klik sayangi bumi maka akan disayang langitan

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

(HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

*

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

surat (30) ar rum ayat 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)

surat (5) al maa'idah ayat 32

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ (٣٢)

surat 4 An Nisa' ayat 114

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ  ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

surat 3 Āli 'Imrān ayat 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

*

klik nasehat

klik emak

*

Jumat, 02 Agustus 2019

Global Warming, Kekeringan, dan Nagara Kertagama

klik ustad suparto wijoyo

30 Juli 2019, 17:30:55 WIB

*) Akademisi lingkungan hidup fakultas hukum, koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Editor : Dhimas Ginanjar

klik Jawa Pos

resonansi dalam kepak sayap kupu-kupu🧐

klik stanford 

klik stsci 

*

resonansi dalam kepak sayap kupu-kupu🧐


klik stanford 

klik stsci 

*

Apanikang pura len swawisaya kadi singha lawan gahana.

Yan rusakang thani milwangakurangupajiwa tikang nagara.

Yan taya bhrtya katon waya nika para nusa tekang reweka.

Hetu nikan padha raksanapageha kalih phalaning mawuwus.

(Pupuh 350 Kakawin Desa Warnnana karya Mpu Prapanca).


SUHU panas membuat siang terasa gerah di Jawa Timur maupun belahan Eropa. Gelombang panas tengah menerjang beberapa negara Eropa (Prancis, Italia, dan Spanyol) dengan suhu mencapai 45,9 derajat Celsius sebagaimana yang pernah ’’menyengat’’ Bulgaria, Portugal, Yunani, serta Makedonia Utara. Realitas itu mendorong WMO (Badan Meteorologi Dunia) merilis pernyataan terjadinya pekan terpanas di dunia dan periode 2015–2019 adalah kurun waktu lima tahun yang kentar-kentar.

Gelombang panas tersebut, menurut WMO, sangat konsisten dengan dampak gas rumah kaca. Sekjen PBB Antonio Guterres pun memperingatkan semua pihak agar segera mengambil langkah konkret untuk mencegah kehancuran planet ini akibat perubahan iklim (global warming) yang terus menyeruak.

Para ilmuwan UNEP memprediksi bahwa perubahan iklim merupakan masalah lingkungan terbesar seratus tahun ke depan dan menjadi tanggung jawab kolektif komunitas manusia dari semua bangsa. Sejumlah besar prakarsa internasional diorganisasi untuk mengatasi perubahan iklim. Berdasar Kesepakatan Paris (Paris Agreement), dunia wajib mempertahankan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius sampai akhir abad ke-21 ini.

Dampak pemanasan global sudah sangat lokal. Kekeringan telah melanda 822 desa di 24 daerah dari 38 kabupaten/kota di Jatim. BPBD Jatim menginformasikan bahwa Bojonegoro merupakan wilayah paling kritis kekeringan dengan cakupan 164 desa di 51 kecamatan.

Sebanyak 156 desa di 40 kecamatan di Pulau Madura juga kering kerontang. Kondisi tersebut semakin mengkhawatirkan dengan kobaran api yang membakar Gunung Panderman sebagai hutan lindung Perhutani seluas 60 hektare dari 164 hektare (Jawa Pos, 23/7).

Kenyataan itu niscaya menggugah gubernur Jatim yang mempunyai Nawa Bhakti Setya berupa program Jatim Harmoni untuk memberikan solusi. Kekeringan harus disikapi dengan serius. Kekeringan yang diderita warga adalah wujud diabaikannya tugas konstitusional oleh pemerintah yang diberi amanat UUD 1945 ’’untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah’’.

Sampai kapan negara dengan perangkat organisasinya harus menjawab bahwa kekeringan ini adalah rutinitas musim kemarau? Pemanasan global bukanlah ’’takdir’’ dari siklus iklim. Pola kerja yang menuding ’’iklim yang salah’’ merupakan lambang ketidakmengertian makna penting pemerintahan.

Situasinya, alam memang sedang menggedorkan kesadaran bahwa dalam bernegara, di samping ada daulat rakyat, hadir supremasi ekologis. Alam memberikan pesan berupa gelombang panas sebagai produk kebijakan yang tidak segera mengurangi penggunaan gas rumah kaca (carbon dioxide/CO2, methane/CH4, nitrous oxide/N2O, chloroflurocarbon/CFC, ozon, dan gas-gas turunan) secara konsisten.

Kekeringan ini merupakan buah deretan aktivitas manusia yang melanggar batas toleransi ekologis sehingga lingkungan menunjukkan eksistensinya guna mengingatkan manusia agar lebih bijak dalam bertindak.

Pemerintah telah diberi otoritas hukum untuk menanggulangi global warming dan kekeringan dengan segala alokasi serta distribusi anggaran. Membiarkan alih fungsi lahan dan kerusakan DAS adalah tindakan tidak bermoral serta mencederai jiwa terdalam UUD 1945 sebagai ’’konstitusi hijau’’.

Pada lingkup inilah, saya teringat sabda Raja Hayam Wuruk sebagaimana dalam awal tulisan ini yang artinya: Negara dan desa itu ibarat singa dengan hutan. Apabila desa rusak, rusaklah negara karena kekurangan pangan. Apabila tidak ada tentara yang kuat, pasti negara mudah diserang musuh. Untuk itulah, peliharalah keduanya (I Ketut Riana, 2009). Itu adalah lirik di Pupuh 350 Kakawin Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca yang rampung ditulis pada 1365.

Pesan itu sangat fenomenal mengenai solusi ekologis dengan membangun lingkungan yang berpijak pada desa. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila pada 11 Juli 1945 sewaktu Sidang Kedua BPUPKI, Muhammad Yamin mengungkapkan bahwa pemerintahan dalam republik pertama-tama akan tersusun dari badan-badan masyarakat desa dan pemerintah pusat akan terbentuk di kota negara. Antara pemerintah atasan (pusat) dan pemerintah bawahan (desa) ada pemerintah daerah (tengahan). Desa, negeri-negeri, marga-marga, dan lainnya tetaplah menjadi kaki pemerintah Republik Indonesia.

Pada era klasik dari literatur Nagara Krtagama (Mpu Prapanca) maupun Kakawin Sutasoma yang ditulis Mpu Tantular pada 1385 telah diajarkan untuk membangun negara dari desa sebagai ’’peta jalan’’ infrastruktur: Satu kampung satu embung (untuk penyediaan air bersih dan konservasi mengatasi kekeringan serta banjir), satu kampung satu lumbung (depo logistik agar tidak terjadi kelaparan), satu kampung satu saung (gardu siskamling, pos hankam, titik kumpul evakuasi warga, dan pusat informasi dengan kentongan sebagai penanda), serta satu kampung satu gayung (guna mendistribusikan air melalui saluran irigasi berbasis prinsip pertanian berkeadilan, panen raya berkelanjutan, dan sumber pangan negara).

Melalui program Jatim Harmoni, agenda kerja model Nagara Krtagama dan Sutasoma dapat diwujudkan. Bangunlah di setiap kampung dengan tetenger utama: embung, lumbung, saung, dan gayung. Sejatinya, kakawin bukan referensi dongeng, tetapi literasi pembangunan agar bangsa ini mengenali kembali jati dirinya. (*)

Tidak ada komentar: