Akademi Militer Harus Adaptasi, Jokowi: Sains, Teknologi, Engineering, Mathemathics, Semuanya Perlu Dipelajari
Kompas.com - 29/01/2024, 15:33 WIB
para panglima besar yang awalnya adalah guru ngaji dan santri
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Akademi Militer (Akmil) beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan teknologi. Jokowi pun meminta Akmil harus mempelajari sains, teknologi, ilmu keteknikan atau engineering, dan mathematics (STEM).
"Akademi militer juga sama, harus mampu dan mau menyesuaikan, beradaptasi dengan distrupsi, dengan perubahan teknologi," kata Jokowi saat meresmikan Graha Utama Akmil Magelang di Kesatrian Akmil, Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024).
"Oleh sebab itu, sains dalam pembelajaran sangat diperlukan di militer, sains, teknologi, engineering, matematika, semuanya perlu dipelajari," sambung dia. Dia menambahkan bahwa berkat perubahan teknologi, kini sudah banyak kendaraan seperti kapal hingga pesawat tanpa awak.
Bahkan, ada juga drone yang bisa mengejar sasaran secara akurat. Oleh karenanya, diperlukan adaptasi termasuk di Akmil.
"Karena kalau kita liat sekarang ini yang namanya kapal tanpa awak sudah sangat biasa. Pesawat besar tanpa awak juga biasa. Mobil tanpa awak di mana. Drone yang dipersenjatai dengan face recognition bisa mengejar sasaran tepat, akurat," ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Jokowi juga meresmikan Graha Utama Akademi Militer (Akmil) di Kesatrian Akmil, Magelang.
Jokowi mengatakan, Akmil merupakan tempat menempa mental, intelektual, dan menempa ketangguhan para prajurit.
Dia berharap Graha Utama ini bisa dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan akademis dan acara militer.
"Pembangunan Graha Utama seluas 8.068 meter persegi ini akan sangat memberikan dorongan kepada kita semuanya untuk belajar lebih baik lagi, karena sarana prasarana pendidikan di Akmil semakin lengkap dan semakin canggih dan semakin modern," kata Jokowi di lokasi saat meresmikan.
Acara turut dihadiri Menteri Pertahanan (Menhan) RI Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak, dan Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana.
Kemudian, hadir juga jajaran Kabinet Indonesia Maju (KIM) di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden RI Jenderal (Purn) Wiranto, serta jajaran purnawirawan lainnya.
*
*
doa
surat 7.Al-A'rāf ayat 23
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Keduanya berkata: \"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
surat 2 Al Baqarah Ayat 250
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَلَمَّا بَرَزُوْا لِجَـالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ قَا لُوْا رَبَّنَاۤ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَا مَنَا وَا نْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْکٰفِرِيْنَ
"Dan ketika mereka maju melawan Jalut dan tentaranya, mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."
surat 7 Al A'raf Ayat 126
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَمَا تَـنْقِمُ مِنَّاۤ اِلَّاۤ اَنْ اٰمَنَّا بِاٰ يٰتِ رَبِّنَا لَمَّا جَآءَتْنَا ۗ رَبَّنَاۤ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ
"dan engkau tidak melakukan balas dendam kepada kami, melainkan karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami." (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu)."
surat 2 Al Baqarah Ayat 201
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَاۤ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰ خِرَةِ حَسَنَةً وَّ قِنَا عَذَا بَ النَّا رِ
"Dan di antara mereka ada yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka."
*
muqoddimah kitab Riyadhus Shalihin karya Syaikh Imam an-Nawawi,
... إِنَّ للهِ عِبَادًا فُطَنَا ...
... طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الفِتَنَا نَظَروا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا ...
... أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا جَعَلُوها لُجَّةً واتَّخَذُوا ...
... صَالِحَ الأَعمالِ فيها سُفُنا ...
"Innalillahi ‘ibadan futhona, tholaqu ad-dunya wa khoful fitana, nadhoru fiha falamma ‘alimu, annaha laisat lihayyin wathona, ja’aluha lujjatan wattakhodzu, sholihal a’mali fiha sufuna.”
Artinya kurang lebih demikian, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana.
Ialah mereka yang menceraikan dunia karena khawatir akan tipu daya dan fitnahnya.
Mereka benar-benar melihat dan mengetahui, bahwa sesungguhnya dunia bukanlah tempat hidup yang sebenarnya bagi manusia.
Mereka melihat dunia sebagai bahtera lautan yang sangat dalam dan menjadikan amal saleh sebagai perahu untuk mengarunginya.
*
dakwah kepada manusia
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
surat 4 An-Nisa' ayat 114
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar."
surat 3 Āli 'Imrān 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
*
sekolahnya para penjaga hati, para penjaga tanah, air dan udara Indonesia 👍
*
Surat 9 At-Taubah 9 Ayat 105
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَا لْمُؤْمِنُوْنَ ۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَا لشَّهَا دَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ
"Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
*
HR. Abu Daud no. 4297 dan Ahmad 5: 278, shahih kata Syaikh Al Albani.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ السَّلاَمِ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا " . فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ " بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ " . فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ " حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ " .
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.”
*
ini adalah mesin enigma, dan ini adalah sekelumit kisah tentang peran matematika dalam enigma, insyaallah manfaat😊 (all videos is on subtitle, so you and our difabel friends can enjoy the videos)😊
Enigma stories
get closer with enigma
get closer with Alan Turing
*
TENTANG SERANGAN SIBER.
*
A Point of View: The Trojan horse
29 November 2013
Those Trojans, eh? A gullible lot weren't they? I mean to say: You've been fighting those mythomaniacal Greeks for many years and many of your people have been hacked apart most horribly, then one day you arise from your perfumed cushions in the seraglio, head to the battlements for a morning constitutional, and discover they've all upped sticks and gone. Not only that, but they've left behind what appears to be a gift of some sort. True, the era of Scandinavian-designed wooden objects lies well in the future, but even to your Bronze Age eyes there appears nothing more pleasingly innocuous than this hand-crafted horse. A statue of one of their gods might be troubling, and an obviously bellicose object, such as a shield or helmet writ large, would cry out not to be touched - but a lovely horsey! Well, you just can't wait to get hold of it.
Yes, gullible lot those Trojans, but when I consider the strange ideological involutions that have characterised British politics throughout my adult life I wonder if we aren't quite as credulous as they. After all, in the final analysis, it all comes down to gifts - presents that we save up for through that countrywide Christmas club we call progressive taxation, and which are then handed out by the jolly, ho-hoing Government in the form of public services. The strange thing is that although these "gifts" are seldom anything like as nice as the packaging they come wrapped in, we seem to fall for the little joke every time it's played on us.
Take state education for a start. Universal free and non-selective education was always presented by those on the left as simply a way of increasing social mobility. The old 11-plus-mediated separation of secondary modern goats from grammar school sheep was divisive and obviously unfair. But of course, inside the gift of the shiny new comprehensives crouched the vanguard of the proletariat. The same Labour government that pushed for them also seriously considered the abolition of all fee-paying schools, and their aim wasn't simply to level the playing field in terms of opportunity, but to turn the education system into the incubator of a future classless society.
Then on the other hand we have another gift - the huge give-away of public housing stock that began under the Thatcher government in the 1980s and which has continued to this day. What could be more generous than offering the less well-off an opportunity to become homeowners, especially at a 50% reduction on the market rate? Why, this doesn't just seem like a year-round Christmas - it's more like a permanent January sale. But of course, inside the pebble-dashed bellies of those properties there crouched a different detachment of warriors. These ones, quite as much as the revolutionary vanguard, were ideologically motivated. While they trumpeted domestic virtues, what they really championed was capital accumulation. Their fervid hope was that if some of those upwardly mobile council house purchasers were canny enough they might even factor their walk-up flats into a portfolio of shares in, say, the newly-privatised utilities.
Nowadays things aren't quite what they used to be, and gifts don't seem to be either. Instead of unwrapping a positive good the electorate are handed a negative capability. "Vote for us!" the main political parties cry, "and we'll return the favour by not taxing you punitively or alternatively by not still further eviscerating your already gutted public services." Still, while the gifts may have become intangible the packaging still has that familiar equine shape, the main purpose of which is to convince all us Trojans that we've been remembered on this special day. The ideological siege may have been lifted, but the key rhetorical terms remain portfolio ones - inclusiveness, fairness, equality. These are values that we all earnestly endorse, even as our society becomes relentlessly less inclusive, more unfair, and remains manifestly unequal.
And in the middle of all those ticklish horse feathers the same old warriors are hiding, while trying hard to stifle their giggles. The right, it is said, believe with utmost sincerity that their policies are best for the poor, because only a red-blooded capitalism can hope to deliver enough wealth for the overall standard of living to be raised. What they're less keen on admitting is that so long as there are "haves" there will obviously have to be "have-nots". But by the same measure, those on the left who believe it possible for everyone to have a bit, don't like to come clean that this means a few will definitely have to have a lot less.
Rather than do this, both sides indulge in a little dressage - grooming the horse, curry-combing its forelock and buffing up its hoofs - and come each budget announcement and election time the horse is rolled out in front of us. But I say "Ca suffit!" It's time that our political culture grew up enough not to depend on the subterfuge of such spurious gift-giving. After all, the suppressed premise on both sides of our increasingly prefabricated party wall is precisely the same. All our problems - as a society, a nation, a culture - can be easily circumvented so long as we feed the horsey the right fodder to ensure its growth.
Ah! Growth! Everybody loves growth, don't they? Without growth we'd be back in the dark ages with oxen pulling the plough, wouldn't we? And - if you'll forgive the extended chimerical analogy - an economy is also like a shark, isn't it? Unless it keeps on consuming natural resources and transforming them into the flexible cartilage of technological innovation, it dies, and we die with it.
In the years leading up to the financial crisis of 2007-8 the most plangent buzzword in our political discourse was "sustainability", a term borrowed from the life sciences that denotes an ecosystem capable of maintaining itself without depleting its resource base. Sustainability is, of course, still in, but over the last five years it's become strangely entwined with the convolvulus of "growth". The notion of sustainable growth is verging on the oxymoronic - and yet no one but the most extreme Luddite would dream of speaking out against it.
Why? Because the assumption is that to deny growth to any one part of the economy - no matter how bloated that may be - is by extension to deprive its most meagre portions of the nutrition they so desperately need. And yet what a curious notion this is really. Having laid to rest as grotesquely unfeasible - and worse, flying in the face of human nature - the socialistic conceptions of equality of income and collective ownership, we now discover that a system predicated on divisiveness nonetheless demands of us that we all be in it together.
In psychology, a situation in which a vulnerable person is stymied by mutually incompatible statements is called a double-bind. We've all experienced this - "I love you!" our loved ones have sometimes screamed at us in the most hate-filled of voices. It now seems to me that the double-bind has been extended from the private and intimate realm to the public and social one.
Some radical thinkers in the 1950s hypothesised that repeated exposure to the double-bind might be a cause of schizophrenia, and while this theory is now just as out of fashion as socialism, I'm not so sure that constantly hearing those in authority say one thing while meaning quite another hasn't made of our entire society a rather craven and psychically split entity.
So, those Trojans, eh, a gullible lot weren't they? Yet perhaps they weren't so much credulous as confounded. For years they'd been repelling Myrmidons while listening to their leaders tell them to just sit it out and eventually the Greeks would go away. From the battlements of Troy the wooden horse appeared altogether innocent, while Cassandra's prophecy was just yesterday's news - and we all know how much attention we pay to that.
Besides, the Trojans were only presented with this pseudo-gift once, while we've opened the city gates and rolled the things inside time and time again, until being bamboozled is just another tradition - like the trooping of the colour, or the state opening of parliament, that, while vacuous in itself, nonetheless constitutes a vital part of our identity.
*
cyber defend is a must.
DI PEKAN-PEKAN ke depan kita mungkin akan menyaksikan langsung bagaimana siber menjadi sarana perang, senjata untuk melumpuhkan infrastruktur vital suatu negara dalam konflik terbuka antar dua negara. Terbaru, serangan siber melanda jaringan pipa energi terbesar Amerika Serikat di tengah konflik siber dengan Rusia.
Pengerahan pasukan Rusia besar-besaran ke Crimea Ukraina dalam rangka perebutan sumber daya air, terdeteksi oleh banyak pihak. Belajar dari sejarah serangan Rusia ke Ukraina, serangan fisik selalu diawali dengan dua serangan siber: serangan disinformasipropaganda dan serangan logic penghancuran infrastruktur kritis.
Peretas pro-Rusia meluncurkan serangkaian serangan siber selama beberapa hari untuk mengganggu Pemilihan Presiden Ukraina Mei 2014, merilis email yang diretas, berusaha mengubah penghitungan suara, dan menunda hasil akhir dengan serangan Distributed Denial-of-Service (DDoS).
Serangan di Desember 2015 ditujukan kepada tiga pembangkit (Ukrenergo, Kyivoblenergo, dan Prykarpattyaoblenergo) yang mengancam nyawa 200 ribu penduduk di tengah musim dingin. Modus operandi serangan dengan memutus sirkuit, merusak konverter analog ke digital, menghapus data, dan menghancurkan cadangan baterai.
Serangan di Desember 2016 ditujukan kepada pusat transmisi Ukrenergo yang memutus 200MW listrik ke Utara Ukraina. Metode serangan yang dilakukan adalah spionase dan sabotase infrastruktur listrik.
Serangan di Juni 2017 menggunakan senjata yang berbeda lagi: NotPetya. Semua infrastruktur kritis Ukraina terkena dampaknya. Listrik dan air mati, sistem keuangan tidak beroperasi, pembayaran hanya dapat dilakukan melalui uang tunai sementara hampir semua ATM tidak berfungsi.
Semua sistem yang menggunakan Windows dan internet hampir dipastikan mati dan harus dibangun ulang sambil memastikan tidak ada lagi malware tersebut di jaringan.
Metode serangan berkembang, tapi polanya sama: spionase, pemutusan akses, penghancuran infrastruktur fisik, dan serangan disinformasi-propaganda.
Kemampuan operasi siber itu juga akhirnya dimiliki oleh China dengan serangannya ke sistem ketenagalistrikan Mumbai tahun lalu dan didemonstrasikan kembali oleh Israel yang menyerang instalasi nuklir Iran Natanz bulan ini. Keduanya tidak mengakui atribusi serangan CPS tersebut.
Serangan CPS (Cyber-to-Physical System) mengarah kepada perangkat Industrial Control and Automated System.
Lebih dikenal sebagai ICS, sistem ini mengontrol dan melakukan otomasi terhadap proses di semua industri yang berhubungan dengan pabrikasi, pemrosesan, energi, dan jasa seperti: pabrik kimia, pembangkit listrik, pengolahan air, logistik, dan transportasi.
Beberapa sektor di atas masuk pada infrastruktur vital karena kerusakannya dapat mengakibatkan ancaman nyata pada masyarakat umum.
Bayangkan saja jika blackout Jawa bagian Barat seperti kejadian di 4 Agustus 2019 atau kebakaran Balongan bulan lalu, dikarenakan serangan CPS, seperti di Ukraina.
Berdasarkan referensi Purdue, terdapat beberapa lapisan ICS Security dari instrumentasi fisik sampai ke jaringan internal korporasi, dengan lapisan penyangga (DMZ) antara zona bisnis dan zona operasi.
Lapisan inilah yang jika berhasil ditembus akan berpotensi menimbulkan bencana.
Penyerang akan dapat memutus sirkuit listrik, mempercepat putaran turbin, atau menambah dosis cairan pengolahan air sampai ke tingkat yang membahayakan.
Baru empat negara yang diduga kuat memiliki kemampuan serangan CPS ini: Amerika Serikat, Rusia, China, dan Israel. Keempatnya memiliki kesamaan: punya musuh nyata.
Negara yang punya musuh tentu memiliki alasan kuat untuk meningkatkan kemampuan pertahanan dan serangnya.
Rusia menggunakan krisis Ukraina dan Georgia untuk melatih kemampuan ini, seperti juga China kepada India, terutama pada kemampuan siber yang senyap dan susah atribusinya.
Hal yang tidak kita temukan di Indonesia. Kita tidak memiliki konflik yang mengarah krisis terbuka dengan negara lain, berkat diplomasi politik luar negeri bebas aktif.
Di satu sisi merupakan hal baik yang harus dipertahankan, namun di sisi lain kita tidak punya motif yang sangat sangat kuat untuk mengembangkan kemampuan pertahanan dan penyerangan siber.
Tidak ada “sparring partner” selain latihan serangan siber yang simulatif yang tidak punya risiko nyata. Aturan dan kebijakan keamanan siber kita juga masih tertinggal dibandingkan Qatar dan India misalnya, yang telah mempunyai standard pengamanan siber untuk ICS dan sektor energi.
Kita tinggal berharap dengan perubahan struktur organisasi BSSN berdasar Perpres 28 tahun 2021 dan peningkatan kemampuan siber TNI, bisa mengejar ketertinggalan ini, minimalnya dari sisi pertahanan terhadap ancaman serangan CPS. Semoga tidak terlambat.
Pergerakan pasukan Rusia ke Ukraina, bagaimana China sudah memarkir kapal perangnya di kawasan perairan Filipina, menghangatnya konflik China-Taiwan, krisis siber Rusia-Amerika, serangan ransomware Iran ke Israel, dan konflik perbatasan China-India, tentu akan ada efek langsung atau tidak langsung ke Indonesia baik di dunia nyata maupun di ranah siber.
Latihan perang konvensional sudah sering dilaksanakan, tapi bagaimana persiapan menghadapi perang siber?
*
Indo Asia Pasific Defense Forum
*
Down Detector🙁
*
Secure Code Warrior Training👍
*
Threat Reports
*
Cyber Attack Maps
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar