Oleh DUKUT IMAM WIDODO
Penulis buku-buku: Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, Soerabaia In The Olden Days, Malang Tempo Doeloe, dan Monggo Dipun Badhog
Editor : Dhimas Ginanjar
OPINI
9 Februari 2023, 19:48:39 WIB
UNTUK mengenang Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2023, ada baiknya kita membuka lembaran-lembaran sejarah pers di Surabaya dari sisi yang lain. Untuk itu, mari kita berkenalan dengan para kuli tinta bonek yang pernah menggegerkan dunia persuratkabaran tempo dulu di Surabaya.
Lantaran tulisan mereka yang sangat tajam, mereka sampai bisa mendongkel jabatan para petinggi. Lantaran tulisan, mereka rela mendekam di Penjara Kalisosok.
Pada 3 September 1864, Pemred koran De Nieuwsbode, yang bernama J.J. Nosse, diusir dari negeri ini karena tulisan dalam Tajuk Rencana-nya dianggap menghina pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, yang membuat keputusan pengusiran ini adalah gubernur jenderal. Sayang, di dalam bukunya, Oud Soerabaia, GH von Faber tidak menjelaskan secara terperinci, tulisan yang membuat pemerintah kebakaran jenggot itu isinya seperti apa?
Lebih dari satu setengah abad yang lalu pada 1868, surat kabar Soerabaja Courant memuat 100 artikel secara berturut-turut. Semua artikel itu diberi judul Fakta. Jadi, ada Fakta No 1, Fakta No 2, Fakta No 3, hingga Fakta No 100. Semua artikel itu menceritakan kebobrokan perilaku para petinggi bangsa Belanda dan para ambtenaar (pegawai negeri) bangsa pribumi. Semua dihujatnya habis-habisan, tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling.
Lantas, bagaimana dengan nasib si kuli tinta yang bonek itu? Ia pun akhirnya mendekam di Penjara Kalisosok selama 6 bulan. Ia adalah A.M. Courier D. Dubekart. Kelak tulisan Fakta di surat kabar Soerabaja Courant tersebut malah diterbitkan sebagai buku oleh penerbit Van Dorp di Semarang.
Akibat dari tulisan di koran-koran, Asisten Residen Blitar Tuan Van Der Hell dipecat. Sementara Bupati Blitar Raden Adipati Aryo Adi Negoro dipaksa pensiun! Seorang petinggi bangsa Belanda yang juga mengalami nasib yang sama adalah Residen Van der Kaa.
Adalah Gubernur Jenderal Idenburg yang berkuasa di tanah jajahan ini pada sekitar 1870. Wajar, sebagai penguasa, ia pun menjalankan politik kolonialnya. Pada 1870, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Tanah. Pemerintah akan menjamin bahwa pemberian sewa tanah tidak akan melanggar hak tanah milik rakyat.
Sekalipun begitu, pemerintah bisa saja menyatakan domein verklaring (pengakuan tanah sebagai hak milik pemerintah). Tanah dengan status eigendom, erfpacht, opstal adalah produk dari Undang-Undang Tanah 1870.
Maka, dengan nekatnya, M. van Geuns, Pemred koran De Oostpost yang terbit di Surabaya, mencaci maki pemerintah. Dikatakan bahwa Undang-Undang Tanah 1870 tersebut tak lebih dari janji-janji gombal belaka. Kelak, sejarah membuktikan bahwa yang ditulis De Oostpost itu memang benar adanya. Beberapa waktu kemudian kantor redaksi De Oostpost di-beslaag (disita), sedangkan Pemred-nya ditangkap.
Memang membuat laporan adalah tanggung jawab para kuli tinta. Tapi, masalahnya, hukum belum berpihak pada hak asasi manusia. Keadilan memang hanya diperuntukkan bagi penguasa Belanda. Maka, dengan alat pemaksa yang ampuh, yaitu apa yang disebut dengan kekuasaan, koran-koran harus dibungkam.
Pada November 1872, pemimpin redaksi dari Surabayasch Handelsblad, J.H.J. Elberg, dijatuhi hukuman penjara satu tahun dan membayar denda 500 gulden oleh Pengadilan Surabaya. Gara-garanya, tulisan dalam Tajuk Rencana-nya tertanggal 13 Maret 1872 dianggap mempermalukan pemerintah. Sekeluarnya dari Penjara Kalisosok, J.H.J. Elberg menjadi wartawan dari harian De Locomotief di Semarang. Di koran ini, ia tak menghentikan kebiasaannya menghujat pemerintah.
Koran itu menulis bahwa asisten residen Surabaya kala itu ngemplang pajak. Tentu saja dengan bersenjata kekuasaan Tuan Asisten Residen itu memerkarakan Pemred koran tersebut. Dan, dengan kekuasaannya pula, ia berhasil memenangkan perkara itu, bahkan menuduh balik bahwa koran Soerabajasche Handelsblad telah mencemarkan nama baiknya.
Dengan adanya kebebasan penjualan candu, banyak wartawan tempo dulu yang kecanduan mengkritik pemerintah. Akibatnya, pemerintah pun kecanduan untuk selalu menghukum para wartawan yang mbeling itu.
J.F. Scheltema adalah salah seorang wartawan yang menulis tentang akibat negatif kebebasan candu bagi rakyat negeri ini. Untuk itu, ia dijatuhi hukuman 3 bulan penjara.
Pieter Brooshooft, redaktur Soerabaja Courant, pintar sekali menghindar dari jerat hukum. Tulisannya pakai nalar dan masuk akal. Pemerintah sendiri kesulitan buat menjebaknya. Tetapi, harus diakui bahwa hampir semua penerbitan surat kabar di Surabaya kala itu memang berciri oposisional.
Sebagaimana diketahui, pada 1870–1877 Hindia Belanda (Indonesia kala itu) mengalami masa pemekaran ekonomi periode liberal. Para penguasa perkebunan memperoleh keuntungan luar biasa lantaran diberlakukannya Undang-Undang Tanah yang mengizinkan hak guna usaha (erfpacht) tanah kosong atau penyewaan tanah desa.
Ekspor gula melalui Surabaya dari 174.000 ton melonjak menjadi 249.000 ton. Masalah saldo laba itulah yang sengaja diungkit-ungkit oleh Brooshooft. Ia katakan bahwa pemakaian saldo laba itu berlawanan dengan hukum kedaulatan negeri modern. Seharusnya saldo laba itu juga bisa dinikmati oleh rakyat tanah jajahan ini, bukannya dimakan semua oleh negeri Belanda! Pemerintah sudah memperoleh keuntungan berlimpah ruah, tetapi mengapa kas negara tekor terus-menerus? Sindir wartawan pemberani ini!
Sayang, wartawan intelek ini tidak lama bergabung dengan Soerabaja Courant. Ia pindah ke Semarang dan diangkat sebagai redaktur utama koran de Locomotief. Di koran ini pun, ia tak henti-hentinya mengeluarkan kritiknya kepada pemerintah Hindia Belanda.
Lantas, bagaimana dengan Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch Indie? (Undang-Undang tentang Percetakan dan Pers). Atau Journalistische Ordonantie? (Ketetapan tentang Kode Etik Jurnalistik). Justru dua aturan itulah yang memang sering dilanggar oleh para wartawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar