Apanikang pura len swawisaya kadi singha lawan gahana
Yan rusakang thani milwangakurangupajiwa tikang nagara
Yan taya bhrtya katon waya nika para nusa tekang reweka
Hetu nikan padha raksanapageha kalih phalaning mawuwus
(Pupuh 350 Kakawin Nagara Krtagama, Empu Tantular, 1365)
INDONESIA Siaga Bencana. Itulah judul berita koran ini kemarin (21/11) yang sangat mengentak meski tidak mengherankan. Diwartakan bahwa ancaman banjir, longsor, dan puting beliung akan terus meningkat dengan puncak kejadian pada Januari 2017. Sebanyak 274 kabupaten/kota berada di daerah bahaya sedang-tinggi dari longsor di Indonesia.
Sepuluh daerah paling rawan adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Jogjakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Banten. Sebanyak 40,9 juta jiwa penduduk rawan terpapar bahaya sedang-tinggi longsor. Bencana banjir mengancam 315 kabupaten/kota dan 63,7 juta jiwa. Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Timur menjadi sepuluh daerah paling rawan. Sampai 11 November 2016, terjadi 1.985 bencana hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 375 orang tewas; 383 mengalami luka; 2,52 juta jiwa menderita dan mengungsi, serta lebih dari 34 ribu rumah rusak.
Peristiwa tersebut harus disikapi serius oleh negara. Angka-angka yang terekam bukanlah nomor lotre, melainkan kaidah komunikasi yang sangat matematis agar gamblang dibaca publik. Jutaan warga negara sedang antre untuk memanen bencana di sebuah negara yang pemerintahnya diberi pesan konstitusional UUD 1945 ’’untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah’’. Sampai kapan negara dengan perangkat organisasinya harus menjawab bahwa bencana ini terjadi akibat curah hujan yang tinggi dan meluapnya sungai. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai institusi pusat menuding pemerintah daerah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas bencana banjir dan tanah longsor.
Pola kerja menuding harus dipungkasi. Tidak perlu pamer kuasa di depan warga yang tengah ’’diundi’’ tertimpa bencana. Daerah dan pusat tidak pantas saling beradu, tetapi harus berpikir dan melangkah terpadu dalam kerangka integrated management system penanggulangan bencana. Bencana yang ada bukan untuk didiskusikan. Situasinya memang alam sedang menggedorkan kesadaran bahwa dalam bernegara, di samping ada daulat rakyat, juga hadir supremasi ekologis.
Akan memberikan pesan berupa bencana akibat dari kezaliman kebijakan yang menistakan lingkungan. Longsor dan banjir adalah akibat saja dari deretan aktivitas manusia yang melanggar batas toleransi ekologis, sehingga alam menunjukkan eksistensinya guna mengingatkan manusia agar lebih bijak dalam bertindak.
Dalam situasi demikian boleh berpaling pada UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kehadiran aturan tersebut membawa makna positivistik bahwa negara bertanggung jawab atas terjadinya bencana.
Pemerintah pusat dan daerah diberi otoritas hukum untuk menanggulangi bencana dengan segala alokasi dan distribusi anggaran yang bermanfaat untuk mengukur kinerja organisasi pemerintahan. Membiarkan alih fungsi lahan dan daerah aliran sungai (DAS) dalam kondisi kritis adalah tindakan tidak bermoral dan mencederai jiwa terdalam konstitusi.
Pada lingkup inilah, saya teringat ungkapan di awal tulisan ini sebagai sabda Raja Hayam Wuruk yang inti ujarannya dengan memperhatikan terjemahan I Ketut Riana (2009) adalah: negara dan desa itu ibarat singa dengan hutan, apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan, apabila tidak ada tentara yang kuat, pasti negara mudah diserang musuh, untuk itulah peliharalah keduanya. Pesan ini sangat fenomenal dalam peradaban ekologis Nusantara yang dalam beragam literatur dan sumber tutur dari para leluhur terbukti bahwa membangun negara harus berpijak pada desa.
Maka, tidaklah berlebihan apabila pada 11 Juli 1945 berlangsung sidang kedua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Muhammad Yamin mengungkapkan bahwa pemerintahan dalam republik pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat desa dan pemerintah pusat akan terbentuk di kota negara. Antara pemerintah atasan (pusat) dan pemerintah bawahan (desa) itu adalah pemerintah daerah (tengahan). Desa, negeri-negeri, marga-marga, dan lainnya tetaplah menjadi kaki pemerintah Republik Indonesia.
Pada era klasik, nenek moyang mengajarkan untuk membangun negara dari desa sebagai ’’peta jalan’’ pembangunan: satu kampung satu embung (untuk penyediaan air bersih dan konservasi), satu kampung satu lumbung(depo logistik pangan agar tidak terjadi kelaparan), satu kampung satu saung (gardu siskamling, pos hankam, titik kumpul evakuasi warga, pusat informasi dengan kentungan sebagai penanda), serta satu kampung satu gayung (guna mendistribusikan air melalui saluran irigasi, demi keadilan pembagian air pertanian, panen raya berkelanjutan, sumber pangan negara).
Kini, negara telah memiliki UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Fungsikanlah desa menjadi ’’a road map’’ manajemen bencana. Bangunlah setiap kampung di desa-desa itu dengan tetenger utama: embung, lumbung, saung, dan gayung sebagaimana diajarkan pinisepuh Kerajaan Medang Kamulan sampai Mataram, seperti dapat dipelajari di kakawin-kakawin maupun relief-relief candi.
Kakawin dan candi bukan referensi dongeng, tetapi literasi pembangunan agar bangsa ini mengenali kembali jati dirinya. Mulailah dari sepuluh daerah yang rawan bencana mengacu laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai desa (daerah) percontohan. Cegah bencana dari ’’kaki negara’’ sekarang juga. (*)
*) Akademisi hukum lingkungan, koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar