Oleh: Ignatius Haryanto | 26 Jun 2017
klik historia
*
lihat juga
klik hoax politik
klik hindari racun 5S dalam siaran di media sosial
klik PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN DAN STANDAR PROGRAM SIARAN
klik https://youtu.be/OPKXV73fBdU
klik https://youtu.be/9uOGaYiWVHU
klik https://youtu.be/johlI3r_ZCs
Di kalangan wartawan Indonesia, nama Adinegoro dikenal sebagai nama sebuah penghargaan jurnalistik yang diberikan kepada para wartawan Indonesia sejak pertengahan tahun 1970-an. Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Adinegoro –dianugerahi gelar Perintis Pers Indonesia pada tahun 1974– adalah orang Indonesia pertama yang menempuh kuliah jurnalistik di Jerman pada tahun 1926. Karya tulisnya yang berjudul Melawat ke Barat mungkin bisa dikatakan sebagai buku pertama yang menulis kisah perjalanan wartawan Indonesia ke luar negeri. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam tiga jilid pada tahun 1936.
Kalau mendengar nama Adinegoro, banyak orang akan berpikir apakah dia seorang Jawa? Nama sesungguhnya adalah Djamaluddin Adinegoro gelar Datuk Maradjo Sutan (1904-1967), seorang “urang awak” dari tanah Minang, Sumatera Barat. Nama Adinegoro sebenarnya adalah nama pena atau nama samaran yang disarankan oleh temannya, Landjumin Datuk Tumenggung, yang juga memiliki nama pena Nitinegoro.
Adinegoro diminta oleh ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di Jawa untuk masuk sekolah kedokteran STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputra).
Pada saat di STOVIA ini Adinegoro menunjukkan minatnya yang besar pada dunia tulis menulis dan dia pun menjadi pembantu tetap dari koran Tjahaja Hindia. Dia lalu keluar dari sekolah kedokteran tersebut (sedikit mirip dengan kisah Tirto Adhisoerjo yang juga sempat sekolah kedokteran di STOVIA namun lebih tertarik dengan dunia tulis menulis) dan memutuskan untuk sekolah ke Eropa mendalami jurnalistik.
Nah, pada saat perjalanan menuju Eropa tersebut, sekitar tahun 1926, di situlah Adinegoro menuliskan catatan yang kemudian dibukukan menjadi buku Melawat ke Barat. Naskah Melawat ke Barat sebenarnya adalah kumpulan dari tulisan yang dikirimkan oleh Adinegoro ke majalah Pandji Poestaka, milik Balai Poestaka, oleh karena itu wajar kemudian ketika Balai Pustaka –sebagai satu-satunya lembaga penerbitan yang ada di masa penjajahan Belanda, dan kemudian diteruskan setelah masa kemerdekaan– menerbitkan naskah ini.
Selain itu, Adinegoro juga mengirimkan karangannya ke koran Pewarta Deli (Medan) dan Bintang Timoer (Jakarta). Setelah Melawat ke Barat, Adinegoro juga dikenal dengan buku lain yang dia tulis berjudul, Falsafah Ratu Dunia. “Ratu Dunia” di sini adalah istilah Adinegoro untuk menyebut tentang “Pers”. Dari buku yang saya miliki, Falsafah Ratu Dunia diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1951 dan disebutkan itu adalah cetakan kedua, namun dalam pengantar buku tersebut, Adinegoro selesai menulis naskah ini pada Desember 1948.
Di Eropa, Adinegoro juga belajar tentang geografi dan kartografi di Wuerzburg dan geopolitik di Munchen, Jerman. Ilmunya soal perpetaan ini berguna ketika pecah Perang Dunia II, Adinegoro sendiri yang menggambarkan peta pergerakan perang itu, dan hal ini ternyata sangat disukai oleh para pembaca.
Ketika Jepang masuk, Pewarta Deli dihentikan penerbitannya, namun kemudian didirikan koran Sumatera Shimbun, dan Adinegoro ditunjuk menjadi pemimpinnya.
Setelah Indonesia merdeka, pada 1948 Adinegoro lalu pindah ke Jawa dan di Jakarta dia mendirikan majalah Mimbar Indonesia bersama dengan Prof. Soepomo, Prof. Moh. Noor, Soekardjo Wirjopranoto, dan Mr. Yusuf Wibisono. Setelah proklamasi, Adinegoro juga sempat ditunjuk oleh Sukarno, Presiden Republik Indonesia pertama untuk menjadi Ketua Komite Nasional Sumatera, untuk mengambil-alih administrasi pemerintahan dari tangan Jepang. Dia pun sempat memimpin kepala penerangan Republik Indonesia di wilayah Sumatera, dan di Bukit Tinggi, Adinegoro juga sempat mendirikan koran Kedaulatan Rakyat (tak ada kaitannya dengan koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta yang juga terbit tak lama setelah kemerdekaan Indonesia) yang berhenti terbit ketika terjadi clash kedua akibat serangan tentara Sekutu pada 1948.
Ketika Adinegoro pindah ke Jakarta setelah masa revolusi itu, pada tahun 1951dia mendirikan Yayasan Persbiro Indonesia dan mendirikan Perguruan Tinggi Publisistik (kemudian berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Publisistik dan kemudian diperluas menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik –sekarang bertempat di Lenteng Agung, Jakarta Selatan) dan juga Fakultas Publisistik di Universitas Padjajaran, Bandung.
Kiri-kanan: Parada Harahap, Dr. Amir, dan Adinegoro, pengarang di Bintang Hindia. (Perpusnas RI).
Tentang Melawat ke Barat
Buku ini memberikan laporan perjalanan dari seorang Adinegoro yang pergi ke Eropa pada tahun 1926. Pada waktu itu, perjalanan ke Eropa hanya bisa dilakukan lewat kapal laut (belum ada pesawat terbang kala itu), dan perjalanannya menempuh waktu tak kurang dari tiga minggu. Tujuan akhir Adinegoro sebenarnya adalah Jerman, namun di tengah jalan, dia memutuskan turun di Prancis, untuk bisa mengunjungi sejumlah kota di sana (Melawat ke Barat, jilid 1), kemudian pergi ke Belanda dengan menggunakan kereta, dan menyusuri sejumlah kota di Belgia dan Belanda, sebelum sampai pada tujuan akhir di Jerman (Melawat ke Barat, jilid 2), sedangkan pada jilid 3, dia menggambarkan soal Italia dan Turki.
Rute yang ditempuh dalam perjalanan laut ini dimulai dari pelabuhan Tanjung Priok di Batavia (atau sering disebutnya sebagai “Hindia” –dari Hindia Belanda, nama resmi yang diberikan pemerintah kolonial Belanda, sebelum kita menyebutnya sebagai Indonesia): Batavia–Singapura–Selat Malaka–Medan–Sabang–Laut Hindia–Laut Merah–Suez–Port Said–Lautan Tengah–Eropa Selatan–Italia–Perancis.
Sayang, Adinegoro tak menulis berdasarkan tanggal tertentu. Dia menulis dengan mengalir saja, tanpa memberikan catatan soal waktu, walau dia tulis secara kronologis tempat-tempat yang dia lewati tersebut. Naskah ini pun bukan semacam diary, atau catatan harian, karena apa yang dirasakan oleh Adinegoro tak mudah terlihat dalam tulisannya. Misalnya, penjelasan mengapa dia memilih keluar dari STOVIA dan ingin menekuni dunia jurnalistik, tak tertuang dalam naskah ini. Lalu siapa yang membiayai perjalanan ke Eropa ini, juga tak cukup jelas: apakah biaya dari keluarganya, atau pun beasiswa dari Jerman misalnya. Soal perasaan tak muncul di sana kecuali satu dua hal kecil. Pun dia tidak menjelaskan mengapa untuk jurnalistik dia lebih tertarik mengambil di Jerman ketimbang di Belanda misalnya.
Dari catatan perjalanan ini kita akan melihat betapa luas pengetahuan Adinegoro atas berbagai wilayah di dunia, dia mengetahui soal sejarah, geografi, politik dan lain-lain. Jadi, perjalanan fisik ke suatu wilayah membuat Adinegoro menuangkan pengetahuan yang dia ketahui atas tempat-tempat tersebut. Boleh jadi itu pengetahuan yang dia dapat pada saat sekolah Belanda, namun di luar itu saya kira Adinegoro sangat banyak membaca, sehingga perjalanan tiga minggu yang terkadang membosankan itu, dia isi dengan berbagai pengetahuannya serta analisanya terhadap suatu tempat.
Sempat terpikir oleh saya, darimana dia mendapatkan begitu banyak informasi tersebut? Apakah pada masa itu kapal laut menyediakan brosur-brosur perjalanan untuk memberikan keterangan yang sedemikian komprehensif, tapi rasanya bukan itu yang terjadi. Akumulasi pengetahuan dan informasi yang telah dia miliki itulah yang membuat dia lancar mengisahkan berbagai hal yang dia temui tersebut.
Ketika kapal beberapa kali melabuh di sejumlah tempat –seperti Singapura, Sabang, Malaka, Suez, dan lain-lain, dia menyempatkan diri untuk turun ke darat, berjalan-jalan, melihat-lihat apa yang menarik di kota tersebut dan terkadang dia membeli buku, masuk ke museum, perpustakaan, bercakap-cakap dengan orang setempat, dan lain-lain.
Jadi perjalanan fisik membuat Adinegoro melakukan perjalanan rohani sendiri dengan segala pengetahuan dan apa yang dia lihat itu. Yang menarik dari membaca naskah ini, maka kita pun akan mengetahui bahwa misalnya pada masa itu, ketika kapal berlabuh di suatu pelabuhan, maka ada suatu pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan surat. Paling tidak ada tiga pelabuhan di mana seluruh penumpang kapal diperiksa kesehatannya oleh dokter setempat. Hal ini dilakukan untuk memastikan salah satu penumpang tak membawa penyakit menular ke kota tersebut. Pemeriksaan ini misalnya dilakukan di Port Said dan Marseille.
Kemudian di kapal tersebut ada pelbagai aktivitas yang bisa dilakukan, walaupun tidak banyak: bangun siang, makan, bermain catur, mendengar konser, bercakap-cakap dengan sesama penumpang lain. Adinegoro sempat belajar bahasa Perancis dengan seorang penumpang, karena dia tahu akan turun di Perancis dan di negeri ini, orang asing akan lebih dihargai jika dia bisa berbahasa mereka.
Yang juga menarik adalah uang yang dia bawa dari Hindia Belanda rupanya bernilai sangat tinggi terutama ketika ditukarkan dengan franc Prancis. Ekonomi Perancis saat itu merosot dan nilainya kalah dengan gulden Belanda. Adinegoro mencatat bahwa 1 “roepiah” yang dia bawa bernilai sama dengan 20 franc dan itu artinya dia bisa makan enak dan mewah di Prancis dengan harga yang murah.
Soal perbedaan budaya yang ada antara masyarakat Timur dan Barat tercermin dalam beberapa bagian tulisan ini. Dia sebagai orang “berkulit coklat” –tidak sehitam penduduk asal Afrika yang banyak ada di Perancis– misalnya cukup mengagetkan sejumlah pengunjung restoran di Perancis karena warna kulit yang berbeda dengan kebanyakan orang di sana. Bahkan ada seorang anak kecil yang duduk dengan mejanya, kaget setengah mati melihat wajahnya.
Adinegoro tak menyebutkan bagaimana perasaannya terhadap kondisi itu, tetapi dia hanya menyebutkan hal tersebut dalam paparannya, termasuk bahwa dia memberikan tip yang cukup besar kepada pelayan berkulit putih di restoran tersebut.
Dalam diri Adinegoro sendiri, dia mengakui bahwa awalnya dia memiliki informasi terbatas tentang masyarakat Eropa, di mana dia mengira “Eropa itu adalah satu”. Kenyataannya, dia melihat bahwa antarbangsa di Eropa memiliki perbedaan besar, yaitu bangsa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Italia, Portugis, Yunani, dan lain-lain. Dari sini, dia merasakan Eropa itu mirip dengan “Hindia” yang berbeda-beda antara orang Jawa, Sumatera (Padang, Batak), Manado, Ambon dan lain-lain.
Pada periode yang kurang lebih sama, seorang wartawan Indonesia lainnya, Abdul Rivai, juga menulis kisah perjalanan ke Eropa yang kurang lebih sama. Abdul Rivai (1871-1933) saat setelah lulus dari STOVIA menjadi dokter di Medan. Dia ingin studi lebih lanjut soal kedokteran di Belanda pada tahun 1890-an, tetapi dia tidak diterima karena ijazahnya dianggap tidak setara dengan ijazah di Belanda.
Karena gemas dengan kondisi diskriminasi itu, dia lalu banyak menulis bagi sejumlah surat kabar seperti Bintang Hindia, Bendera Wolanda, Pewarta Wolanda, Oost en West, Algemeen Handelsblad di Amsterdam. Tulisan tersebut dimuat dalam buku Student Indonesia di Eropa: Kumpulan karang-karangan Dr. A. Rivai Redactuer Bintang Timoer di Eropa dari November 1926 sampai Mei 1928.
Buku ini tak cukup jelas kapan persisnya terbit pertama kali. Boleh jadi pada tahun 1930-an dengan kata pengantar dari Parada Harahap, namun naskah yang saya miliki adalah edisi penerbitan kembali buku ini pada tahun 2000 oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
Jika Adinegoro menuliskan perjalanannya, maka Abdul Rivai menuliskan kisah heroik para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Indische Vereneging, yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia, perkumpulan mahasiswa Indonesia yang berani mempropagandakan kemerdekaan Indonesia di tanah Belanda. Para mahasiswa ini –di antaranya adalah Mohammad Hatta– sempat diadili oleh pengadilan Belanda yang mencurigai kelompok ini terkait dengan pemberontakan komunis tahun 1926 di Hindia, namun akhirnya mereka bebas setelah dibela oleh seorang pengacara sosialis Belanda.
Buku-buku penting dalam khasanah pers Indonesia penting untuk diterbitkan kembali, diperbincangkan, sehingga jurnalis masa kini pun akan paham jejak para jurnalis pionir di Indonesia, dan mengambil manfaat dari apa yang telah ditulisnya dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang mereka miliki saat itu.
Buku Melawat ke Barat juga termasuk yang perlu diterbitkan kembali, mengikuti sejumlah buku lain yang juga telah terbit seperti buku Abdul Rivai di atas, atau juga karya Mochtar Lubis, Catatan Perang Korea, atau tulisan P.K. Ojong atas Perang Eropa dan Perang Pasifik.
Penulis pernah bekerja sebagai wartawan antara tahun 1994-2003, peneliti media, dan pengajar jurnalistik, salah satunya mengampu mata kuliah Sejarah Pers Indonesia Modern di Universitas Multimedia Nusantara.
Tentang riwayat Adinegoro lihat Soebagijo I.N., Sebelas Perintis Pers Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1976). Soebagio I.N., Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1987). Taufik Rahzen et.al, Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, (Yogyakarta: I:Boekoe, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar