klik download uu tni
10 hari terakhir di bulan Ramadhan 1446H/2025M,
berdoa yang terbaik, agar 🇲🇨 Indonesia🇲🇨 nggak semakin absurd.
mohon doa terbaik dari para kyai, dari para ustad dan ustadzah, dari para alim ulama muslim untuk kebaikan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan doa terbaik untuk negeri ini.
Bagi yang berdemo jangan lupa sholat tarawih nya juga👍
klik Netral - Pertempuran Hati
klik jadwal Healing
klik Tentang Kewajiban Pelaksanaan Sholat
klik Opening Radio Suara Muslim Surabaya
klik ustad nurhadi - tvri stasiun jawa timur
*
*
surat 4 An-Nisa' ayat 114
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar."
surat 3 Āli 'Imrān 104
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
*
kenapa menolak dwifungsi abri
klik https://vt.tiktok.com/ZSMo61K2d/
klik https://vt.tiktok.com/ZSMojcRUv/
klik Gus Dur vs Dwifungsi TNI: Keberanian yang Mengubah Sejarah
klik Inayah Wahid Roasting Pemerintah Soal Demo UU TNI
*
menasehati para pemimpin
klik NU
klik NU 2
klik Muhammadiyah
klik Muhammadiyah 2
*
tentang revisi ruu tni/polri
klik Kenapa RUU Polri di bahas sembunyi-sembunyi
klik RUU Polri Jadi Polemik, DPR Dituntut Hentikan Pembahasan
*
PENGESAHAN UU TNI
klik TAK PEDULI Protes Rakyat, DPR Resmi SAHKAN RUU TNI Jadi Undang-undang, Ratusan DPR Tepuk Tangan
*
Xxx
Xxx
*
Xxx
Xxx
*
Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?
15 Maret 2025
Diperbarui 16 Maret 2025
klik BBC
Lebih dari 2.500 prajurit aktif TNI telah menduduki jabatan sipil di Indonesia. Jika UU TNI jadi direvisi, jumlah tersebut akan bertambah dan berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI era Orde Baru, kata pegiat demokrasi anggota Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.
Pemerintah menargetkan revisi beleid tersebut bisa selesai sebelum masa reses DPR RI atau sebelum libur Lebaran tahun ini. Adapun DPR akan memasuki masa reses mulai Jumat, 21 Maret 2025.
Revisi itu antara lain akan mengatur penambahan usia dinas keprajuritan serta memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil,
Sejumlah organisasi hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkhawatirkan revisi tersebut akan mengacaukan tatanan demokrasi serta kembalinya militerisme dan Dwifungsi ABRI era Orde Baru yang menjadi trauma kolektif masyarakat Indonesia.
Jalur 'ngebut' revisi UU TNI
Pada Jumat 14 Maret, atau hampir satu bulan setelah surat presiden dirilis, Komisi I DPR RI menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) bersama pemerintah.
Dalam susunan jadwal rapat yang diperoleh kantor berita Antara, tertera bahwa jadwal acara konsinyering rapat Panja RUU TNI Komisi I DPR RI dengan pemerintah itu dilangsungkan di salah satu hotel bintang lima di kawasan Senayan, Jakarta, sejak Jumat (14/03) siang pukul 13.30 WIB.
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, mengatakan pembahasan RUU TNI masih akan berlangsung hingga Minggu (16/03).
Anggota Panja akan ngebut jika ingin menyelesaikan pembahasan revisi sebelum anggota DPR ke masing-masing daerah pemilihan pada 21 Maret.
"Kami tidak ingin bertele-tele," kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono, seperti dikutip Kompas.com.
Merespons rapat tersebut, anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan protes dengan memasuki salah satu ruangan hotel—tempat rapat berlangsung, Sabtu (15/03). Mereka meminta pembahasan dilakukan secara terbuka.
"Pembahasan ini tidak sesuai karena diadakan tertutup," ujar salah satu anggota koalisi, Andrie Yunus, yang juga merupakan Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) saat menerobos masuk ke ruang rapat panja.
Ia memandang pembahasan tertutup tersebut tidak sesuai dengan komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik.
Aspirasi itu disampaikan oleh tiga orang perwakilan koalisi yang mendadak memasuki ruang rapat panja, namun para perwakilan tersebut langsung ditarik ke luar ruang rapat oleh pihak pengamanan rapat.
Setelah ditarik ke luar ruang rapat, para perwakilan koalisi tetap menyerukan aspirasi mereka.
Andrie menilai RUU TNI mengandung berbagai pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.
Selain itu, dia menilai, agenda revisi UU TNI berpotensi melemahkan profesionalisme militer dan bisa mengembalikan Dwifungsi TNI, sehingga militer aktif akan dapat menduduki berbagai jabatan sipil.
Menurutnya, perluasan penempatan TNI aktif pada jabatan sipil tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan serta loyalitas ganda.
Tiga pokok penting dalam revisi UU TNI
Dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPR (13/03), Panglima TNI Agus Subiyanto berjanji menjaga keseimbangan peran tentara dan masyarakat secara profesional.
"Kami mempertahankan prinsip supremasi sipil dan profesionalisme militer dalam menjalankan tugas," katanya sebagaimana dikutip Tempo.
Ada tiga pasal yang akan menjadi sorotan dalam revisi UU ini, seperti disampaikan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
Pasal 3 mengatur soal kedudukan TNI yang berada di bawah presiden dalam perkara pengerahan dan pengunaan kekuatan dan militer; dan di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dalam hal kebijakan dan strategi serta dukungan administrasi.
Pasal 47 Perluasan keterlibatan TNI dalam instansi sipil. Sebenarnya dalam Pasal 47 UU TNI, para prajurit TNI aktif bisa ditempatkan di 10 kementerian atau lembaga sipil. Namun, dalam draf revisi, instansi yang bisa mereka rambah bertambah lima, menjadi 15 institusi.
Lima lembaga sipil tambahan itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
Pasal 53 terkait dengan perubahan batas usia pensiun. Sebagaimana dilaporkan Kompas.com, dalam draf revisi UU, usia pensiun perwira TNI paling tinggi 60 tahun. Sementara untuk bintara dan tamtama adalah 58 tahun.
Penambahan jabatan sipil yang dipegang militer
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI TB Hasanuddin menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pada awalnya terdapat 10 kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif.
Kemudian, pada revisi Undang-Undang TNI, direncanakan terdapat penambahan sebanyak lima kementerian/lembaga dari ketentuan undang-undang sehingga menjadi 15 kementerian/lembaga
Lalu pada pembahasan Panja RUU TNI, sambung Hasanuddin, ada penambahan satu badan yang nantinya bisa diduduki prajurit TNI aktif, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Sehingga terdapat 16 kementerian/lembaga yang bisa ditempati prajurit TNI aktif.
Namun, apabila ada prajurit TNI aktif yang menduduki suatu jabatan di luar kementerian/lembaga tersebut, Hasanuddin menyampaikan bahwa prajurit TNI tersebut harus mengundurkan diri dari kedinasan.
"Jadi, yang sudah final sebanyak 16 kementerian/lembaga, di luar itu harus mundur," tutur anggota DPR yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen tersebut.
Tugas TNI ditambah dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) TB Hasanuddin mengungkapkan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI akan menambah tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Sehingga, OMSP dalam RUU TNI akan bertambah dari 14 menjadi 17.
Penambahan tugas TNI, menurut TB Hasanuddin, antara lain menjaga ketahanan siber dan mengatasi masalah narkoba.
"Ada tiga penambahan, menjaga ketahanan siber, mengatasi masalah, narkoba, dan ada yang lain-lainnya," ujar TB Hasanuddin sebagaimana dikutip kantor berita Antara di sela Rapat Panja RUU TNI di Jakarta, Sabtu (15/03).
Dengan demikian, ujarnya, TNI akan membantu Badan Siber Sandi Negara (BSSN) untuk kepentingan bangsa dan negara.
Sementara dalam mengatasi peredaran narkoba, kata dia, tugas TNI nantinya memberikan bantuan kepada pemerintah, namun tidak ikut dalam penegakan hukumnya.
"Saya kira ini nanti akan diatur dengan peraturan presiden juga," ucapnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur 14 OMSP yang menjadi tugas TNI, yakni:
1. mengatasi gerakan separatis bersenjata
2. mengatasi pemberontakan bersenjata
3. mengatasi aksi terorisme
4. mengamankan wilayah perbatasan
5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.
6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri
7. mengamankan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya
8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta
9. membantu tugas pemerintahan di daerah
10. membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia
12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan
13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue)
14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Pada hakikatnya, penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil adalah dwifungsi militer, kata Ardi Manto Adiputra, direktur Imparsial—LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan.
"Dwifungsi militer itu adalah perluasan penempatan militer aktif di jabatan-jabatan sipil," sambungnya.
Menurut Ardi, penempatan prajurit aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), misalnya, jelas tidak tepat karena KKP adalah lembaga sipil.
Penempatan militer aktif dalam BNPT dan BNPB dengan alasan koordinasi yang lebih mudah juga kata Ardi tidak terlalu kuat.
"Solusinya bukan menempatkan militer aktif di sana. Belum tentu juga masalah koordinasi itu akan terselesaikan. Yang dibutuhkan itu adalah regulasi terkait dengan tata kelola hubungan kerja antar-lembaga."
Penempatan militer aktif di Kejaksaan, menurut Ardi, tidak tepat karena fungsi TNI adalah sebagai alat pertahanan negara. Adapun Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum.
Pelibatan militer aktif dalam sistem peradilan terpadu akan membuat kacau, kata Ardi
"Kalau nanti polisi tiba-tiba minta: 'Kami juga mau dong di Kejaksaan Agung, di Mahkamah Agung, karena [dengan alasan] bagian dari integrated criminal justice system'. Nah ini kan bahaya," paparnya.
Alih-alih diperluas, Koalisi justru mengusulkan agar jabatan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif justru dikurangi.
Dalam UU TNI saat ini, anggota TNI aktif dapat menduduki posisi di 10 kementerian dan lembaga meliputi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Pertahanan Negara, Sekretariat Militer Presiden, Intelijen Negara, hingga Sandi Negara.
Selain itu, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Bagaimana jika usia pensiun prajurit TNI diperpanjang?
Pemerintah ingin usia pensiun prajurit TNI diperpanjang dalam revisi Pasal 53 UU TNI.
Mungkin niatnya baik, kata Ardi. Namun, menurutnya, tindakan ini akan mengandung konsekuensi yang tidak kecil.
"Yang pertama adalah konsekuensi terjadinya bottleneck kepangkatan atau sistem prajurit TNI."
Menurut dia, TNI tidak siap menghadapi tantangan ini. "Ini terlihat dari banyaknya perwira militer TNI yang non-job atau tanpa jabatan karena jabatan di militer juga sangat terbatas."
Konsekuensi yang paling besar juga menurutnya adalah soal pembiayaan.
"Menurut hitungan kasar kami, setidaknya per tahun diperlukan tambahan budget sekitar Rp120 miliar untuk [perwira yang] memperpanjang usia [pensiun] dari 58 ke 60," kata Ardi.
Jumlah ini katanya hanya untuk gaji pokok, belum termasuk aneka tunjangan dan dukungan untuk yang lainnya.
"Nah jadi kapan kita mau modernisasi alutsistanya kalau kayak begitu? Masa uang budget pertahanan itu habis untuk pengeluaran pengeluaran rutin?"
Ardi menyebut saat ini ada 2.569 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil, termasuk di 10 lembaga yang diizinkan dalam UU TNI.
"Kita mengutip data itu dari Babinkom TNI sendiri, yaitu sebesar 2.569 prajurit TNI pada tahun 2023."
Data ini didapatkan ketika Imparsial hadir dalam seminar terbatas di Lemhanas.
"Imparsial pernah melakukan pendataan. Cuma [hasilnya] itu sekitar 1.000 [prajurit aktif]. Itu pun data tahun 2019 dan hanya 23 orang yang menduduki jabatan di luar 10 [lembaga] ini. Tapi kita setelah itu udah nggak pakai lagi," ujarnya.
Apa itu Dwifungsi TNI?
Konsep 'Dwifungsi' TNI dapat ditelusuri dan ditautkan dengan pidato Jenderal Abdul Haris Nasution pada 11 November 1958 di Akademi Militer Magelang.
Dalam pidato itu Nasution mengungkapkan konsep 'Jalan Tengah' yang membuka jalan bagi TNI untuk berperan dalam bidang sosial dan politik—selain fungsi pertahanan dan keamanan.
Pada 1960, Nasution mulai memperkenalkan istilah ini dan diterima secara luas setelah Seminar Angkatan Darat pada 1965, seperti yang ditulis Bilveer Singh dalam bukunya Dwifungsi ABRI: Asal usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan (1996).
Tapi sebenarnya gagasan 'Dwifungsi' militer sudah ada jauh sebelum pidato Nasution.
Dalam buku The Army and Politics in Indonesia, Harold Crouch menyebutkan selama masa revolusi, rakyat memandang peran angkatan bersenjata penting, bahkan lebih penting dari peran kalangan politisi sipil, dalam mengejar tujuan bangsa yaitu kebebasan dan kemerdekaan.
Hal ini menyebabkan pimpinan militer merasa sudah ada sebelum republik dan berani mengeklaim bahwa mereka juga memiliki hak berpolitik dan peran sosial yang sama dengan kekuatan lain dalam masyarakat.
Meski begitu, ada perbedaan 'Dwifungsi' pada masa Revolusi dengan konsep 'Jalan Tengah' Nasution.
Pada masa revolusi kemerdekaan, orientasi dwifungsi militer lebih fokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan dan menjaga integritas negara-bangsa yang belum lama lahir.
Berbeda halnya dengan praktik dwifungsi setelah diperkenalkannya konsep 'Jalan Tengah' Nasution yang secara ideologis membuka jalan bagi militer untuk berpolitik, mencampuri keamanan dalam negeri dan kehidupan sipil lainnya, seperti dipaparkan Arry Bainus dalam buku berjudul Mengatur Tentara (2012)
Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?
Kepala Staf Angkatan Darat Maruli Simanjuntak mengatakan bahwa orang-orang yang terus mempersoalkan penempatan TNI dalam jabatan sipil justru memiliki agenda sendiri untuk menyerang institusinya.
Dia juga heran dengan munculnya anggapan bahwa penempatan TNI dalam jabatan sipil akan mengembalikan situasi seperti era Orde Baru.
"Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini, kampungan menurut saya," cetusnya.
Meski demikian, Direktur LSM Imparsial, Ardi Manto Adiputra, berpendapat masyarakat umum punya trauma atas militerisme dan penerapan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.
Praktik Dwifungsi berdampak pada berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI yang mendominasi pemerintahan.
Pada puncaknya, di era 1990-an, anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.
"Selama Orde Baru, Korem, Kodim, Koramil, dan Babinsa telah terlibat dalam politik praktis untuk menggalang kekuatan-kekuatan dalam pemilu, pencalonan bupati, camat atau kepala desa," kata almarhum Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah (1951-2001) seperti dikutip Salim Said dalam bukunya Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000 (2002).
"Tragedi Tanjung Priok itu kan salah satu protes masyarakat sipil yang direspons dengan cara militer oleh pemerintah," kata Ardi.
Tragedi pada 1984 ini menyebabkan 23 orang meninggal dan dipicu bentrok warga dengan aparat Babinsa.
Babinsa atau Bintara Pembina Desa adalah prajurit Angkatan Darat yang bertugas di tingkat desa atau kelurahan yang secara struktural ada di bawah Komando Rayon Militer (Koramil) dan menjadi bagian dari Komando Distrik Militer (Kodim).
Saat ini, militer dilibatkan dalam pengamanan objek strategis nasional atau proyek strategis nasional.
"Dalam praktiknya kebijakan dan pendekatan keamanan itu sudah melahirkan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia," kata Ardi.
"Kita bisa lihat di daerah Papua dan Sulawesi misalnya. Beberapa proyek strategis nasional itu diamankan oleh prajurit TNI atau militer aktif. Ini contoh yang terjadi di era Reformasi saja."
*
Revisi UU TNI: 'Militer itu tidak pernah demokratis' – Apa bahayanya jika TNI merambah dunia sipil?
klik BBC
18 Maret 2025
Penolakan terhadap revisi UU TNI yang dikhawatirkan akan mengembalikan militerisme di Indonesia terus bergulir. Pengamat militer menjabarkan apa saja mudarat yang bisa muncul ketika anggota TNI menjabat di institusi sipil.
Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih menuai polemik dari sejumlah pegiat, akademisi, dan masyarakat sipil.
Selain mengadakan diskusi publik secara luring, gelombang penolakan juga bergaung di media sosial seperti petisi daring yang diunggah Minggu (16/03).
Pada Selasa (18/03) pukul 04.55 WIB, petisi berjudul 'Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI' itu sudah ditandatangani 12.336 orang.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan juga memprotes pembahasan revisi UU TNI yang dinilai "tertutup" di sebuah hotel bintang lima di Senayan, Jakarta, pada Sabtu (15/3)
Seperti diberitakan sebelumnya, Pasal 47 UU TNI mengatur prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 10 kementerian atau lembaga sipil.
Salah satu poin revisi UU TNI adalah penambahan jumlah ini menjadi 16 institusi (sebelumnya 15 institusi).
DPR tetap berkukuh menjalankan pembahasan revisi UU TNI tersebut yang ditargetkan selesai sebelum masa reses pada Jumat (21/03) ini.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad membantah pembahasan revisi UU TNI itu dikebut dan berlangsung tertutup.
Dilansir Kompas.com, politisi Gerindra itu menegaskan hanya ada tiga pasal yang mengalami perubahan dalam UU TNI.
Ketiga pasal itu adalah soal batas usia pensiun TNI, koordinasi antara Kementerian Pertahanan dan TNI, dan—yang paling menjadi sorotan—ketentuan prajurit menduduki jabatan di kementerian atau lembaga sipil.
"Pada saat ini, sebelum direvisi, ada 10 [kementerian dan lembaga]. Kemudian ada penambahan," ujar Dasco dalam konferensi pers di kompleks Senayan pada Senin (17/03).
Selain kementerian dan lembaga yang diatur dalam revisi UU TNI, Dasco mengatakan prajurit TNI baru dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Akan tetapi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengeklaim dalam petisinya bahwa selama ini banyak anggota TNI aktif yang duduk di jabatan sipil tanpa mengundurkan diri terlebih dahulu.
Mungkinkah pejabat sipil dari orang TNI bersikap demokratis?
"Militer itu enggak pernah demokratis," jawab Made Supriatma, peneliti ISEAS–Yusof Ishak Institute, ketika dihubungi pada Senin (17/03).
"Aturan militer itu adalah komando, hierarkis. Ini diperlukan ketika perang. Ibarat mesin, sekrup-sekrup mereka itu harus kencang."
Menurut Made, budaya komando itu tidak bisa dibawa ke jabatan sipil yang membutuhkan konsensus dan deliberasi dalam pengambilan keputusan.
Made memberikan contoh sederhana ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak menanggapi kritik kenaikan pangkat Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya dari mayor menjadi letnan kolonel (letkol).
"[...] itu kewenangan kami [Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan KSAD]. Jangan diintervensi terus," ujar Maruli pada 12 Maret 2025 seperti dilansir Kompas.com.
Made mengatakan posisi Teddy yang memegang jabatan sipil membuat kenaikan pangkatnya "harus diperdebatkan".
"[KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak] langsung marah," ujar Made.
"Kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah 'jangan diperdebatkan'."
Selain itu, Teddy mengingatkan dunia sipil memberi ruang untuk terjadi kesalahan—sesuatu yang tidak ada di dunia militer.
"Di dunia militer, begitu Anda salah, hukumannya fisik. Kalau di Indonesia lebih sadis: dipukul perutnya… ditempeleng…itu biasa. Tapi tidak bisa dilakukan di dunia sipil," ujar Made.
Apakah orang sipil dapat bersaing secara karier dengan prajurit TNI di kementerian/lembaga?
Pasal 47 Ayat (1) UU TNI mengatur para prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 10 kementerian atau lembaga sipil.
Sepuluh kementerian dan lembaga itu adalah:
1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam)
2. Kementerian Pertahanan (Kemhan)
3. Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres)
4. Badan Intelijen Negara (BIN)
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)
5. Lembaga Sandi Negara
6. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas)
7. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
8. Badan Nasional Narkotika (BNN)
9. Mahkamah Agung
Salah satu poin pembahasan revisi UU TNI yang tengah bergulir adalah penambahan instansi ini menjadi 16 institusi (sebelumnya 15 institusi).
Enam lembaga sipil tambahan itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan kementerian atau lembaga yang dapat dijabat prajurit TNI aktif sudah dijelaskan secara mendetail dalam draf RUU.
"Posisi-posisi yang dibolehkan untuk diduduki oleh TNI aktif seluruhnya memang membutuhkan keahlian teman-teman TNI," ujar Hasan melalui pesan teks kepada BBC News Indonesia pada Senin (17/03).
Dalam keterangan pers pada Senin (17/03), Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan penambahan jumlah dilakukan "karena di masing-masing institusi di undang-undangnya dicantumkan sehingga kita masukkan ke dalam revisi UU TNI".
"[Di] Kejaksaan Agung, misalnya, ada Jaksa Agung Pidana Militer yang di Undang-Undang Kejaksaan dijabat oleh TNI," ujarnya.
"Kemudian untuk [BNPP] pengelola perbatasan [itu dimasukkan] karena beririsan dengan tugas pokok dan fungsi [TNI]."
Akan tetapi, pengamat militer dan Kepala Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45), Jaleswari Pramodhawardani, mempertanyakan urgensi dari penambahan enam lembaga sipil tersebut.
"Seakan-akan hanya TNI yang bisa [menduduki jabatan itu]. Sipil pun juga bisa," ujar perempuan yang sebelumnya dikenal sebagai peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
"Kita mesti berhati-hati karena akhirnya nanti semua hal bisa dimasukkan TNI dengan alasan masyarakat sipil enggak mampu. Nah, enggak mampu itu indikatornya apa?"
Jaleswari juga mengingatkan potensi terjadinya "demoralisasi" di antara masyarakat sipil—dalam hal ini Aparatur Sipil Negara atau ASN.
"Masyarakat sipil atau ASN sudah meniti karier dari bawah, jenjang karier jelas di birokrasi. Terus tiba-tiba banyak sekali TNI di-BKO-kan kepada jabatan-jabatan sipil," ujar Jaleswari.
"Ini, kan, demoralisasi. Ngapain capek-capek meniti karier?"
Terpisah, Made dari ISEAS–Yusof Ishak Institute mengatakan keterlibatan tentara dalam ranah sipil yang meluas akan semakin menutup peluang orang sipil yang punya keahlian.
"Banyak orang sipil, sudah bekerja puluhan tahun, tahu persis apa yang terjadi, sudah dididik bahkan dikirim ke luar negeri untuk menjalani pelatihan atau mengambil gelar sarjana. Tiba-tiba masuk kolonel atau brigjen yang tidak tahu apa-apa," ujar Made.
"Meritokrasinya tidak jalan," ujar Made.
Di sisi lain, Made mengingatkan perluasan jabatan sipil ini juga tidak baik untuk TNI.
"Tugas utama seorang prajurit adalah mempersiapkan diri untuk menjaga negara ini 24 jam," ujarnya.'
Senada, Jaleswari menegaskan bahwa dalam konteks profesionalisme TNI, penugasan di luar domain pertahanan negara yang merambah wilayah kerja sipil berpotensi menciptakan beban ganda yang kontraproduktif.
"Diversifikasi tugas semacam ini, alih-alih meningkatkan efektivitas, dapat justru mendistorsi fokus utama TNI sebagai kekuatan pertahanan," tandasnya.
Apa yang akan terjadi jika prajurit TNI yang memegang jabatan sipil tersandung korupsi?
Kritik mengenai penempatan prajurit TNI aktif di jabatan-jabatan sipil sebetulnya "cuma permukaan", menurut Made Supriatma.
Dia menekankan bahwa sistem peradilan militer di Indonesia belum mengalami reformasi yang signifikan.
Kurangnya transparansi dalam peradilan militer, sambung dia, menyebabkan ketidakjelasan mengenai proses hukum dan hukuman yang diberikan kepada anggota militer yang melakukan pelanggaran.
"Peradilan militer itu belum tersentuh sama sekali," ujarnya.
"Di kita itu bahkan kelihatan bahwa peradilan militer itu menjadi pelindung untuk impunitas militer. Seperti misalnya kasus Tim Mawar."
Penanganan kasus korupsi di lingkungan militer sering kali menuai kritik karena otoritas militer dianggap enggan menerima campur tangan dari pihak luar.
Pada Juli 2023, KPK meminta maaf kepada TNI dan menghentikan penyelidikan dugaan korupsi yang melibatkan perwira tinggi militer dalam kasus suap Basarnas.
KPK pada saat itu menarik diri dari kasus tersebut dan menyebut para penegak hukum mereka melakukan "kekhilafan".
Pernyataan itu disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak setelah perwakilan TNI yang dipimpin Komandan Pusat Polisi Militer TNI Marsekal Muda Agung Handoko mendatangi kantor KPK.
Menurut Made, ketika prajurit TNI—dalam hal ini khususnya yang memegang jabatan sipil—melakukan kriminal yang terkategori sipil, maka penyelesaiannya harus peradilan sipil.
"Bukan di peradilan militer. Pembunuhan, korupsi dan lain sebagainya itu itu kasus sipil. Bukan kasus militer," tutur Made yang menekankan fokus utama kasus militer adalah desersi.
"Kalau seandainya militer tidak ada akuntabilitas, mengapa mereka harus dapat jabatan sipil?
"Sementara orang-orang sipil itu akuntabilitasnya jelas. Kalau ketahuan korupsi, diadili paling tidak. Walau ada banyak persoalan di peradilan itu sendiri, tapi paling tidak akuntabilitasnya itu ada."
Jaleswari mengatakan kontrol sipil yang demokratis harus memastikan bahwa peradilan militer tidak digunakan untuk melindungi anggota TNI yang melakukan tindak pidana sipil.
"Dalam konteks TNI yang profesional, maka peradilan militer harus tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip hukum yang adil dan transparan," ujar Jaleswari.
Di sisi lain, dia mengakui pengadilan militer dapat mengadakan sidang tertutup untuk kasus-kasus tertentu seperti halnya pengadilan umum.
"Jika kasus yang disidangkan melibatkan informasi yang dapat membahayakan keamanan nasional, seperti taktik militer, teknologi persenjataan, atau operasi intelijen, sidang dapat diadakan secara tertutup," ujarnya.
Apa saja kasus-kasus kekerasan dan intimidasi yang melibatkan anggota TNI?
1. Bentrok TNI-Warga Kebumen akibat sengketa lahan (2019):
- Kasus ini terjadi akibat dari sengketa lahan antara warga dengan TNI.
- Dalam kasus ini terjadi bentrokan yang menimbulkan korban luka-luka.
- TNI saat itu mengatakan "tindakan tegas" dilakukan karena warga tidak mau meninggalkan area tersebut.
2. Penyerangan Polsek Ciracas (2020):
- Sejumlah anggota TNI yang menyerang dan merusak Polsek Ciracas, Jakarta Timur.
- Tindakan ini dilaporkan dipicu berita bohong yang disebarkan seorang anggota TNI yang terlibat kecelakaan tunggal tetapi mengeklaim dirinya dikeroyok
3. Kasus Penganiayaan di Mappi, Papua (2022):
- Kasus ini melibatkan dugaan penganiayaan oleh prajurit TNI terhadap dua pendudukMappi, Papua pada 30 Agustus 2022.
- Satu orang dilaporkan tewas. Insiden dilaporkan diawali dari laporan seorang warga lainnya yang berkonflik dengan kedua korban.
4. Kasus Kekerasan di Boyolali (2023):
- Kasus ini melibatkan dugaan kekerasan oleh anggota TNI terhadap relawan salah satu paslon pemilu.
- Tindakan ini diduga dipicu oleh ketidakpuasan terhadap suara bising knalpot kendaraan relawan.
5. Penggerudukan Polrestabes Medan (2023):
- Peristiwa penggerudukan terjadi di Mapolrestabes Medan pada 5 Agustus 2023 berkaitan dengan penangkapan dan penahanan tersangka mafia tanah.
- Tersangka merupakan saudara dari seorang anggota TNI berpakat mayor yang mendatangi Polrestabes Medan dengan rombongannya dan berseragam lengkap
Bagaimana kesan Indonesia di dunia internasional?
Menanggapi isu revisi UU TNI yang masih terus bergulir, Jaleswari melontarkan satu pertanyaan: apa yang ingin disampaikan Indonesia ke dunia internasional?
"Jika perluasan kewenangan TNI itu terus ditambah, bagaimana orang-orang luar akan melihat? Di mana-mana banyak TNI. Batalyon Pangan, kemudian Food Estate, kemudian ada di Bulog, ada macam-macam," ujar Jaleswari.
"Nah, ini apa? Kesan apa yang ingin kita sampaikan kepada dunia luar? Kita tahu bahwa TNI itu, kan, bersenjata, memiliki senjata. Kalau misalkan dia masuk ke wilayah-wilayah sipil itu, ya, tidak bisa."
Menanggapi isu revisi UU TNI yang masih terus bergulir, Jaleswari melontarkan satu pertanyaan: apa yang ingin disampaikan Indonesia ke dunia internasional?
"Jika perluasan kewenangan TNI itu terus ditambah, bagaimana orang-orang luar akan melihat? Di mana-mana banyak TNI. Batalyon Pangan, kemudian Food Estate, kemudian ada di Bulog, ada macam-macam," ujar Jaleswari.
"Nah, ini apa? Kesan apa yang ingin kita sampaikan kepada dunia luar? Kita tahu bahwa TNI itu, kan, bersenjata, memiliki senjata. Kalau misalkan dia masuk ke wilayah-wilayah sipil itu, ya, tidak bisa."
Selain itu, Jaleswari mengingatkan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang stagnan membutuhkan rasa percaya dari dunia luar khususnya untuk iklim investasi.
"Kita butuh trust dari dunia luar untuk melihat ekonomi itu akan naik lagi, tapi sementara di satu sisi kita menyampaikan kesan kepada dunia luar bahwa ada perluasan kewenangan tugas pokok TNI dan lain-lain itu di segala lini," ujar Jaleswari.
"Akan terbaca di dunia internasional bahwa Indonesia sekarang sangat militeristik,"
Jaleswari mengingatkan cita-cita Reformasi 1998 adalah menjadikan TNI profesional dan semua lapisan masyarakat—termasuk akademisi dan mahasiswa—menginginkannya.
"Diskusi-diskusi ini lebih fokus kepada di pemerintah dan parlemen saja. Minim sekali pelibatan masyarakat sipil."
"Dan kalaupun dilibatkan itu kesannya hanya untuk stempel bahwa ini seakan-akan sudah melalui partisipasi yang bermakna," ujarnya.
Apa tanggapan dari pemerintah dan DPR?
Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto menyebut masyarakat tak perlu khawatir akan munculnya dwifungsi dalam revisi UU TNI.
Dia menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI justru membatasi jabatan sipil yang bisa diisi personel aktif TNI.
"Saya juga sudah berkali-kali bicarakan, justru ini melimitasi (membatasi)," kata Utut di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (17/03) seperti dilansir Antara.
Dia mengatakan bahwa Komisi I DPR RI juga sudah mendengar aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari pakar, akademisi, purnawirawan, hingga lembaga masyarakat sipil.
Sementara Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan hal ini sudah tidak perlu lagi menjadi kontroversi.
"Sebenarnya tidak perlu ada kontroversi lagi, kan? Apa yang disangkakan oleh teman-teman itu tidak ada sama sekali," ujarnya.
"Sebenarnya sejak minggu lalu sudah ada berbagai pihak yang menjelaskan soal Pasal 47, tapi tetap saja fear-mongering dan disinformasi digemakan.
"Posisi-posisi yang dibolehkan untuk diduduki oleh TNI aktif seluruhnya memang membutuhkan keahlian teman-teman TNI. Dan sudah dirinci dalam draf RUU-nya," ujar Hasan kepada BBC News Indonesia.
Sementara Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi meminta revisi Undang-Undang TNI tidak diartikan sebagai upaya pengembalian dwifungsi ABRI.
Revisi, ujar dia, dilakukan untuk memperkuat TNI sebagai pelindung negara.
"Jadi tolong untuk tidak mengeluarkan statement-statement seolah-olah ada dikotomi, akan kembali ada dwifungsi ABRI, tidak begitu," kata Prasetyo pada Senin (17/03) seperti dilansir Kompas.com.
*
Koalisi Dosen Mengaku Tak Heran Revisi UU TNI Bakal Segera Disahkan
Sejak beberapa pekan lalu, DPR dan pemerintah getol membahas revisi UU TNI. Ada pasal yang dianggap berupaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
17 Maret 2025 | 07.25 WIB
Andi Adam Faturahman
Berkarier di Tempo sejak 2022. Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mpu Tantular, Jakarta, ini menulis laporan-laporan isu hukum, politik dan kesejahteraan rakyat. Aktif menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen
klik tempo
Koalisi dosen yang tergabung dalam beberapa organisasi masyarakat sipil menngaku tak heran revisi UU TNI yang tengah dibahas DPR dan pemerintah akan disahkan dalam waktu dekat. Revisi undang-undang ini menuai kritik publik.
Dosen dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, sekaligus anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah mengatakan, selain dibahas secara ugal-ugalan, secara formil RUU TNI sejatinya bukan RUU yang masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2025.
"RUU TNI juga tidak masuk dalam prolegnas prioritas, tetapi pembahasannya terus dikejar," kata Herdiansyah saat dihubungi, Senin, 17 Maret 2025.
Menurut dia, pembahasan RUU TNI sarat akan kepentingan politik kekuasaan. Hal tersebut dapat dilihat pada bagaimana DPR cenderung mengakomodasi usulan pasal-pasal yang berupaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
Herdiansyah melanjutkan, DPR sebagai representasi masyarakat, alih-alih menunjukan keberpihakannya, justru bersikap sebaliknya. Misalnya, bersemangat melakukan pembahasan RUU TNI di hotel berbintang pada akhir pekan.
"Kalau memang mau objektif dan sesuai dengan kepentingan masyarakat, semestinya yang didorong adalah usul peradilan militer, bukan penambahan usia pensiun atau perluasan jabatan," ujar dia.
Sejak beberapa pekan lalu, DPR dan pemerintah getol membahas RUU TNI. Klausul-klausul yang diusulkan pemerintah dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU tersebut menuai kritik dan penolakan.
Klausul itu, misalnya perluasan pos jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif; penambahan usia pensiun prajurit; hingga perluasan wewenang. Hal ini dinilai sebagai upaya meregresi demokrasi dengan cara menghidupkan kembali dwifungsi TNI.
Teranyar, pembahasan RUU TNI dilakukan secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta. Walhasil, kegiatan tersebut memperoleh kritik keras dari kelompok masyarakat sipil. Namun, alih-alih menghentikan, DPR bakal kembali melanjutkan pembahasan RUU TNI hari ini di komplek Parlemen Senayan.
Seorang legislator di DPR mengatakan, RUU TNI kemungkinan besar akan dibawa ke rapat paripurna terdekat DPR untuk disahkan menjadi undang-undang pada Kamis, 20 Maret 2025.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Ketua Panitia Kerja RUU TNI Utut Adianto belum menjawab pesan konfirmasi Tempo ihwal rencana pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang di rapat paripurna mendatang.
Pesan yang dikirim melalui aplikasi perpesanan WhatsApp itu hanya menunjukkan notifikasi dua centang abu, alias terkirim belum dibaca.
*
Koalisi Masyarakat Sipil Sebut Perubahan Revisi UU TNI dan UU Polri Justru Bisa Lemahkan Agenda Reformasi TNI-Polri
klik tempo
Reporter : Sukma Kanthi Nurani
Editor : S. Dian Andryanto
Kamis, 25 Juli 2024 11:25 WIB
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto menekankan bahwa pemerintah tidak hanya berusaha untuk mengubah Undang-undang TNI (UU TNI) dan Undang-undang Polri (UU Polri) sesuai dengan persyaratan formal pembentukan undang-undang. Lebih dari itu, undang-undang ini juga harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Dilansir dari polkam.go.id, pernyataan ini disampaikan oleh Hadi Tjahjanto saat menjadi pembicara utama dalam acara Sengar Pendapat Publik RUU Perubahan UU TNI dan RUU Perubahan UU Polri yang diadakan di Jakarta pada Kamis, 11 Juli 2024.
“Saya menekankan, bahwa pemerintah tidak hanya sekadar melakukan pemenuhan terhadap persyaratan formil pembentukan UU saja. Namun juga yang paling penting adalah mendorong dan memastikan substansi materi muatan RUU TNI dan RUU Polri mampu menjawab kebutuhan masyarakat dengan mengoptimalkan fungsi TNI dan Polri,” kata Hadi Tjahjanto.
Menko Polhukam menjelaskan bahwa naskah kedua RUU perubahan tersebut telah diinisiasi oleh DPR dan sudah disampaikan kepada presiden. Presiden, melalui Menteri Sekretaris Negara, kemudian menunjuk Menko Polhukam untuk mengoordinasikan penyusunan kedua RUU tersebut.
Respons Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari Imparsial, KontraS, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, Forum de Facto, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Pos Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP, menyatakan penolakan mereka terhadap perubahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).
Dalam konferensi pers yang digelar, koalisi tersebut menyoroti potensi dampak negatif dari revisi tersebut terhadap profesionalisme dan netralitas kedua institusi keamanan ini. Mereka mendesak pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan ulang perubahan yang diusulkan demi menjaga prinsip reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi 1998. Berikut ini isi siaran pers nya
Pada 8 Juli 2024, DPR sudah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait revisi UU TNI dan revisi UU Polri. Berdasarkan dokumen naskah yang beredar di Publik, serta proses pembahasan yang minim evaluasi dan partisipasi publik, koalisi menolak segala pembahasan UU tersebut di periode DPR saat ini karena terdapat sejumlah masalah krusial yang membahayakan hak asasi manusia (HAM) dan merusak tata kelola negara hukum dan demokrasi, serta proses pembahasan yang tidak demokratis. Oleh karena itu Koalisi merasa perlu menyatakan sikap.
Pembahasan UU Strategis Harus Memperhatikan Aspirasi Publik
Pertama, Koalisi memandang pembahasan undang-undang strategis seperti revisi UU TNI dan revisi UU Polri harusnya memperhatikan aspirasi publik mengingat kedua undang-undang tersebut sangat berdampak langsung pada penikmatan hak-hak warga negara termasuk HAM oleh masyarakat.
Mengingat periode DPR masa bakti 2019-2024 tidak lama lagi akan segera berakhir, Koalisi mengkhawatirkan akan terjadi pola pembahasan yang transaksional dan mengabaikan kritik dan usulan penting masyarakat sipil.
Menghimbau Untuk Tidak Ada Pembahasan Kebijakan Baru di Masa Transisi Jabatan
Kedua, mengingat masa bakti anggota DPR periode 2019-2024 akan segera berakhir, secara etika politik Koalisi memandang semestinya seyogyanya tidak boleh ada pembahasan kebijakan dan/ UU baru yang strategis.
Di tengah masa transisi DPR dan Pemerintah seperti sekarang ini sudah semestinya pemerintah mempersiapkan transisi yang baik dengan tidak merubah kebijakan dan atau UU strategis dan memberikan kewenangan itu kepada DPR dan Pemerintahan terpilih apalagi banyak dari anggota DPR periode 2019-2024 saat ini tidak terpilih kembali menjadi anggota DPR RI periode berikutnya.
Anggapan Adanya Kepentingan Politik
Ketiga, perancangan revisi UU TNI dan revisi UU Polri yang sedari awal tidak melibatkan publik sudah mencerminkan bahwa revisi kedua UU tersebut bukanlah untuk kepentingan publik melainkan kepentingan politik dan segelintir kelompok tertentu.
Sudah seharusnya pembahasan UU sepenting UU TNI dan UU Polri melibatkan publik secara luas mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan sebagaimana peraturan perundang-perundangan yang berlaku.
Pemerintah, seyogyanya melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap ke dua UU ini, apa saja substansi yang dibutuhkan untuk memperkuat profesionalisme ke dua instansi ini.
Melemahkan Agenda Reformasi TNI-Polri
Keempat, sebagaimana siaran pers kami terdahulu bahwa substansi revisi UU TNI dan revisi UU Polri telah banyak sekali mengandung masalah mulai dari peran kedua aparat negara yang begitu intrusif hingga pemberian kewenangan yang eksesif untuk TNI-Polri.
Pengaturan yang problematik tersebut tidak hanya dikhawatirkan akan melemahkan dan memundurkan agenda reformasi TNI dan Polri tetapi juga akan berdampak langsung pada terlanggarnya hak-hak warga negara.
*
Kumpulan Berita tentang Undang Undang TNI
klik https://surabaya.tribunnews.com/tag/revisi-uu-tni
klik https://www.tempo.co/tag/revisi-uu-tni
klik https://www.kompas.com/tag/ruu-tni
klik https://www.jawapos.com/tag/Revisi-UU-TNI
klik https://mediaindonesia.com/tag/RUU-TNI
klik https://www.detik.com/tag/ruu-tni/
klik https://www.cnnindonesia.com/tag/revisi-uu-tni
*
Upaya Menghidupkan Dwi Fungsi Melalui Revisi UU TNI: Mengkhianati Amanat Reformasi, Membahayakan Demokrasi, Negara Hukum serta Ancaman Serius Bagi HAM
16 Maret 2025
klik YLBHI
PERS RILIS YLBHI
“UPAYA MENGHIDUPKAN DWI FUNGSI MELALUI REVISI UU TNI: MENGKHIANATI AMANAT REFORMASI, MEMBAHAYAKAN DEMOKRASI, NEGARA HUKUM SERTA ANCAMAN SERIUS BAGI HAK ASASI MANUSIA!”
YLBHI dengan tegas menolak revisi UU TNI yang akan melegitimasi praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru.
Kami memandang bahwa usulan revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.
DPR RI dan Presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI kedalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis yang dimasa Orde Baru yang terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.
Selain itu, revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas/kekebalan hukum anggota TNI.
Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran Berat HAM di masa depan.
Itulah mengapa, YLBHI melihat revisi UU TNI ini tidak dapat dilepaskan politik hukum Pemerintahan Rezim Prabowo-Gibran dengan melabrak prinsip supremasi sipil dan konstitusi, dengan menempatkan TNI setidaknya dalam 13 kementerian strategis berhubungan dengan transmigrasi, pertanahan, hingga politik yang tidak sejalan dengan ketentuan peraturan per Undang- Undangan.
Di saat bersamaan, mereka juga menempatkan tentara aktif di Bulog serta purnawirawannya mengisi hampir seluruh struktur di Badan Gizi Nasional.
Selain itu, TNI juga sedang melakukan penambahan komando teritorial sebanyak: 3 di Pulau Sumatra, 5 (4 Kodam 1 Konstrad) di Pulau Jawa, 1 di Pulau Bali, 2 di Pulau Kalimantan, 2 di Pulau Sulawesi, 1 di Pulau Maluku, dan 2 di Pulau Papua.
YLBHI menduga munculnya gagasan revisi UU TNI adalah upaya panjang penguatan kembalinya dwi fungsi ABRI dimana tentara menjadi aktor politik dan bisnis pasca Reformasi. Penambahan komando teritorial adalah inti dari dwi-fungsi.
Masyarakat sipil telah belajar banyak dari sejarah rezim Orde Baru dan sistem komando teritorialnya.
Sistem ini dipertahankan sebagai basis kekuatan angkatan bersenjata di daerah-daerah, yang memungkinkan mereka untuk mengakses sumber-sumber ekonomi di akar rumput (berhadapan dengan rakyat) dan mempertahankan peran mereka sebagai pemain penting dalam politik lokal.
Ini memungkinkan militer untuk mengakses pendanaan ilegal di luar APBN. Menciptakan negara di dalam negara, dan revisi UU TNI menguatkan upaya tersebut.
Dalam dokumen TAP MPR VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI/POLRI Negara Indonesia telah disadari kekeliruan di masa lalu bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Sudah seharusnya DPR dan Presiden Negara Republik Indonesia tidak justru membiarkan bangsa ini jatuh ke lubang yang sama dan segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI tersebut.
Terlebih revisi ini dilakukan secara tidak terbuka dengan mengabaikan asas pembentukan peraturan per UUan dan prinsip partisipasi bermakna.
Revisi UU TNI kabarnya dikebut dan tinggal sejengkal lagi ketok palu! Namun sebagai pengusul, DPR lagi-lagi menunjukkan perannya yang buruk sebagai tukang stempel kebijakan pemerintahan korup dan represif yang mulai dibangun kembali oleh rezim demi rezim pasca Reformasi 1998.
Di masa Pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, draft RUU TNI yang sempat berkali-kali berhenti pembahasannya karena penolakan keras dari masyarakat sipil akan disahkan. Setidaknya, berdasarkan arahan dari Presiden Prabowo secara langsung, terdapat beberapa substansi pasal yang bermasalah.
Pertama, ...
Memperpanjang masa pensiun, menambah persoalan penumpukan perwira Non Job dan Penempatan Ilegal Perwira Aktif di Jabatan Sipil. Perwira TNI dalam draft revisi Pasal 71, usia pensiunnya diperpanjang menjadi paling lama 62 tahun.
Revisi ini, jika disahkan justru akan menambah persoalan yang tidak pernah diselesaikan yakni penumpukan perwira non-job yang nanti dalam praktiknya justru dimobilisasi ke lembaga-lembaga negara hingga perusahaan-perusahaan milik negara.
Masyarakat sipil telah banyak melihat praktek tersebut yang ini justru akan menggerus profesionalitas dan kualitas kinerja lembaga negara maupun BUMN.
Berdasarkan catatan Ombudsman (2020) terdapat 564 komisaris BUMN yang terindikasi rangkap jabatan, 27 orang di antaranya adalah anggota TNI aktif, sementara 13 orang adalah anggota Polri aktif.
Terbaru Menteri BUMN justru menunjuk perwira TNI aktif, Mayjen Novi Helmy Prasetya, menjadi Direktur Utama Bulog setelah sebelumnya beberapa perwira aktif di PT PINDAD, PTDI, maupun PT.PAL. Mereka menduduki jabatan tinggi di BUMN dengan melanggar ketentuan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kedua, ...
Perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif, Mengancam Supremasi Sipil, Menggerus Profesionalisme dan Independensi TNI.
Presiden Prabowo meminta TNI aktif untuk dapat mengisi jabatan kementerian dan lembaga negara berupa Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara, Kementerian Pertahanan Negara, Sekretariat Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, DPN, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Penambahan peran ini diatur dalam draft Pasal 47.
Padahal, sejalan dengan reformasi TNI, Anggota TNI mengisi jabatan di wilayah sipil memang mungkinkan namun dengan syarat tegas dibatasi untuk 10 lembaga yang relevan atau sudah mengundurkan diri atau pensiun.
Namun, di revisi UU TNI justru akan ditambah yang beresiko menghilangkan independensi dan profesionalisme anggota TNI yang mestinya fokus dalam urusan pertahanan negara.
Semakin meluasnya peran TNI diluar tugas pokoknya dalam pertahanan negara akan menghidupkan Kembali peran sosial politik ABRI melalui dwifungsi yang merupakan ancaman bagi demokrasi dan profesionalisme TNI.
Masuknya militer ke urusan diluar kewenangan seperti penanganan narkotika membuat TNI dapat terlibat dalam penegakan hukum yang bukan tupoksinya.
Hal ini sangat beresiko, mengingat tidak adanya mekanisme pengawasan dalam peradilan militer TNI terhadap kewenangan tersebut.
Jika terlibat tindak pidana umum, pelanggaran HAM, termasuk korupsi yang dilakukan anggota TNI akan diserahkan yurisdiksi ke pengadilan militer, padahal semestinya harus diadili melalui pengadilan umum.
Hal ini akan rentan terjebak dalam lingkaran bisnis gelap sebagaimana yang sudah pernah terjadi di kepolisian.
Selain itu, masuknya militer aktif pada Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung juga akan menghancurkan independensi sistem peradilan Indonesia dan membuat satuan TNI semakin kebal hukum.
Ketiga, ...
Membuka ruang ikut campur ke wilayah Politik keamanan Negara. di pasal tersebut pula, TNI diberikan wewenang untuk dapat mengisi posisi Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Negara.
Pintu yang dibuka ini dapat memberi jalan luas militer untuk mengintervensi urusan politik dalam negeri dan menjadi ancaman bagi kebebasan sipil dan demokrasi dengan alasan “keamanan negara”. Ciri yang paling khas dari praktek dwi-fungsi ABRI di masa Orde Baru.
Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 5 TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI/Polri yang mengatur bahwa Tentara Nasional Indonesia semestinya bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Selain itu, Sebagai alat negara Tentara Nasional Indonesia dituntut untuk mendukung tegaknya demokrasi, menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.
Keempat, ...
Menganulir Suara Rakyat melalui DPR dalam pelaksaan operasi militer selain perang. Operasi militer selain perang diatur dalam draft Pasal 7, operasi militer selain perang yang di Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tidak diatur secara jelas mekanismenya, di dalam rancangan yang baru terlihat semakin diperjelas.
Namun justru mengukuhkan kekebalan TNI dalam melakukan operasi militer non perang tanpa harus melalui mekanisme check and balances oleh lembaga yang merepresentasikan kedaulatan rakyat yakni DPR dalam pengambilan keputusan politik negara.
Hal ini dilandasi pada pasal 7 ayat (4) yang mengatur bahwa “pelaksaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut cukup dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, kecuali untuk ayat (2) huruf b angka 10”.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 TAP MPR No. VII Tahun 2000 tentang Peran TNI/POLRI yang menegaskan bahwa Kebijakan politik negara merupakan dasar kebijakan dan pelaksanaan tugas Tentara Nasional Indonesia.
Pengaturan tersebut sangat berbahaya karena menghilangkan peran DPR dan memberikan kekuasaan besar kepada presiden untuk memutuskan tanpa pertimbangan DPR.
Jika kita melihat butir-butir aturan sebuah tindakan apa yang dianggap sebagai operasi militer non perang, ini mencakup:
1. mengatasi gerakan separatis bersenjata;
2. mengatasi pemberontakan bersenjata,
3. mengatasi aksi terorisme,
4. mengamankan wilayah perbatasan,
5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis,
6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri,
7. mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya,
8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta,
9. membantu tugas pemerintah di daerah, membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang,
10. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia,
11. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan,
12. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue),
13. serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Belajar dari Orde Baru, dan perjalanan militer pasca Reformasi, operasi militer non-perang dengan dalih ‘mengatasi gerakan separatis bersenjata’ dan ‘mengatasi pemberontakan bersenjata’ di Aceh dan Papua telah menghasilkan pelanggaran HAM berat yang berlapis, mulai dari pengusiran paksa, kelaparan, hingga extrajudicial killing.
Di saat bersamaan, jika kita melihat praktek ‘pengamanan objek vital nasional yang bersifat strategis’ serta ‘perbantuan tugas pemerintah daerah’, militer justru, tidak hanya sebagai centeng penjaga modal, namun juga menjadi aktor bisnis lokal yang posisinya diperkuat dengan adanya komando territorial seperti yang terjadi dalam konflik Urut Sewu.
Hal ini jelas tidak sesuai dengan jati diri TNI sebagai tentara profesional. Draf TNI yang mengecualikan syarat pelaksanaannya didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik negara pada operasi militer selain perang untuk membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang berbahaya.
Hal ini berpotensi untuk menimbulkan tumpang tindih tugas dan kewenangan yang bertentangan dengan arah reformasi TNI yang dimuat dalam TAP MPR No. VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
Mendasarkan pada hal-hal diatas, YLBHI mendesak:
1. DPR dan Presiden Negara Republik Indonesia segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan justru akan melegitimasi bangkitnya praktik dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia ke rezim Neo Orde Baru
2. DPR dan Presiden harus terbuka dan memastikan ruang partisipasi bermakna Masyarakat dan memastikan revisi TNI dilakukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI dalam kerangka tegaknya supremasi sipil, konstitusi, demokrasi dan perlindungan HAM;
3. Mengajak Masyarakat lndonesia untuk bersuara lantang menuntut DPR dan Presiden untuk melaksanakan tanggungjawabnya dengan benar menjaga amanat konstitusi menghapuskan dwi fungsi ABRI dan melanjutkan agenda reformasi TNI yang mangkrak.
Jakarta, 15 Maret 2025
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
*
Rilis: Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police) Menolak RUU POLRI
3 June 2024
klik Aliansi Jurnalis Indonesia
Rapat Paripurna DPR RI resmi menjadikan Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“RUU Polri”) sebagai usul inisiatif DPR, pada Selasa (28/5). Berdasarkan rancangan (draft) yang kami terima, RUU Polri pada prinsipnya memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan ugal-ugalan (excessive) kewenangan kepolisian hingga menjadikannya institusi “superbody”.
Di samping itu, RUU Polri juga gagal menyorot masalah (problem) fundamental yang terjadi di institusi kepolisian selama ini, tidak terkecuali kegagalan dalam menyorot aspek lemahnya mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight mechanism) dalam ikhwal penegakan hukum, keamanan negara maupun pelayanan masyarakat.
Berbagai catatan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara telah memotret bagaimana institusi Polri telah menjadi “aktor pemegang monopoli” kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hingga praktik-praktik korupsi.
KontraS misalnya, dalam rentang 2020 - 2024 telah menghimpun praktik-praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia. Sepanjang Juli 2020- Juni 2021 setidaknya terdapat 651 kasus. Juli 2021 - Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 - Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, berdasarkan pemantauan KontraS, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian.
Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.
Sepanjang 2019, YLBHI mencatat terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI mencatat setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.
Data pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Polri ini juga ditunjukkan oleh dokumentasi yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tiga Rumah Tahanan Negara yang berlokasi di Jakarta.
Selama periode Januari-Mei 2024, ada setidaknya 35 tahanan (32 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan penyiksaan pada proses penyidikan; 21 tahanan (15 laki-laki dan 6 perempuan) mengaku mengalami pemerasan; 7 tahanan (4 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan kekerasan seksual. Tiga puluh lima orang yang mengaku mengalami penyiksaan tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang memadai.
Menukil catatan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI di tahun 2023, kepolisian menempati peringkat paling atas sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM dengan jumlah 771 kasus dari total aduan sebanyak 2.753.(1)
Peringkat ini menunjukkan “konsistensi” Polri sebagai aktor dominan institusi teradu pelaku pelanggaran HAM jika dibandingkan dengan data Komnas HAM di tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2022,(2) Polri tercatat sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan dengan 861 kasus. Tahun 2021, Pori juga terdata menjadi institusi yang paling banyak dilaporkan ke Komnas HAM, yakni 661 aduan.
Selanjutnya di tahun 2020, terdapat 785 kasus pengaduan yang masuk ke Komnas HAM terkait Kepolisian. Demikian juga pada 2019, Polri juga memeringkati posisi teratas dengan 744 kasus.(3)
Kondisi serupa juga juga dapat dicermati dalam Laporan Tahunan Ombudsman RI. Dalam rentang 4 tahun terakhir yakni, 2020-2023, laporan terkait kepolisian konsisten menempati “peringkat teratas” sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan.
Pada 2020, Ombudsman merilis laporan bahwa Kepolisian merupakan lembaga yang paling banyak dilaporkan ke Ombudsman, dengan jumlah pengaduan sebanyak 699 Laporan. Pada 2021 terdapat 676 laporan terkait dengan Kepolisian. Tahun 2022, terdapat 683 laporan terkait kepolisian. Pada Laporan Triwulan pertama di 2023, terdapat 172 laporan, dan Laporan Triwulan kedua pada 2023, terdapat 156 laporan.
Aduan terkait institusi Polri yang diterima dan dirangkum Kompolnas sampai pada September 2023 saja, juga menunjukan data yang lebih masif lagi, yakni 1.150 pengaduan.(4). Dengan rincian perilaku pelayanan buruk, penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, perlakuan diskriminatif, hingga penggunaan diskresi yang keliru.
Mengacu pada catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada tahun 2022, polisi, masih menduduki posisi sebagai aktor dominan pelaku kekerasan terhadap jurnalis dengan jumlah 15 serangan.(5).
Bahkan, pada 2020, di saat peliputan aksi demonstrasi menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja, AJI Indonesia mencatat sedikitnya terdapat 28 jurnalis mengalami kekerasan oleh polisi.(6)
Terkait praktik pengadaan barang-barang misalnya, dalam perjalanannya kerap ditemui praktik yang mengarah pada tindakan korupsi.
Temuan ICW pada Juli 2023 menunjukan bahwa pengadaan amunisi dan gas air mata di masa pemerintahan Jokowi berpotensi mengarah pada praktik tender fiktif dengan memenangkan perusahaan boneka dan mark up harga.
Tidak berhenti di situ, para pejabat tinggi Polri juga kerap terlibat dalam bisnis kotor “bawah tanah” semisal Konsorsium 303.
Tidak terkecuali praktik menyimpang dan penyalahgunaan kekuasaan polisi dari jenderal hingga bintara kepolisian yang kerap “takluk” di hadapan narkotika, sebut saja Irjen Teddy Minahasa dan AKP Andri Bustami yang bahkan divonis penjara seumur hidup hingga hukuman mati.
Hasil survei kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap institusi penegak hukum yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 menempatkan Kepolisian pada tempat terendah dengan 64%.(7).
Selain permasalahan yang sudah dijabarkan sebelumnya, ketidakpercayaan juga dipicu oleh korupsi di Kepolisian. Hasil survei tersebut paralel dengan hasil survei yang juga dilakukan LSI pada tahun 2023 terkait dengan Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Lembaga Pemberantasan Korupsi, dimana Kepolisian juga menduduki urutan terendah dengan 61%.(8).
Berbagai data dan deretan temuan tersebut menempatkan kepolisian sebagai institusi yang memiliki masalah besar. Di tengah transisi estafet kekuasaan pemerintahan Jokowi ke Calon Presiden terpilih Prabowo Subianto, DPR secara tiba-tiba menginisiasi RUU Polri.
Namun, keberadaan RUU Polri yang seharusnya digagas guna menyelesaikan persoalan-persoalan fundamental yang terjadi di tubuh kepolisian tersebut seperti perihal pengawasan, malah tidak mendapat tempat di dalam RUU ini.
RUU Polri justru makin menjadikan Polri sebagai institusi yang rakus kewenangan dan memosisikannya kian “superbody”.
Di samping itu, RUU Polri secara substansi tidak memiliki agenda memperkuat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan memihak kepentingan masyarakat sipil, hingga mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan yang pada gilirannya akan melanggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang menjadi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum.
Melalui RUU Polri ini pula, kepolisian semakin potensial menjadi salah satu aktor keamanan yang dapat dengan mudah dijadikan alat politik (police being as a political tool) untuk memfasilitasi kejahatan penguasa negara bahkan hingga alat kekerasan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan.
Bahkan yang tidak kalah membahayakan, RUU Polri ini secara simultan juga dapat memfasilitasi kebangkitan dwi fungsi ABRI dalam tubuh kepolisian sebagai aktor politik (political actor) yang menyimpang dari desain negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan paska reformasi.
Selain itu, dengan berbagai rancangan pasal baru dan perluasan kewenangan, RUU Polri bukannya membenahi institusi Polri dan merancang Polri menjadi lembaga yang profesional dan akuntabel namun justru membuat Kepolisian nampak menjadi institusi superbody.
Sayangnya berbagai penambahan kewenangan yang dimuat tidak disertai dengan pengaturan yang tegas dan ketat mengenai mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai kewenangan aparatur kepolisian.
Berbagai kewenangan tambahan yang disisipkan dalam RUU Polri bahkan berada di luar tugas utama Polri yang diatur oleh Konstitusi yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Berdasarkan kajian terhadap draf revisi UU Polri yang diterima oleh masyarakat sipil terdapat berbagai catatan kritis terhadap pasal-pasal baru revisi UU Polri yang bermasalah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat danberekspresi; hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negaraatas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Sepanjang sejarahnya, tindakan-tindakan memperlambat dan memutus akses internet digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat sipil, seperti yang dilakukan pada tahun 2019 di Papua dan Papua Barat—sebuah tindakan yang menurut Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Campur tangan Polri dalam tindakan membatasi Ruang Siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik, khususnya di isu-isu yang mengkritik pemerintah. Selain itu, hadirnya pengawasan secara eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara serta hak untuk memperoleh informasi serta berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga negara seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN)
2. RUU Polri akan memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polrisampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan Intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan merubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan. Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Pasal 16B RUU Polri mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional. Tidak adanya definisi dan penjelasan mengenai istilah “Kepentingan Nasional” yang dimaksud, berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah atau siapapun dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan.” Selain itu, terdapat kemungkinan Kepolisian menyimpangi prinsip-prinsip HAM dalam implementasi Pasal tersebut, karena Kepolisian memiliki kewenangan diskresi yang sangat luas sehingga dengan dalih “kepentingan nasional”, Kepolisian dapat bertindak menurut penilaian sendiri, ceruk subyektifitas tersebut memberikan ruang yang sangat besar penyalahgunaan wewenang penggunaan kekuatan berlebih secara eksesif yang dalam praktiknya dapat mengarah kepada pelanggaran HAM. Kewenangan untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan yang mengancam “Kepentingan Nasional” kemudian juga diperkuat dengan yang memperluas fungsi intelkam Polri sehingga mampu untuk meminta keterangan dari lembaga-lembaga termasuk kementerian dan termasuk memeriksa aliran dana. Kewenangan pemeriksaan aliran dana ini pun akan tumpang-tindih dengan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
3. Kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaankarena pada RUU Kepolisian, kewenangan penyadapan oleh Polri disebutdilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan,padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturanperundang-undangan mengenai penyadapan.Selain perluasan kewenangan Intelkam, Pasal 14 ayat (1) huruf o memberikan Polri kewenangan untuk melakukan penyadapan Kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan.
4. Revisi UU Polri akan semakin mendekatkan peran Polri menjadi superbodyinvestigator. Menurut Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Selain itu, Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup. Pada tahap rekrutmen, Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM sebagaimana termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n Revisi UU Kepolisian. Hal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat Penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian. Diaturnya perihal penyelidikan dan penyidikan dalam RUU Polri juga nampak mendahului dan tidak sepenuhnya selaras dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yang proses pembahasannya masih menggantung sejak 2014. Pemerintah seharusnya mendahulukan agenda pembahasan RKUHAP dan menyelaraskan substansi dari RUU Polri dengan RKUHAP. KUHAP sendiri merupakan undang-undang utama yang mengatur perihal Sistem Peradilan Pidana dan KUHAP yang kini berlaku telah berlaku selama 43 tahun sehingga urgensi terhadap pembaruannya seharusnya didahulukan oleh pemerintah. Pada tahap pelaksanaan tugas, terdapat kekhawatiran bahwa seluruh proses penyelidikan dan penyidikan harus mendapat petunjuk dari Kepolisian sehingga berpotensi mengintervensi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK serta penyidikan kejahatan lingkungan hidup yang membutuhkan petunjuk langsung dari Kepolisian. Dampaknya tidak sederhana, hal ini berpotensi dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa pada proses praperadilan dengan merujuk Pasal 16 ayat (1) huruf o Revisi UU Kepolisian dengan isi Kepolisian memberi petunjuk dan bantuan Penyelidikan dan/atau Penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya. Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) huruf p Revisi UU Kepolisian, Kepolisian menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum. Rancangan perluasan kewenangan di bidang penyidikan tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi terhadap lembaga yang lain dalam bidang penyidikan. Hal ini tentu mengganggu independensi KPK serta kementerian lain yang tidak membutuhkan rekomendasi Kepolisian dalam meneruskan perkara ke Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang selanjutnya ke pengadilan.
5. Lewat RUU ini, polisi juga mendapatkan wewenang untuk memegang komandountuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah inisiatif untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang memiliki sejarah kelam pada tahun 1998. RUU Kepolisian masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Tetap diaturnya Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian harus dievaluasi karena faktanya justru memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM maupun ruang bagi “bisnis keamanan”. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian semestinya ditinjau kembali.
6. Revisi UU Kepolisian akan menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahunbagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri yang tidak memilikidasar dan urgensi yang jelas. Dinaikkannya usia pensiun dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian. Usulan kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian. Ketentuan ini juga harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh berkaitan dengan pengesahan RUU ASN maupun RUU Kementerian Negara yang diduga akan memberikan legalisasi praktik “dwifungsi ABRI” yang mengizinkan Anggota Polri menduduki jabatan sipil di Kementerian Lembaga.
7. Revisi UU Polri juga menambah daftar kewenangan yang tidak jelasperuntukannya dan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antarakementerian/lembaga negara. Pasal 14 Ayat 1 Huruf (e) menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional sehingga menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Pasal 14 Ayat 2 Huruf (c) juga memberikan kewenangan Polri untuk menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city) sehingga memberikan kewenangan tata kelola kota yang terlalu berlebihan. Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan yang bertumpu pada pengarusutamaan sekuritisasi.
8. Meski menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polritidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Evaluasi selama ini, Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru acapkali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. Absennya kontrol, pengawasan, dan/atau penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi pelanggar sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian. Jika RUU Polri secara serius bermaksud menghasilkan institusi Kepolisian yang profesional, akuntabel dan bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM maka sudah seharusnya RUU Polri juga mengatur perihal oversight mechanism yang kuat terhadap institusi Kepolisian.
9. Proses pembahasan Revisi UU Polri terkesan terburu-buru dan mengabaikansecara total partisipasi publik. DPR secara tiba-tiba menginisiasi Revisi UU Polri, meskipun berdasarkan data resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), revisi UU Polri justru tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024. Semangat DPR RI dalam melakukan revisi ini berbanding terbalik dengan 20 tahun pengabaian DPR terhadap Rancangan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) atau 14 tahun pengabaian RUU Masyarakat Adat termasuk RUU KUHAP yang mangkrak. Dengan melihat pola pembentukan kebijakan pro-oligarki atau kepentingan pemilik modal sebelumnya, semisal UU KPK di tahun 2019, revisi UU MK di tahun 2020, revisi UU Minerba di tahun 2020, hingga pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja maupun UU Omnibus Law Kesehatan kami menduga bahwa revisi ini akan bernasib sama: Bukan untuk kepentingan rakyat, dikebut dan disahkan dengan cara-cara tertutup dan minim partisipasi bermakna dari publik.
Setelah mencermati substansi RUU Polri, kami, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police) menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak Keras Revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR-RI;
2. Menuntut DPR maupun Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan tentang Revisi UU Polri pada masa legislasi ini;
3. Menuntut DPR dan Presiden untuk tidak menyusun UU secara serampangan hanya untuk kepentingan politik kelompok dan mengabaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang semestinya sejalan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum. Pembentukan UU baru semestinya memperkuat cita-cita reformasi untuk penguatan sistem demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia dalam rangka melindungi warga negara bukan justru sebaliknya mengancam demokrasi dan hak asasi manusia;
4. Mendesak DPR untuk memprioritaskan pekerjaan rumah legislasi lain yang lebih mendesak seperti Revisi KUHAP, RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU Penyadapan, RUU Masyarakat Adat dan lain-lain;
5. Mendesak pemerintah dan parlemen untuk melakukan evaluasi yang serius dan audit yang menyeluruh pada institusi Kepolisian dengan melibatkan masyarakat sipil dan lembaga HAM negara;
6. Mendesak pemerintah dan parlemen untuk memperkuat pengawasan kerja Kepolisian, baik dalam hal penegakan hukum, keamanan negara, maupun pelayanan masyarakat, yang mampu memberikan sanksi tegas kepada individu pelaku dan juga perbaikan institusional untuk mencegah pelanggaran serupa terjadi pada masa mendatang.
Jakarta, 2 Juni 2024
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police)
1. AJAR (Asia Justice and Rights)
2. AJI Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen)
3. Amnesty Internasional Indonesia
4. ELSAM
5. HRWG (Human Rights Working Group)
6. ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)
7. ICW (Indonesia Corruption Watch)
8. IJRS (Indonesia Judicial Research Society)
9. IM57+ Institute
10. Imparsial
11.KontraS
12. Kurawal Foundation
13. LBH Jakarta
14. LBH Masyarakat
15. LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan)
16. PBHI Nasional
17. PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan)
18. SAFEnet
19. Themis Indonesia
20. TII (Transparansi Internasional Indonesia)
21. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar