dilaporkan meninggal dunia karena mengalami heat stroke atau sengatan panas di wilayah Uttar Pradesh dan Bihar. Rata-rata suhu udara di sana mencapai 43–45 derajat Celsius. Kondisi ini direkam sebagai suhu udara yang lebih panas 9 derajat dari biasanya. Apa yang terjadi di India semakin menambah penanda bahaya ekologis sepanjang satu dasawarsa terkini.
Namun, secara global pemimpin dunia gagal mengambil momentum penyelamatan krisis iklim pada Konferensi Perubahan Iklim (COP-25) di Madrid 2019 maupun COP-27 di Mesir 2022. Bahkan, saat COP-25 dihelat, delegasi dari 196 negara yang hadir belum bersepakat secara signifikan. Padahal, 2019 dipotret sebagai tahun terpanas dalam sejarah peradaban manusia sejak era praindustri (1850–1900).
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan, pada 2019 terjadi kenaikan suhu mencapai 1,1 derajat Celsius, 410 PPM jumlah karbon dioksida, 329 miliar ton es di Greenland mencair, dan 26 persen air laut sekarang ini lebih asam. Sekjen PBB Antonio Guterres pun memperingatkan tentang titik krusial perubahan iklim akibat ikhtiar tak memadai untuk menghentikannya.
Jangan Bilang Aman Saja
Renungkanlah bahwa gelombang panas yang menghantam tatanan ekologis abad ke-21 ini bukanlah ilusi sains. Suhu panas telah dirasakan beberapa negara Asia, Afrika, maupun Eropa (Prancis, Italia, dan Spanyol) dengan suhu mencapai 45,9 derajat Celsius sebagaimana yang pernah “menyengat” Bulgaria, Portugal, Yunani, dan Makedonia Utara.
Lebih dari itu, pada 2023 diperkirakan mencapai kenaikan sekitar 1,2 derajat Celsius di atas suhu sebelum manusia memperhatikan perubahan iklim. Gelombang panas ini menurut WMO sangat konsisten dengan dampak gas rumah kaca. Petinggi PBB acap kali memperingatkan semua pihak agar segera mengambil langkah konkret mencegah kehancuran planet ini akibat global warming. Sejumlah besar prakarsa internasional harus diorganisasi untuk mengatasinya berdasar Paris Agreement: dunia wajib mempertahankan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius.
Dampak pemanasan global sudah sangat mengerikan. Laporan internasional sudah berserakan bahwa perubahan iklim dapat mengakibatkan seluruh planet bumi mengalami banjir, penurunan hasil pertanian, maupun kenaikan permukaan air laut dari 9–88 cm. Kondisi ini sangat membahayakan nasib negara-negara kepulauan dan hasil pertanian. Beberapa desa di Indonesia ditemukan direndam banjir selama lebih tiga bulan pada tahun 2023. Kerusakan ekologis-klimatologis ini telah membawa kerugian ekonomi yang besar.
Pemanasan global bukanlah ”takdir” dari siklus iklim. Situasinya sedang memberikan tengara bahwa dalam bernegara, di samping ada daulat rakyat, juga berdiri supremasi lingkungan. Fakta ekologis memberikan pesan berupa gelombang panas sebagai produk kebijakan yang tidak segera mengurangi penggunaan gas rumah kaca. Negara harus bertanggung jawab sesuai asas state responsibility yang dituangkan di berbagai regulasi.
Saatnya Berbenah
Apabila krisis iklim global tidak terkendali, konsekuensi yang dirasakan Indonesia adalah tenggelamnya 4.000 pulau dan kini sudah 23 pulau. Fenomena itu akan terus menjadi ”lorong maut ekologis” apabila khalayak ramai tidak bertindak bijak. Kalkulasi konsepsional yang relevan adalah kita mesti mereduksi emisi dalam titik normal sebagaimana tahun 1990. Hasilnya diprediksi selama 60 tahun ke depan bumi mengalami puncak keseimbangan ekologis yang paling prima. Sikap biarinisme harus dihentikan karena itu membahayakan keberlanjutan tata kelola semesta.
Dalam dimensi ini pengurangan GRK adalah pilihan. Pengurangan tersebut memerlukan perubahan “konsumsi” secara radikal. Emisi CO₂ misalnya yang harus turun 60 persen membutuhkan pengurangan bahan bakar fosil untuk transportasi, industri, maupun listrik pada tingkat dunia sampai setengahnya. Ini merupakan pertarungan melawan pemanasan global dan dunia harus dapat dimobilisasi untuk bertindak. Kyoto Protocol mengharuskan negara maju menurunkan emisi 5 persen di bawah emisi 1990. Amerika Serikat ditargetkan mengurangi zat perusak lapisan ozon 7%, Jepang 6%, dan Uni Eropa 8%.
Krisis iklim adalah buah dari aktivitas manusia yang melanggar batas toleransi ekologis. Kuasa lingkungan sedang menunjukkan eksistensinya guna mengingatkan manusia agar segera berbenah. Pemerintah telah diberi otoritas hukum untuk menanggulangi global warming dan kekeringan dengan segala alokasi serta distribusi anggaran. Membiarkan alih fungsi lahan dan kerusakan bentang alam adalah tindakan tidak bermoral serta mencederai jiwa terdalam UUD 1945 sebagai konstitusi hijau. Mari mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai esensi HAM warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar