Pemenang Pemilu 2024 Adalah Plutokrasi
penulis : TAUFIQUROCHIM, Pengacara Publik YLBHI-LBH Surabaya
editor : Dhimas Ginanjar
Rabu, 24 April 2024 | 11:21 WIB
klik opini jawa pos
HABIS Gelap Terbitlah Terang, begitulah surat fenomenal RA Kartini dituliskan. Berbagai manuver tengah mewarnai panggung demokrasi yang memberikan kesan bahwa pemilihan umum (pemilu) tahun ini adalah masa-masa paling gelap. Terhadap sangkaan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dipercaya untuk membuka realitas praktik politik secara terang benderang. Antara harapan atau keprihatinan ada di pembacaan putusan pada 22 April 2024.
Namun, benarkah demikian? Apakah betul hasil Pemilu 2024 akan membawa semangat kekuasaan untuk rakyat? Atau justru sebaliknya bahwa Pemilu 2024 hanyalah instrumen jalan tol bagi kaum plutokrat (plutocrat atau pemilik modal) rakus yang ingin mempertebal kekayaannya dan melanggengkan ketimpangan?
Plutokrasi dan Gejalanya
Istilah plutokrasi (plutocracy) bermula dari kata bahasa Yunani plutos (kekayaan) dan kratos (kekuasaan). Sedangkan secara konsep menurut Xenophon dalam Memorabilia, istilah itu digunakan untuk menggambarkan bahwa kekuasaan hanya dikendalikan orang-orang yang memiliki kekayaan. Plutokrasi merupakan prima fatie dari oligarki. Fenomena semacam ini pada abad ke-6 dan 7 SM pernah menjadi topik percakapan oleh para kalangan filsuf Yunani klasik seperti Socrates, Thrasymachus, dan Glaucon. Menurut mereka, sistem model ini tidak adil (Plato: Republic).
Sekuat apa pun pertarungannya, fenomena politik kekuasaan hari ini tak ubahnya akan selalu condong terkesan seperti akrobat Sengkuni dalam memainkan dadu mistisnya melawan Yudistira dan para Pandawa. Secara konteks, selagi dadu itu dilempar, kekuasaan rakyat akan kalah. Plutokrasi tetap menjadi pemenangnya. Praktik plutokrasi sama wujudnya dengan makna kiasan dari otak Sengkuni: jahat dan manipulatif!
Watak jahat kenegaraan plutokrasi kerap ditandai dengan adanya operasi pembungkaman publik melalui skema hukum yang seolah-olah prosedural. Sebagai contoh kasus kriminalisasi terhadap pejuang agraria melawan pemilik modal dan kekuasaan besar.
Berdasar catatan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), antara 2014 hingga 2019 terdapat 146 kasus di Pulau Jawa.
Sedangkan menurut data yang dihimpun Lembaga Kajian dan Advokasi Masyarakat (Elsam), terdapat 22 kasus pidana antara Januari 2020 hingga April 2020. Apalagi, sepanjang tahun 2019, setidaknya terdapat 27 kasus pejuang agraria yang menjadi sasaran kriminalisasi; kasus ini melibatkan 128 individu dan 50 organisasi kemasyarakatan mengajukan tuntutan hukum. Dari banyaknya kasus tersebut, nyaris semua korban tidak mendapatkan keadilan.
Tentu saja contoh per kasus tidak bisa dijadikan sebagai landasan secara langsung untuk mendeteksi jejaring kaum plutokrat yang memenangkan kepentingannya di kontestasi pemilu.
Namun, yang namanya ikan busuk pasti bermula dari kepalanya. Artinya, selagi watak kenegaraan bercap plutokrasi, secara inheren sistem-sistem kekuasaan di bawahnya juga akan mengikuti paradigma kekuasaan di atasnya, yakni hukum hanya ramah kepada pemilik modal.
Sedangkan sifat manipulatif dapat dijumpai melalui proses legalisasi yang ugal-ugalan di sepanjang 2019 hingga 2023. Kaum plutokrat mengamankan kepentingan modalnya dengan membuat paket kebijakan yang penuh kontroversi. Mereka membuat seperangkat kebijakan dengan gaya politik populisme: memberikan proposal bahwa kebijakan yang dibuat adalah atas nama kesejahteraan rakyat. Namun senyatanya, dengan pembuatan produk kebijakan itu, justru banyak kaum buruh yang bersuara keras di atas mobil komandonya. Kaum petani dan nelayan yang merintih dalam keheningannya.
Lantas apa kaitannya antara fenomena politik era rezim Jokowi itu dengan kemenangan plutokrasi dalam Pemilu 2024?
Bukankah setiap rezim mempunyai corak tersendiri dan tidak dapat disamakan?
Pertanyaan tersebut di satu sisi bisa benar manakala yang kita potret adalah personal identitasnya. Namun, perlu diingat, dalang dan wayang utama dalam orkestra Pemilu 2024 adalah elite-elite yang sebelumnya satu gerbong dengan rezim Jokowi. Singkatnya, koalisi pengusung Pemilu 2024 sedikit banyak telah berkontribusi dalam membuat paket kebijakan proplutokrat yang sarat dengan ketidakadilan itu.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga mempertegas fenomena hal demikian bahwa elite-elite koalisi dalam Pemilu 2024 tak ubahnya gurita pengusaha tambang dan energi layaknya Pemilu 2019. Katakanlah postur di paslon 01 setidaknya ada 8 orang pemilik modal kelas kakap, di antaranya seperti Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Fachrul Razi. Di paslon 02 terdapat 22 orang, di antaranya seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Thohir, Bahlil Lahadalia, dan Airlangga Hartarto. Sedangkan di kubu paslon 03 ada sekitar 9 orang seperti Sandiaga Uno, Puan Maharani, dan Hary Tanoe.
Rebut Kembali Demokrasi
Pemilu 2024 adalah sandiwara para plutokrat yang tengah memerankan dirinya sebagai demagog ulung. Menjelang Pemilu 2024 digelar, banyak elite pendukung rezim Jokowi yang dulunya menjadi aktor perias citra baiknya, tapi secara tiba-tiba mengutuk praktik watak kenegaraannya. Entah apakah sikapnya merupakan murni bentuk ”tobat massal” atau karena memang karakteristik ”hipokrit” para elite itu sendiri. Tampaknya agak sukar rakyat membedakan itu.
Lantas rakyat harus bagaimana?
Di saat demokrasi keterwakilan buah dari teori pemisahan kekuasaan ”Montesquieu” tengah dibajak oleh plutokrat, hanya dengan menciptakan ruang konvergensi rakyat yang bisa dilakukan, yaitu dengan mengokang solidaritas rakyat dari bawah sebagai gerakan perubahan untuk merebut kembali demokrasi dan mengontekstualisasikan perjanjian sosial baru dengan desain kontrol pemerintah demokrasi kolaboratif.
Lex populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) merupakan senyawa dari demokrasi kolaboratif. Sistem ini harus dimaknai bahwa demokrasi tidak hanya menempatkan rakyat sebagai objek pemilu saja. Akan tetapi, mereka harus diposisikan sebagai subjek aktif yang mempunyai hak suara akhir pada pengambil keputusan di setiap isu kebijakan. Melalui skema ini diharapkan rakyat setidak-tidaknya mampu mengendalikan watak arogan dari plutokrasi, kemudian mengembalikan bangsa ini kepada khitah demokrasi.
*
Plutokrasi, Sistem Pemerintahan Paling Manipulatif
16 September 2021
klik nalar politik
Sistem pemerintahan yang paling sukar diubah dan sebenarnya paling manipulatif adalah plutokrasi dalam bentuk demokrasi. Plutokrasi adalah pemerintahan oleh kelompok elite-elite kaya dalam suatu negara. Mereka bisa saling berantam, tetapi mereka tetap fokus pada kepentingan yang paling kaya.
Banyak contoh plutokrasi di dunia, dan yang paling penting adalah Amerika Serikat. Amerika sebenarnya plutokrasi. Itu sampai diakui oleh perancang strategi Republikan sendiri yang tahun-tahun 70-an ikut merancang Southern Strategy.
Perang dingin yang terjadi di dunia saat ini sebenarnya bukan antara demokrasi vs otoritarianisme. Itu semua cuma tabir asap. Amerika bukan demokrasi, dan Cina bukan negara otoriter. Yang terjadi adalah plutokrasi vs meritokrasi.
Meritokrasi adalah sistem pemerintahan dengan menempatkan orang-orang terbaik pada posisinya. Bisa dilakukan dengan macam-macam, misalnya dengan “demokrasi” semu seperti Singapura, atau dengan terang-terangan tanpa tabir asap seperti Cina.
Analisis Plato dalam bukunya Republik sekitar 2300 tahun silam ternyata masih berlaku saat ini. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang gampang sekali beralih pemerintahan tirani mayoritas yang bersikap seperti perusuh (mob rule).
Nazi Hitler lahir dengan cepat ketika Jerman mengadopsi sistem demokrasi. Saat ini, demokrasi melahirkan Trump dengan menggunakan ketakutan kaum bawah kulit putih. Demokrasi menaikkan Modi, yang pelan-pelan mengubah India dari sekuler menjadi Hindutva. Demokrasi menjadikan Erdogan merangkul islamis.
Kenapa?
Karena dalam demokrasi, seorang demagog selalu muncul, lalu dengan orasi berapi-api yang memecah belah masyarakat, yang mengajak masyarakat ke arah kebencian, akhirnya dia dielukan dan terpilih. Untuk didukung terus, dia akan menggunakan cara yang sama, menyorongkan kebencian.
Demokrasi memungkinkan semua itu terjadi. Dalil demokrasi bahwa pemerintah dari rakyat itu cuma ocehan belaka. Karena semua itu cuma urusan kampanye, urusan nyari suara, urusan manipulasi pendapat umum, lalu kemudian mengklaim bahwa itu dari rakyat. Omong kosong semua itu.
Yang bisa diukur hanya “hasil” kerja pemerintahan, apakah itu “untuk” rakyat. Urusan “untuk” gampang diukur secara objektif, apakah rakyat tambah makmur; apakah kesejahteraan lebih merata? Apakah pemerintah mengabdi benar-benar untuk “melayani” rakyat? Fokus ke UNTUK, bukan DARI.
2300 tahun silam, filsuf Plato dari Yunani memilih pemerintahan aristokrasi, pemerintah yang dijalankan oleh aristokrat pemikir, yang mengambil keputusan secara rasional untuk sebesar-besar kepentingan rakyat. Aristokrasi Plato itu adalah meritokrasi.
Para eksekutif pemerintahan tidak perlu dipilih rakyat. Tetapi hasil pekerjaannya harus terbuka untuk dievaluasi rakyat. Selama rakyat senang dengan hasil kerjanya, maka sistem pemerintahan itu legit.
Jika dalam suatu masyarakat tidak bisa terjadi kekompakan sehingga terjadi satu elite pemikir dalam masyarakat yang bertujuan demi kepentingan rakyat semata, kemungkinan masyarakat itu belum mampu bernegara. Lebih baik dipecah saja sampai pada unit mereka bisa bertanggung jawab.
Jika pemerintah harus dipilih rakyat, pemerintahan itu harus benar-benar tidak boleh terlalu banyak hak dan kekuasaan. Kekuasaan harus didelegasikan pada unit-unit wilayah lebih kecil di mana ada kekompakan dan ada sistem pengawasan yang benar.
Amerika adalah sistem yang makin kacau, karena kekuasaan terlalu besar di tangan presiden, yang kemudian menggunakan kekuasaan tidak demi melayani masyarkat, tetapi demi kelangsungan kekuasaan itu sendiri.
Asumsi-asumsi bahwa pemerintah yang berasal dari mekanisme demokratis akan selalu bisa membenahi diri otomatis itu keliru besar. Itu semua cuma asumsi, cuma mitos doang. Kekuasaan selalu korup, apalagi kemudian dapat legitimasi bahwa mereka dapat mandat rakyat.
Pemerintah yang menang pemilu selalu merasa dapat “mandat” rakyat, kekuasaan tertinggi, dan sering semena-mena. Usaha mereka kemudian difokuskan untuk kembali mendapat mandat lagi dalam pemilu mendatang, dan fokus pada coblosan suara. Akhirnya negara jadi kacau.
Dibutuhkan pemerintah yang tidak mentang-mentang, tidak merasa dapat mandat rakyat. Tetapi bahwa mereka ditugaskan untuk melayani masyarakat karena kualitas kemampuan mereka. Bahwa jabatan itu tugas, bukan kedudukan. Itulah meritokrasi.
Beberapa sistem pemerintah di negara Eropa itu demokratis dan bagus. Tetapi lihat, pimpinan toh seperti rakyat biasa, kekuasaan mereka juga sangat dibatasi. Tetapi tidak semua negara bisa berevolusi menjadi seperti itu. Demokrasi juga bisa menjadi alat tirani.
Mekanisme demokrasi cuma alat, dan itu bukan satu-satunya alat. Gak usah didewakan. Yang penting dalam menilai sistem pemerintahan, lihat hasil dan cara kerjanya. Apakah sistem itu berfokus pada melayani rakyat?
Proses demokrasi hanya efektif jika dilakukan dalam kelompok kecil, untuk ketua lingkungan dan lain sebagainya, yang jelas-jelas orang tahu siapa yang dipilih. Mereka tidak butuh kampanye lagi. Mereka sudah menjadikan hidup dan sepak terjang bertahun-tahun sebagai “kampanye”.
Untuk kelompok besar, apalagi sudah ratusan juta orang, gak mungkin orang tahu siapa para kandidat. Akhirnya yang ada adalah manipulasi pendapat umum. Yang ada adalah lomba manipulasi, kampanye saling tipu.
Soal Cina, saya sangat khawatir kalau mereka cepat terdesak untuk mengubah sistem menjadi sistem demokrasi liberal. Karena itu berbahaya, akan muncul demagog yang menggunakan nasionalisme untuk menggebuk yang lain. Ini yang sedang terjadi di India.
Cina itu bukan nation-state, tetapi civilization-state. Partai Komunis saat ini sudah berfungsi baik mengendalikan ekspresi nasionalisme sehingga tidak meletus dan membahayakan negara-negara lain. Bodoh sekali Amerika yang mau mengubah sistem yang sudah berjalan adem-adem di Cina.
Mereka harus ingat, seratus tahun silam, Amerika dan negara-negara Eropa, plus Jepang menyerang Cina bareng-bareng sambil merampas harta-harta di sana. Sampai saat ini mereka masih ingat. Reruntuhan Summer Palace sengaja gak diberesin untuk dikenang.
Apa yang akan terjadi jika nasionalisme di sana muncul menggebu-gebu? Itu 1,4 miliar manusia, dengan kemampuan yang makin tinggi, sangat berbahaya. Karena itulah, lebih baik negara seperti itu dijalankan oleh para teknorat yang memakai kepala dingin, bukan para orator yang menggebu-gebu.
Hanya para strategis ulung yang mengerti apa yang bisa terjadi kalau naga dibangunkan rasa nasionalismenya. Jangan pernah lakukan hal itu. Biarkan Cina berkembang menjadi civilization-state, negara yang mengandalkan peradaban, bukan nasionalisme menggebu-gebu.
Hanya dengan kepala dingin, kemajuan Cina bisa kita pastikan menjadi terang bagi negara-negara lain. Lebih baik Cina berkembang seperti dinasti zaman dulu, seperti Ming. Walaupun punya angkatan laut paling besar pada eranya (armada Zhengho), mereka tidak menyerang Eropa. Paling cuma jalan-jalan saja.
Saya susah membayangkan kalau Cina menjadi negara dengan mekanisme demokrasi seperti India, lalu muncul orang-orang seperti Modi dengan pasukan RSS gaya FPI. Waduh.
Mau tahu apa yang terjadi kalau energi Cina meletus? Waktu Revolusi Kebudayaan meletusnya ke dalam (implosion), gimana kalau entar meletus keluar (explotion)? Hong Kong, cuma satu kota kecil, lihat apa yang terjadi tahun 2019 silam.
Karena itulah, saat ini dibutuhkan kepala dingin. Cara-cara provokasi seperti Amerika dengan permainan speaker kencang-kencang itu berbahaya. Perlu kepala dingin untuk bisa mengarungi arus perubahan dan kemajuan di masa mendatang di Asia Timur ini. Ini sudah era masa depan.
Pemilu-pemilu dengan pidato berapi-api, hasut-menghasut masyarakat, memecah belah, menghantam pihak lain, nasionalisme menggebu-gebu, semua itu hanya akan bikin susah sendiri dan tetangga. Saatnya Asia Timur (termasuk Timur Selatan/Tenggara) perlu mengademkan diri. Tinggalkan politik seperti itu.
Bertrand Russell, filsuf terkenal Inggris, pernah mengajar di Universitas Beijing, dan menuliskan buku tentang Cina di tahun 1920-an. Dia cukup jeli untuk mengamati dan melihat bahwa Cina berpotensi menawarkan jalan ketiga, selain kapitalisme vs sosialisme.
Sistem ketiga Cina saat ini mulai jelas. Itu adalah cara tradisional sejak lebih dari 2000 tahun silam, dimulai dari sejak Dinasti Han, yang mendirikan universitas imperial (taixue) untuk mendidik calon pemimpin.
Ya, pada waktu Plato berangan-angan adanya satu sistem aristokrasi, di Cina sebenarnya angan-angan Plato sedang diimplementasikan dan dikembangkan secara evolusioner. Sistem pemerintahan berbasis aristokrasi yang menggunakan mekanisme meritokrasi untuk memilih calon-calon pimpinan terbaik. Itu dilakukan dengan persaingan lewat ujian imperial.
Untuk mencegah mengentalnya korupsi, aturan adalah pimpinan tertinggi di daerah tidak boleh berasal dari daerah yang bersangkutan. Jadi justru penggunaan putra daerah dihindari, karena kolusi akan lebih mudah terjadi jika putra daerah yang memimpin sebuah daerah.
Apa yang terjadi di Cina saat ini jelas bukan sistem komunisme murni Eropa. Pada dasarnya perpaduan antara ide-ide Marxisme-Leninisme Eropa dengan sistem yang sudah berlaku di Cina sejak ribuan tahun, yaitu meritokrasi.
Sejak zaman dulu Cina diperintah oleh kelas birokrat sarjana, yang sejak orang Barat masuk disebut kelas Mandarin. Mereka itu orang-orang berpendidikan tinggi dalam sejarah dan filsafat ala Cina. Salah satu cara mencapai posisinya adalah dengan ujian, dan mengumpulkan kredit kerja.
Jika dilihat dari cara kerja, Partai Komunis Cina saat ini sebenarnya mirip dengan kelompok Mandarin tersebut. Bisa dibilang, anggota-anggota partai yang aktif itulah anggota-anggota kelas birokrat Mandarin zaman dulu. Sama seperti Mandarin, mereka naik pangkat juga dengan mengumpukan prestasi kerja.
Inilah pertengkaran ideologis saat ini, antara plutokrasi vs meritokrasi. Saya lebih suka meritokrasi karena lebih merakyat. Setiap individu yang mau ikutan, dan memang pintar dan bisa kerja, punya kesempatan naik posisi dalam pemerintahan, bukan hanya adu isu-isu kampanye seperti terjadi di sistem plutokrasi dalam demokrasi.
Dalam negara-negara dengan sistem meritokrasi seperti Cina, Singapura, mereka tidak lagi memperdebatkan ideologi di tingkat akar rumput. Ngapain debat-debat tidak ada gunanya, yang terkadang bertikai sampai saling memusuhi dan saling berantam.
Yang difokuskan adalah sistem monitoring, siapa-siapa saja yang korupsi, siapa-siapa saja yang berprestasi, siapa-siapa saja yang berhasil mengangkat derajat hidup rakyat yang diayomi, dan lain sebagainya. Yang korup dipecat atau dihukum, yang berjasa naik posisi.
*
Fenomena Plutokrasi dan Ketimpangan Ekonomi
klik Investor.id
25 Feb 2016 | 06:10 WIB
penulis : Beni Sindhunata, Pendiri Investment and Banking Research Agency (Inbra)
editor : Gora Kunjana
Yang kaya yang berkuasa. Itulah makna istilah plutokrasi. Plutokrasi berasal dari akar kata bahasa Yunani, ploutos (kekayaan) dan kratein (penguasa).
Plutokrasi adalah perilaku atau praktik yang sudah bersifat klasik, global, dan universal. Tidak salah jika Chrystya Freeland (2012) memilih Plutocrats ‘The Rise of New Global Superch Rich sebagai judul bukunya. Fenomena sejenis telah diungkapkan oleh Robert H. Frank dan Philip J.Cook ketika tahun 1995 menulis tentang The Winner Take All Society.
Kelompok plutokrat inilah yang mencoba membangun kembali kerajaan bisnisnya yang selama ini sebagian dirusak oleh pemerintahan yang berkuasa. Kelompok ini sudah biasa masuk dalam peringkat Top 50 atau Top 100 orang terkaya (miliarder) sedunia, bahkan terkesan umum menjadi rutinitas global dan klasik.
Majalah Fortune atau Forbes termasuk di antara majalah yang rutin setiap tahun melaporkan daftar peringkat Top 100 korporasi terbesar atau Top 50 miliarder terkaya dunia, per kawasan atau negara tertentu. Ini juga diikuti berbagai dinamika jatuh bangun sang miliarder dan naik turunnya kekayaan.
Dinamika kehidupan bisnisnya terkait erat dengan dinamika perekonomian global mulai dari sektor industri, manufaktur, jasajasa perdagangan, perbankan dan jasa keuangan lain. Langkahlangkahnya tidak terlepas dari pergerakan harga komoditas, baik mineral maupun pangan di bursa komoditas, fluktuasi kurs, dan pergerakan pasar modal. Karena demikian cepatnya pertumbuhan kekayaan dan menyebarnya jumlah orang kaya dan super kaya (HNWI, high net worth individual) maka perusahaan riset keuangan dan investment konsultan seperti Cap Gemini rutin merilis daftar orang superkaya (HNWI).
Perdagangan Obat Terlarang
Tapi, di luar bisnis konvensional tersebut ada juga miliarder yang tumbuh dan berkembang pesat dari kegiatan bisnis haram terkait criminal dan dunia hitam (underground business). Mayoritas dan terbesar adalah dari bisnis perdagangan obat terlarang (narkoba). Industri narkoba dan obat terlarang ini sudah menguasai dunia dengan nilai perdagangan sedunia mencapai sekitar US$ 500 miliar setara 36% produk domestik bruto (GDP) Kolumbia.
Sebagaimana diutarakan oleh Tom Feiling dalam Cocaine Nation (2011) bahwa perdagangan obat terlarang menjadi bom atom bagi Amerika Latin karena kawasan ini adalah pemilik lahan coca yang daunnya di ekstrak menjadi kokain. Kolumbia punya 157 ribu hectare kebun kakao sehingga jadi produsen dan penyalur utama obat terlarang dengan jaringan global yang menggurita di bawah kendali kartel kartel obat. Dengan jaringan distribusi ketat dan panjang maka harga kokain naik berlipat ganda.
Di Kolumbia harganya sekitar 655 paund-sterling per kilogram, masuk ke Meksiko utara menjadi 3.940 sterling. Kalau berhasil lolos di perbatasan, benda haram itu akan masuk pasar AS dengan harga 11.750 pond per kilogram yang kemudian dipecah-pecah lagi dalam ukuran kecil dan dihargai 18.500 pond per gram. Perdagangan kokain di AS di bawah kendali kartel Medellin (Pablo Escobar).
Bisnis haram ini membuatnya jadi miliarder kriminal dengan aneka bisnis haram dan terlarang. Menurut data National Drug Control Policy tahun 2000 konsumsi cocaine di AS seberat 259 metrik ton dan 13,3 metrik ton untuk heroin. Pemerintah AS menghabiskan dana US$ 50 miliar untuk mengurangi perdagangan obat terlarang dari marijuana sampai heroin. Ini termasuk dari memberantas lading ganja sampai sosialisasi untuk pencegahan di kalangan pelajar yang jadi konsumen utama. Di AS sendiri perdagangan obat terlarang berkisar 25 miliar pond per tahun, kurang 1% GDP AS, kurang 2% dari konsumsi pribadi.
Dari bisnis haram inilah Pablo Escobar tumbuh dan berkembang menjadi miliarder kriminal dengan kekayaan sebesar US$ 30 miliar. Ini sebuah jumlah yang sangat besar, hampir 10 kali lipat penghasilan PT Freeport Indonesia yang mencapai US$ 3,7 miliar (2013). Sedangkan tambang tembaga terbesar di dunia itu juga menyimpan deposit emas yang tak kalah banyaknya.
Bos kartel terbesar Medellin ini dikenal umum sebagai pedagang dan penyalur obat terlarang. Selain itu juga akrab dengan penyelundupan, perdagangan senjata, terorisme, pencucian uang, pembunuhan, korupsi, suap dan pemerasan. Jaringannya menyelundupkan heroin sekitar US$ 500 juta per hari ke pasar AS.
Uang, kekuasaan dan koneksi politik telah menghapus semua latar belakang bisnis haramnya yang terkait dunia kriminal. Itu seakan lenyap sirna tak berbekas dan telah menyilaukan mata publik, warga dan birokrat sehingga dia dipilih menjadi anggota Partai Liberal di negaranya Kolumbia, negara yang memiliki kebun kokain seluas 175 ribu hektare yang dirawat dan dijaga ketat. Miliarder kriminal pendiri kartel Medellin ini akhirnya tewas dalam pertempuran berdarah dengan polisi Kolumbia tahun 1993.
Dari Top 20 Miliarder kriminal terkaya menurut majalah Myfirstclasslife tahun 2015, semuanya terkait dengan bisnis perdagangan obat terlarang di samping bisnis kriminal lain umumnya dari perdagangan senjata, terorisme, pencucian uang, korupsi, pemerasan dan penyuapan. Ini hanya contoh kasus di Amerika Latin, negeri kaya tapi miskin. Mayoritas berdomisili dengan basis di kawasan Amerika Latin yang jadi pusatnya kartel obat terlarang sampai ke Segitiga Myanmar. Para kriminal ini meraih keuntungan luar biasa dari kartel perdagangan obat terlarang, obat bius dan sejenisnya dan pasarnya menembus dari Amerika Selatan, Amerika Utara, Afrika Barat terus ke Uni Eropa dan kawasan lainnya.
Sedangkan Mafia legendaris AS, Al Capone, berada di peringkat 11 dengan nilai kekayaan US$ 1,7 miliar. Di luar benua Amerika ada 4 yang terbesar adalah Dawood Ibrahim Kashur (India) dengan nilai harta sebesar US$ 6,7 miliar (peringkat 3) disusul Khun Sa dengan US$ 5 miliar (peringkat 6) dan Yen Li Ye Gon US$ 300 juta (peringkat 16).
Lembaga Filantropis Dunia
Dinamika dan peringkat miliarder kriminal yang terrus melambung ini menegaskab bahwa uang, kekuasaan, dan koneksi politik adalah senjata dan tameng yang ampuh. Apalagi berlagak menjadi philantropis yang rajin menebar uang ke publik bisa menyilaukan dan menghapus latar belakang kelam seorang miliarder criminal atau kriminal yang jadi miliarder.
Untuk miliarder kriminal kelompok ini tentu tidak cocok lagi dilihat dari aspek etika dan moralitas. Karena itu, Financial Act Task Force (FATF) dari OECD mulai memperhatikan aktivitas lembaga filantropis dunia karena kadang kala itu dipergunakan sebagai sarana untuk pencucian uang. Praktik seperti itu biasanya tumbuh subur dalam kegiatan-kegiatan transfer pemain dan pertandingan sepakbola, perjudian, perdagangan obat terlarang, terorisme, penyaluran bantuan sosial dari lembaga internasional dan korupsi.
Praktik demikian semakin subur di Negara dengan lapisan birokrasi yang korup. Greg Palast dalam The Best Democracy Money Can Buy (2003) mengungkapkan bagaimana praktik buruk dari politikus Demokrat maupun Republik membohongi rakyat AS dan publik dunia maupun di panggung politik di AS.
Meskipun jauh di negeri sana, tapi denyut nadi politik dan demokrasi di AS, baik dari lingkugan Partai Demokrat maupun Partai Republik akan terasa juga di Jakarta. Itulah perkembangan dunia yang kini terasa semakin kecil. Dengan caranya sendiri, kaum plutocrat ikut berperan dalam hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar