Jika Masjidil Aqsha sering dikunjungi Umat Islam sebagaimana ibadah umroh dan haji ke Mekkah dan Madinah,
Bi Idznillah, niscaya penduduk Palestina akan makmur seperti halnya penduduk Mekkah dan Madinah, Insya Allah.
wallaahu a'lam bish showab.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِى هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah bersengaja melakukan perjalanan dengan sengaja (dalam rangka ibadah dan tujuan safarnya adalah tempatnya) kecuali ke tiga masjid: masjidku ini (masjid Nabawi), masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari, no. 1189 dan Muslim, no. 1397).
*
Tentang sejarah Baitul Maqdis dan Masjidil Haram disebutkan dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِى الأَرْضِ أَوَّلُ قَالَ « الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ ». قُلْتُ ثُمَّ أَىٌّ قَالَ « الْمَسْجِدُ الأَقْصَى ». قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ « أَرْبَعُونَ سَنَةً وَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلاَةُ فَصَلِّ فَهُوَ مَسْجِدٌ »
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah masjid mana yang pertama kali ada di muka bumi?’ Jawab beliau, ‘Masjidil Haram.’ Aku berkata, ‘Terus masjid apa lagi setelahnya?’ Jawab beliau, ‘Masjidil Aqsha.’ Aku bertanya, ‘Berapa jarak antara keduanya?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar empat puluh tahun. Tempat mana saja yang engkau dapati untuk shalat, maka shalatlah karena itu masjid.’” (HR. Muslim, no. 520)
*
During his conquest, Caliphate Umar ibn Khattab provided assurance of safety to the Christians of Jerusalem.
Rifqi Fairuz, 22 Mei 2019
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabari, the grand teacher of Quranic exegesis and a prominent historian, has reported in one of his famous books; “Tarikh al-Umam wa al-Muluk” (History of Nations and Kings) about an important historical pact of the agreement made and signed by the Caliph Umar bin Khattab to assure safety of Christians in Jerusalem.
The document is known as “Mu’ahada Aelia” or Pact of Aelia, because it was declared in Elijah, or Aelia, the ancient name of Jerusalem, in the year 15 Hijriyya / 636 AD. The texts of document as follows:
بسم الله الرحمن الرحيم، هَذَا مَا أَعْطَى عَبْـدُ اللهِ أَمِيرُ الْمُؤمِنِينَ عُمَر، أَهْلَ إِيلِيَا مِنَ الْأَمَـانِ، أَعْطَـاهُمْ أَمَـانـاً لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَلِكَنَائِسِهِمْ وَلِصُلْبَانِهِمْ وَمُقِيمِهَا وَبَرِيئِهَا وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، إِنَّهَا لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ وَلَا تُهْدَمُ وَلَا يَنْتَقَصُ مِنْهَا وَلَا مِنْ حَدِّهَا وَلَا مِنْ حِيَّزِهَا وَلَا مِنْ صلْبَانِهِمْ، وَلَا شَيْء مِنْ أمْوَالِهم، وَلَا يُكْـرهُـون عَلى دِينِهم، ولَا يُضَارُّ أَحدٌ مِنهم،…. شَهِـدَ عَلى ذلـك خَالِـدُ بن الـوليد، وعمرو بن العـاص، وعبد الرحمن بن عوف، ومعاوية بن أبي سفيان. كتب وحضر سنه خمس عشرة .
“In the name of Allah, the Most Gracious, Most Merciful. This is the assurance of safety (Aman) which the servant of God, Umar, the servant of the believers, has given to the inhabitants of Elijah. He has given them assurance of security/protection for the right to life, property rights, church buildings, their crosses, the weak and free people and all sects. Their churches will not be occupied, may not be destroyed by Muslims. There are nothing reduced from what is in the church or taken from its land; not their crosses, not their property, the inhabitants are not forced to convert and none of them can be harmed..”.
The signatory to this pact was witnessed by Khalid ibn al-Walid, Amr ibn ‘Ash, Abd al-Rahman ibn ‘Auf, Mu’awiya ibn Abi Sufyan and was set in 15 Hijriyya. (Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al -Muluk, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, vol. II, p. 449).
*
donation please
Salurkan bantuan & donasi anda
kode transfer : GAZA
BCA: 686.015.3678
Bank Mandiri: 124.000.8111.925
BSI: 700.1352.061
BRI: 033.501.0007.60308
Mega Syariah: 1000.209.400
a.n : Medical Emergency Rescue Committee
*
Bank Syariah Indonesia : 7015.1195.48
kode transfer : GAZA
a.n Bulan Sabit Merah Indonesia
*
*
BSI nomor rekening
703 310 1858
kode transfer : GAZA
a.n. Lembaga Forum Lingkar Pena
tambahankan angka 09. Contoh
100.009
*
doa
surat 7.Al-A'rāf ayat 23
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Keduanya berkata: \"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
surat 2 Al Baqarah Ayat 250
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَلَمَّا بَرَزُوْا لِجَـالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ قَا لُوْا رَبَّنَاۤ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَا مَنَا وَا نْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْکٰفِرِيْنَ
"Dan ketika mereka maju melawan Jalut dan tentaranya, mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."
surat 7 Al A'raf Ayat 126
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَمَا تَـنْقِمُ مِنَّاۤ اِلَّاۤ اَنْ اٰمَنَّا بِاٰ يٰتِ رَبِّنَا لَمَّا جَآءَتْنَا ۗ رَبَّنَاۤ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ
"dan engkau tidak melakukan balas dendam kepada kami, melainkan karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami." (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu)."
surat 2 Al Baqarah Ayat 201
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَاۤ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰ خِرَةِ حَسَنَةً وَّ قِنَا عَذَا بَ النَّا رِ
"Dan di antara mereka ada yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka."
*
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
(HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
*
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
surat (30) ar rum ayat 41
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)
surat (5) al maa'idah ayat 32
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ (٣٢)
surat 4 An Nisa' ayat 114
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
surat 3 Āli 'Imrān ayat 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
*
In respond to the document, an Indonesian Muslim scholar, Nurcholis Madjid, wrote in his work “Islam Agama Peradaban” (Islam Religion of Civilization):
Bernard Lewis, a prominent orientalist who is Jewish, frankly acknowledges this peaceful mission of Islam. He commented:
“In the early days, there was a lot of smooth social interaction between Muslims, Christians and Jews. While adhering to their respective religions, they form a society in which personal friendship, business collaboration between teacher-student relations in science and other forms of joint activities run normally and truly, everywhere. Such cultural collaboration is proven in many ways “.
The document by Umar ibn Khattab above illustrates his very deep view of the mercy of Islam which is not only given to his own nation and people, but to all human beings regardless of their religion. Thus prove that Islam was meant to spread peaceful messages, instead of terror and violence as portrayed nowadays.
Translated from the original version “Perjanjian Elia: Kesepakatan antara Umar dengan Nasrani di Yerussalem”
Written by Dr. Husein Muhammad (Founder of Fahmina Institute Cirebon, West Java. Recently awarded Doctor Honoris Causa on Quranic exegesis from State Islamic University Walisongo Semarang Indonesia)
*
Perjanjian Aelia dalam sejarah islam terjadi dan menjadi bukti islam agama rahmah bagi segenap alam
Ghufron Ibnu Mas'ud, 3 Mei 2016
Perjanjian Aelia mungkin terdengar kalah popular dibanding Piagam Madinah ataupun perjanjian Hudaibiyah dalam sejarah Islam. Namun, perjanjian ini mempunyai posisi penting dalam perkembangan Islam di Aelia. Perjanjian Aelia dibuat dan ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan umat Nasrani di Aelia. Aelia merupakan sebuah kota yang pada masa kekuasan Bani Abasiyah kemudian diganti menjadi al-Quds. Sekarang kota ini bernama Yerusalem, Palestina.
Persentuhan Islam dengan kota Aelia terjadi ketika Khalifah Umar bin Khattab memasuki kota tersebut pada tahun ke 15 H setelah sebelumnya pasukan islam menaklukkan Romawi. Penguasa Aelia saat itu, Patriarch Sophronius, secara khusus meminta kepada Umar bin Khattab sendiri untuk serah terima kota. Ketika menerima kekuasaan kota Aelia, Umar bin Khattab membuat perjanjian atau dikenal juga sebagai konvensi Umar. Isi perjanjian itu sebagaimana yang dikutip Kyai Husein Muhammad dari Ibn Jarir al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, (Beirut, 1997, jilid II, hlm. 449), sebagaimana berikut:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, pemimpin/pelayan orang-orang yang beriman, kepada penduduk Aelia. Ia adalah jaminan keamanan. Umar memberikan jaminan keamanan/perlindungan hak hidup, hak milik harta, bangunan-bangunan gereja, salib-salib mereka, orang-orang yang lemah,orang-orang merdeka dan semua pemeluk agama. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki, tidak dihancurkan, tidak ada hal-hal (sesuatu) yang dikurangi apa yang ada dalam gereja itu atau diambil dari tempatnya; tidak juga salibnya, tidak harta benda mereka, penduduknya tidak dipaksa untuk menjalankan keyakinan agama mereka dan tidak satu orangpun yang dilukai…”
Penandatangan perjanjian ini disaksikan oleh Khalid Ibn al-Walid, Amr bin ‘Ash, Abd al-Rahman bin ‘Auf, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ditetapkan pada 20 Rabi’ul Awal 15 H.
Jika kita mencermati isinya, setidaknya ada dua hal pokok yang dijaminkan Umar kepada umat Kristen Aelia Pertama, jaminan akan keamanan terhadap jiwa, harta dan bangunan gereja. Kedua, pernyataan atas jaminan kebebasan beragama dan beribadah. Perjanjian ini mengingatkan kita pada intisari piagam Madinah yang juga memberikan jaminan kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh penduduknya meskipun mempunyai paham keagamaan berbeda dengan Islam.
Melalui perjanjian ini khalifah Umar ingin mengajak umat Muslim untuk menghargai hak-hak umat Kristen yang mendiami kota dengan ketulusan hati. Dengan demikian menurut Dawud A. Assad (2010), umat Muslim sangat dihormati di Yerusalem dan mereka memperlihatkan toleransi terhadap agama lain, sehingga hal itu menunjukkan kelayakan mereka untuk memerintah kota secara murah hati.
Menurut sejarawan Islam Firas Alkhateeb, pada waktu itu perjanjian ini merupakan perjanjian paling progresif dalam sejarah Yarusalem. Ia membandingkan, hanya 23 tahun sebelumnya ketika Yerusalem ditaklukkan oleh bangsa Persia dari Bizantium, terjadi pembantaian umum yang diperintahkan. Pembantaian lain juga terjadi ketika Yerusalem ditaklukkan oleh Tentara Salib dari kaum Muslim pada tahun 1099. Konvensi Umar memungkinkan orang-orang Kristen memiliki kebebasan beragama dan beribadah di Yerusalem. Maka, perjanjian Aelia menjadi standar untuk hubungan Muslim-Kristen di seluruh bekas Kekaisaran Bizantium, dengan hak-hak orang ditaklukkan dilindungi dalam segala situasi.
Perjanjian Elia menjadi rekam jejak historis bahwa kekuasaan Islam memiliki aspek membangun dan merawat perdamaian. Hal ini menjadi bukti nilai ajaran Islam sebagai agama yang turun ke bumi untuk rahmat untuk semua alam (Rahmatan lil alamin). Allah menegaskan dalam surat al- Anbiya 107 “Dan tiadalah Kami mengutusmu (wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh semesta.”
*
Dalam sejarah, Umar membuat perjanjian penting bersama nasrani di Yerusalem
KH. Husein Muhammad, 12 Desember 2017
Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, guru besar para ahli tafsir dan sejarawan besar, dalam salah satu bukunya yang termasyhur; “Tarikh al-Umam wa al-Muluk” (Sejarah Bangsa-bangsa dan Raja-raja) mencatat dokumen sejarah penting tentang perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan umat Nasrani di Yerussalem.
Perjanjian ini dikenal dengan nama “Mu’ahadah Elia”, karena dideklarasikan di Elia, nama kuno Yerussalem, tahun 15 H/636 M. Isinya adalah:
بسم الله الرحمن الرحيم، هَذَا مَا أَعْطَى عَبْـدُ اللهِ أَمِيرُ الْمُؤمِنِينَ عُمَر، أَهْلَ إِيلِيَا مِنَ الْأَمَـانِ، أَعْطَـاهُمْ أَمَـانـاً لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَلِكَنَائِسِهِمْ وَلِصُلْبَانِهِمْ وَمُقِيمِهَا وَبَرِيئِهَا وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، إِنَّهَا لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ وَلَا تُهْدَمُ وَلَا يَنْتَقَصُ مِنْهَا وَلَا مِنْ حَدِّهَا وَلَا مِنْ حِيَّزِهَا وَلَا مِنْ صلْبَانِهِمْ، وَلَا شَيْء مِنْ أمْوَالِهم، وَلَا يُكْـرهُـون عَلى دِينِهم، ولَا يُضَارُّ أَحدٌ مِنهم،…. شَهِـدَ عَلى ذلـك خَالِـدُ بن الـوليد، وعمرو بن العـاص، وعبد الرحمن بن عوف، ومعاوية بن أبي سفيان. كتب وحضر سنه خمس عشرة .
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, pelayan orang-orang yang beriman, kepada penduduk Elia. Ia itu adalah jaminan keamanan.
Umar memberikan jaminan keamanan/perlindungan atas hak hidup, hak milik, bangunan-bangunan gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, orang-orang merdeka dan semua sekte-sekte. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki, tidak boleh dihancurkan, tidak ada hal-hal (sesuatu) yang dikurangi dari apa yang ada dalam gereja itu atau diambil dari tempatnya; tidak juga salib-,salibnya dan tidak pula harta benda mereka, penduduknya tidak dipaksa (meninggalkan) agama mereka dan tidak satu orangpun dari mereka yang boleh dilukai…”.
Penandatangan perjanjian ini disaksikan oleh Khalid Ibn al-Walid, Amr bin ‘Ash, Abd al-Rahman bin ‘Auf, Mj’awiyah bin Abi Sufyan dan ditetapkan pada tahun 15 H. (Ibn Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997, jilid II, hlm. 449).
Perjanjian yang dibuat Umar Ibn al-Khatthab, di atas menggambarkan pandangannya yang sangat mendalam tentang kerahmatan Islam yang tidak hanya diberikan kepada bangsa dan umatnya sendiri, melainkan kepada semua umat manusia apapun agama yang dianutnya.
Cak Nur (Nurcholis Madjid) dalam “Islam Agama Peradaban”, hal. 60 menulis :
“Bernard Lewis, seorang orientalis terkemuka yang beragama Yahudi, mengakui dengan terus terang misi kerahmatan Islam ini. Dia mengatakan:
“Pada masa-masa permulaan, banyak pergaulan sosial yang lancar terdapat di antara kaum muslimin, Kristen dan Yahudi. Sementara menganut agama masing-masing, mereka membentuk masyarakat yang satu di mana perkawanan pribadi, kerjasama bisnis hubungan guru-murid dalam ilmu pengetahuan dan bentuk-bentuk aktivitas bersama lainnya berjalan normal dan sungguh,umum di mana-mana. Kerjasama budaya ini dibuktikan dalam banyak cara”.
*
doa
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
Allaahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa wa ‘amalan mutaqobbalaa] “Ya Allah, aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyyib dan amalan yang diterima”
(HR. Ibnu Majah no. 925, shahih)
Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
"Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR Muslim).
surat 20 Ta-Ha ayat 114
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَقُل رَّبِّ زِدْنِى عِلْمًا
katakanlah, "Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku."
Dalam sebuah hadits di sebutkan ;
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ جَاءَهُ أَجَلُهُ وَهُوَ يَطْلُبُ الْعِلْم لَقِىَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّبِيِّيْنَ إِلَّا دَرَجَةُ النُّبُوَّةِ.
Rasulullah SAW. bersabda, “Barangsiapa yang kedatangan ajal, sedang ia masih menuntut ilmu, maka ia akan bertemu dengan Allah di mana tidak ada jarak antara dia dan antara para Nabi, kecuali satu derajat kenabian.” (HR. Thabarani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِى هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah bersengaja melakukan perjalanan dengan sengaja (dalam rangka ibadah dan tujuan safarnya adalah tempatnya) kecuali ke tiga masjid: masjidku ini (masjid Nabawi), masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari, no. 1189 dan Muslim, no. 1397).
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, mkaa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ، ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻗﺎﻝ: «ﺇﻥ اﻹﻳﻤﺎﻥ ﻟﻴﺄﺭﺯ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻛﻤﺎ ﺗﺄﺭﺯ اﻟﺤﻴﺔ ﺇﻟﻰ ﺟﺤﺮﻫﺎ»
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam: "Sesungguhnya iman akan berkumpul di Madinah, seperti ular berkumpul di dalam lubangnya" (HR Bukhari Bab Fadlail Madinah)
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar