klik sayangi bumi maka akan disayang langitan

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

(HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

*

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

surat (30) ar rum ayat 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)

surat (5) al maa'idah ayat 32

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ (٣٢)

surat 4 An Nisa' ayat 114

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ  ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

surat 3 Āli 'Imrān ayat 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

*

klik nasehat

klik emak

*

Selasa, 30 Januari 2024

Akademi Militer Harus Adaptasi

Akademi Militer Harus Adaptasi, Jokowi: Sains, Teknologi, Engineering, Mathemathics, Semuanya Perlu Dipelajari 

Kompas.com - 29/01/2024, 15:33 WIB

klik kompas


para panglima besar yang awalnya adalah guru ngaji dan santri 






Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Akademi Militer (Akmil) beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan teknologi. Jokowi pun meminta Akmil harus mempelajari sains, teknologi, ilmu keteknikan atau engineering, dan mathematics (STEM). 

"Akademi militer juga sama, harus mampu dan mau menyesuaikan, beradaptasi dengan distrupsi, dengan perubahan teknologi," kata Jokowi saat meresmikan Graha Utama Akmil Magelang di Kesatrian Akmil, Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024). 


"Oleh sebab itu, sains dalam pembelajaran sangat diperlukan di militer, sains, teknologi, engineering, matematika, semuanya perlu dipelajari," sambung dia. Dia menambahkan bahwa berkat perubahan teknologi, kini sudah banyak kendaraan seperti kapal hingga pesawat tanpa awak.

Bahkan, ada juga drone yang bisa mengejar sasaran secara akurat. Oleh karenanya, diperlukan adaptasi termasuk di Akmil.

"Karena kalau kita liat sekarang ini yang namanya kapal tanpa awak sudah sangat biasa. Pesawat besar tanpa awak juga biasa. Mobil tanpa awak di mana. Drone yang dipersenjatai dengan face recognition bisa mengejar sasaran tepat, akurat," ucap dia.


Dalam kesempatan yang sama, Jokowi juga meresmikan Graha Utama Akademi Militer (Akmil) di Kesatrian Akmil, Magelang.

Jokowi mengatakan, Akmil merupakan tempat menempa mental, intelektual, dan menempa ketangguhan para prajurit.

Dia berharap Graha Utama ini bisa dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan akademis dan acara militer.

"Pembangunan Graha Utama seluas 8.068 meter persegi ini akan sangat memberikan dorongan kepada kita semuanya untuk belajar lebih baik lagi, karena sarana prasarana pendidikan di Akmil semakin lengkap dan semakin canggih dan semakin modern," kata Jokowi di lokasi saat meresmikan.

Acara turut dihadiri Menteri Pertahanan (Menhan) RI Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak, dan Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana. 

Kemudian, hadir juga jajaran Kabinet Indonesia Maju (KIM) di antaranya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden RI Jenderal (Purn) Wiranto, serta jajaran purnawirawan lainnya.

*


*

doa

surat 7.Al-A'rāf ayat 23

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Keduanya berkata: \"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.

surat 2 Al Baqarah Ayat 250

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

وَلَمَّا بَرَزُوْا لِجَـالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ قَا لُوْا رَبَّنَاۤ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّثَبِّتْ اَقْدَا مَنَا وَا نْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْکٰفِرِيْنَ 

"Dan ketika mereka maju melawan Jalut dan tentaranya, mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."

surat 7 Al A'raf Ayat 126

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

وَمَا تَـنْقِمُ مِنَّاۤ اِلَّاۤ اَنْ اٰمَنَّا بِاٰ يٰتِ رَبِّنَا لَمَّا جَآءَتْنَا ۗ رَبَّنَاۤ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ

"dan engkau tidak melakukan balas dendam kepada kami, melainkan karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami." (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu)."

surat 2 Al Baqarah Ayat 201

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَاۤ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰ خِرَةِ حَسَنَةً وَّ قِنَا عَذَا بَ النَّا رِ

"Dan di antara mereka ada yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka."

*

muqoddimah kitab Riyadhus Shalihin karya Syaikh Imam an-Nawawi, 

... إِنَّ للهِ عِبَادًا فُطَنَا ...

... طَلَّقُوا الدُّنْيَا وخَافُوا الفِتَنَا نَظَروا فيهَا فَلَمَّا عَلِمُوا ...

... أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا جَعَلُوها لُجَّةً واتَّخَذُوا ...

... صَالِحَ الأَعمالِ فيها سُفُنا ...

"Innalillahi ‘ibadan futhona, tholaqu ad-dunya wa khoful fitana, nadhoru fiha falamma ‘alimu, annaha laisat lihayyin wathona, ja’aluha lujjatan wattakhodzu, sholihal a’mali fiha sufuna.”

Artinya kurang lebih demikian, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki hamba-hamba yang cerdas lagi bijaksana.

Ialah mereka yang menceraikan dunia karena khawatir akan tipu daya dan fitnahnya.

Mereka benar-benar melihat dan mengetahui, bahwa sesungguhnya dunia bukanlah tempat hidup yang sebenarnya bagi manusia.

Mereka melihat dunia sebagai bahtera lautan yang sangat dalam dan menjadikan amal saleh sebagai perahu untuk mengarunginya.

*

dakwah kepada manusia

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

surat 4 An-Nisa' ayat 114

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلٰحٍۢ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar."

surat 3 Āli 'Imrān 104

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

*


sekolahnya para penjaga hati, para penjaga tanah, air dan udara Indonesia 👍










*

Surat 9 At-Taubah 9 Ayat 105

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَا لْمُؤْمِنُوْنَ ۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَا لشَّهَا دَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ 

"Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."

*

HR. Abu Daud no. 4297 dan Ahmad 5: 278, shahih kata Syaikh Al Albani.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ، حَدَّثَنِي أَبُو عَبْدِ السَّلاَمِ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ‏"‏ ‏.‏ فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ ‏"‏ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ‏"‏ ‏.‏ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ ‏"‏ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ ‏"‏ ‏.‏

Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat, pen) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ’Wahn’. Kemudian seseorang bertanya,”Apa itu ’wahn’?” Rasulullah berkata,”Cinta dunia dan takut mati.”

*

angka dasar dalam matematika.

klik https://youtu.be/5TkIe60y2GI

klik https://youtu.be/NHZt8eBKcRA

angka2 yang ada di masa kini, suatu saat nanti akan ditemukan lagi angka2 yang jauh lebih hebat dan sederhana daripada ini semua.

wallaahu a'lam bish showab.

*

ini adalah mesin enigma, dan ini adalah sekelumit kisah tentang peran matematika dalam enigma, insyaallah manfaat😊 

(all videos is on subtitle, so you and our difabel friends can enjoy the videos)😊

klik https://youtu.be/ICwY8K5VIZk

*

Enigma stories

klik https://youtu.be/G2_Q9FoD-oQ

klik https://youtu.be/V4V2bpZlqx8

*

get closer with enigma

klik https://youtu.be/d2NWPG2gB_A

klik https://youtu.be/kj_7Jc1mS9k

*

get closer with Alan Turing

klik https://youtu.be/gtRLmL70TH0

klik https://youtu.be/g7_WzNzHwJY

*


TENTANG SERANGAN SIBER.




*

A Point of View: The Trojan horse

29 November 2013

Those Trojans, eh? A gullible lot weren't they? I mean to say: You've been fighting those mythomaniacal Greeks for many years and many of your people have been hacked apart most horribly, then one day you arise from your perfumed cushions in the seraglio, head to the battlements for a morning constitutional, and discover they've all upped sticks and gone. Not only that, but they've left behind what appears to be a gift of some sort. True, the era of Scandinavian-designed wooden objects lies well in the future, but even to your Bronze Age eyes there appears nothing more pleasingly innocuous than this hand-crafted horse. A statue of one of their gods might be troubling, and an obviously bellicose object, such as a shield or helmet writ large, would cry out not to be touched - but a lovely horsey! Well, you just can't wait to get hold of it.

Yes, gullible lot those Trojans, but when I consider the strange ideological involutions that have characterised British politics throughout my adult life I wonder if we aren't quite as credulous as they. After all, in the final analysis, it all comes down to gifts - presents that we save up for through that countrywide Christmas club we call progressive taxation, and which are then handed out by the jolly, ho-hoing Government in the form of public services. The strange thing is that although these "gifts" are seldom anything like as nice as the packaging they come wrapped in, we seem to fall for the little joke every time it's played on us.

Take state education for a start. Universal free and non-selective education was always presented by those on the left as simply a way of increasing social mobility. The old 11-plus-mediated separation of secondary modern goats from grammar school sheep was divisive and obviously unfair. But of course, inside the gift of the shiny new comprehensives crouched the vanguard of the proletariat. The same Labour government that pushed for them also seriously considered the abolition of all fee-paying schools, and their aim wasn't simply to level the playing field in terms of opportunity, but to turn the education system into the incubator of a future classless society.

Then on the other hand we have another gift - the huge give-away of public housing stock that began under the Thatcher government in the 1980s and which has continued to this day. What could be more generous than offering the less well-off an opportunity to become homeowners, especially at a 50% reduction on the market rate? Why, this doesn't just seem like a year-round Christmas - it's more like a permanent January sale. But of course, inside the pebble-dashed bellies of those properties there crouched a different detachment of warriors. These ones, quite as much as the revolutionary vanguard, were ideologically motivated. While they trumpeted domestic virtues, what they really championed was capital accumulation. Their fervid hope was that if some of those upwardly mobile council house purchasers were canny enough they might even factor their walk-up flats into a portfolio of shares in, say, the newly-privatised utilities.

Nowadays things aren't quite what they used to be, and gifts don't seem to be either. Instead of unwrapping a positive good the electorate are handed a negative capability. "Vote for us!" the main political parties cry, "and we'll return the favour by not taxing you punitively or alternatively by not still further eviscerating your already gutted public services." Still, while the gifts may have become intangible the packaging still has that familiar equine shape, the main purpose of which is to convince all us Trojans that we've been remembered on this special day. The ideological siege may have been lifted, but the key rhetorical terms remain portfolio ones - inclusiveness, fairness, equality. These are values that we all earnestly endorse, even as our society becomes relentlessly less inclusive, more unfair, and remains manifestly unequal.

And in the middle of all those ticklish horse feathers the same old warriors are hiding, while trying hard to stifle their giggles. The right, it is said, believe with utmost sincerity that their policies are best for the poor, because only a red-blooded capitalism can hope to deliver enough wealth for the overall standard of living to be raised. What they're less keen on admitting is that so long as there are "haves" there will obviously have to be "have-nots". But by the same measure, those on the left who believe it possible for everyone to have a bit, don't like to come clean that this means a few will definitely have to have a lot less.

Rather than do this, both sides indulge in a little dressage - grooming the horse, curry-combing its forelock and buffing up its hoofs - and come each budget announcement and election time the horse is rolled out in front of us. But I say "Ca suffit!" It's time that our political culture grew up enough not to depend on the subterfuge of such spurious gift-giving. After all, the suppressed premise on both sides of our increasingly prefabricated party wall is precisely the same. All our problems - as a society, a nation, a culture - can be easily circumvented so long as we feed the horsey the right fodder to ensure its growth. 

Ah! Growth! Everybody loves growth, don't they? Without growth we'd be back in the dark ages with oxen pulling the plough, wouldn't we? And - if you'll forgive the extended chimerical analogy - an economy is also like a shark, isn't it? Unless it keeps on consuming natural resources and transforming them into the flexible cartilage of technological innovation, it dies, and we die with it.

In the years leading up to the financial crisis of 2007-8 the most plangent buzzword in our political discourse was "sustainability", a term borrowed from the life sciences that denotes an ecosystem capable of maintaining itself without depleting its resource base. Sustainability is, of course, still in, but over the last five years it's become strangely entwined with the convolvulus of "growth". The notion of sustainable growth is verging on the oxymoronic - and yet no one but the most extreme Luddite would dream of speaking out against it. 

Why? Because the assumption is that to deny growth to any one part of the economy - no matter how bloated that may be - is by extension to deprive its most meagre portions of the nutrition they so desperately need. And yet what a curious notion this is really. Having laid to rest as grotesquely unfeasible - and worse, flying in the face of human nature - the socialistic conceptions of equality of income and collective ownership, we now discover that a system predicated on divisiveness nonetheless demands of us that we all be in it together.

In psychology, a situation in which a vulnerable person is stymied by mutually incompatible statements is called a double-bind. We've all experienced this - "I love you!" our loved ones have sometimes screamed at us in the most hate-filled of voices. It now seems to me that the double-bind has been extended from the private and intimate realm to the public and social one. 

Some radical thinkers in the 1950s hypothesised that repeated exposure to the double-bind might be a cause of schizophrenia, and while this theory is now just as out of fashion as socialism, I'm not so sure that constantly hearing those in authority say one thing while meaning quite another hasn't made of our entire society a rather craven and psychically split entity.

So, those Trojans, eh, a gullible lot weren't they? Yet perhaps they weren't so much credulous as confounded. For years they'd been repelling Myrmidons while listening to their leaders tell them to just sit it out and eventually the Greeks would go away. From the battlements of Troy the wooden horse appeared altogether innocent, while Cassandra's prophecy was just yesterday's news - and we all know how much attention we pay to that. 

Besides, the Trojans were only presented with this pseudo-gift once, while we've opened the city gates and rolled the things inside time and time again, until being bamboozled is just another tradition - like the trooping of the colour, or the state opening of parliament, that, while vacuous in itself, nonetheless constitutes a vital part of our identity.

*

cyber defend is a must.


DI PEKAN-PEKAN ke depan kita mungkin akan menyaksikan langsung bagaimana siber menjadi sarana perang, senjata untuk melumpuhkan infrastruktur vital suatu negara dalam konflik terbuka antar dua negara. Terbaru, serangan siber melanda jaringan pipa energi terbesar Amerika Serikat di tengah konflik siber dengan Rusia.

Pengerahan pasukan Rusia besar-besaran ke Crimea Ukraina dalam rangka perebutan sumber daya air, terdeteksi oleh banyak pihak. Belajar dari sejarah serangan Rusia ke Ukraina, serangan fisik selalu diawali dengan dua serangan siber: serangan disinformasipropaganda dan serangan logic penghancuran infrastruktur kritis.

Peretas pro-Rusia meluncurkan serangkaian serangan siber selama beberapa hari untuk mengganggu Pemilihan Presiden Ukraina Mei 2014, merilis email yang diretas, berusaha mengubah penghitungan suara, dan menunda hasil akhir dengan serangan Distributed Denial-of-Service (DDoS).

Serangan di Desember 2015 ditujukan kepada tiga pembangkit (Ukrenergo, Kyivoblenergo, dan Prykarpattyaoblenergo) yang mengancam nyawa 200 ribu penduduk di tengah musim dingin. Modus operandi serangan dengan memutus sirkuit, merusak konverter analog ke digital, menghapus data, dan menghancurkan cadangan baterai.

Serangan di Desember 2016 ditujukan kepada pusat transmisi Ukrenergo yang memutus 200MW listrik ke Utara Ukraina. Metode serangan yang dilakukan adalah spionase dan sabotase infrastruktur listrik.

Serangan di Juni 2017 menggunakan senjata yang berbeda lagi: NotPetya. Semua infrastruktur kritis Ukraina terkena dampaknya. Listrik dan air mati, sistem keuangan tidak beroperasi, pembayaran hanya dapat dilakukan melalui uang tunai sementara hampir semua ATM tidak berfungsi.

Semua sistem yang menggunakan Windows dan internet hampir dipastikan mati dan harus dibangun ulang sambil memastikan tidak ada lagi malware tersebut di jaringan.

Metode serangan berkembang, tapi polanya sama: spionase, pemutusan akses, penghancuran infrastruktur fisik, dan serangan disinformasi-propaganda.

Kemampuan operasi siber itu juga akhirnya dimiliki oleh China dengan serangannya ke sistem ketenagalistrikan Mumbai tahun lalu dan didemonstrasikan kembali oleh Israel yang menyerang instalasi nuklir Iran Natanz bulan ini. Keduanya tidak mengakui atribusi serangan CPS tersebut.

Serangan CPS (Cyber-to-Physical System) mengarah kepada perangkat Industrial Control and Automated System. 

Lebih dikenal sebagai ICS, sistem ini mengontrol dan melakukan otomasi terhadap proses di semua industri yang berhubungan dengan pabrikasi, pemrosesan, energi, dan jasa seperti: pabrik kimia, pembangkit listrik, pengolahan air, logistik, dan transportasi.

Beberapa sektor di atas masuk pada infrastruktur vital karena kerusakannya dapat mengakibatkan ancaman nyata pada masyarakat umum.

Bayangkan saja jika blackout Jawa bagian Barat seperti kejadian di 4 Agustus 2019 atau kebakaran Balongan bulan lalu, dikarenakan serangan CPS, seperti di Ukraina.

Berdasarkan referensi Purdue, terdapat beberapa lapisan ICS Security dari instrumentasi fisik sampai ke jaringan internal korporasi, dengan lapisan penyangga (DMZ) antara zona bisnis dan zona operasi. 

Lapisan inilah yang jika berhasil ditembus akan berpotensi menimbulkan bencana. 

Penyerang akan dapat memutus sirkuit listrik, mempercepat putaran turbin, atau menambah dosis cairan pengolahan air sampai ke tingkat yang membahayakan.

Baru empat negara yang diduga kuat memiliki kemampuan serangan CPS ini: Amerika Serikat, Rusia, China, dan Israel. Keempatnya memiliki kesamaan: punya musuh nyata.

Negara yang punya musuh tentu memiliki alasan kuat untuk meningkatkan kemampuan pertahanan dan serangnya. 

Rusia menggunakan krisis Ukraina dan Georgia untuk melatih kemampuan ini, seperti juga China kepada India, terutama pada kemampuan siber yang senyap dan susah atribusinya.

Hal yang tidak kita temukan di Indonesia. Kita tidak memiliki konflik yang mengarah krisis terbuka dengan negara lain, berkat diplomasi politik luar negeri bebas aktif. 

Di satu sisi merupakan hal baik yang harus dipertahankan, namun di sisi lain kita tidak punya motif yang sangat sangat kuat untuk mengembangkan kemampuan pertahanan dan penyerangan siber.

Tidak ada “sparring partner” selain latihan serangan siber yang simulatif yang tidak punya risiko nyata. Aturan dan kebijakan keamanan siber kita juga masih tertinggal dibandingkan Qatar dan India misalnya, yang telah mempunyai standard pengamanan siber untuk ICS dan sektor energi.

Kita tinggal berharap dengan perubahan struktur organisasi BSSN berdasar Perpres 28 tahun 2021 dan peningkatan kemampuan siber TNI, bisa mengejar ketertinggalan ini, minimalnya dari sisi pertahanan terhadap ancaman serangan CPS. Semoga tidak terlambat.

Pergerakan pasukan Rusia ke Ukraina, bagaimana China sudah memarkir kapal perangnya di kawasan perairan Filipina, menghangatnya konflik China-Taiwan, krisis siber Rusia-Amerika, serangan ransomware Iran ke Israel, dan konflik perbatasan China-India, tentu akan ada efek langsung atau tidak langsung ke Indonesia baik di dunia nyata maupun di ranah siber. 

Latihan perang konvensional sudah sering dilaksanakan, tapi bagaimana persiapan menghadapi perang siber?

*

Dimensi Perang 

klik cyber war

Perang merupakan alat pemaksa politik Negara terhadap Negara lain. Globalisasi dan tehnologi telah merubah dimensi perang bukan hanya sekedar konvensional tetapi saat ini perang dalam bentuk yang jauh lebih kompleks. Perang yang dulu hanya berdasar pada kekuatan dan ketangguhan pengerahan pasukan dan alat perang, tetapi saat ini perang tidak lagi dalam perang fisik melainkan perang bayangan atau maya dengan medan pertempuran yang tidak terlihat dan tidak terbatas.

Perang berkembang dalam bentuk strategi baik dalam perang konvesional dengan kekuatan yang hampir berimbang saling berhadapan. Perang dengan kekuatan yang timpang antara pasukan lemah dengan pasukan yang jauh lebih besar dan kuat akan melahirkan taktik strategi yang lebih rumit yaitu apa yang disebut perang berlarut, perang kota, perang asimetris maupun perang gerilya. Macam perang tersebut masih terkait dengan kekuatan pasukan tempur dan adu persenjataan, dimana biasanya pasukan yang dilengkapi dengan persenjataan yang modern akan dapat menguasai jalannya pertempuran.

Medan tempur yang digunakan dalam perang fisik itu sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, dimana hutan, gunung, lembah, sungai dan laut menjadi nilai kritik yang dapat menentukan jalannya pertempuran. Kemenangan dalam arti bagaimana satu pihak dapat membunuh sebanyak-banyaknya, menghancurleburkan segala kekuatan dan persenjataan lawan. Bunuh-membunuh inilah yang menjadi konotasi dalam sejarah peperangan di muka bumi selama ini. Tercatat seperti perang dunia (PD) I dan PD II, perang Korea, perang Vietnam merupakan perang yang paling brutal. Konsep perang dalam rangka menakhlukkan Negara lain yaitu dengan menghancurkan segala obyek fisik strategis berupa benteng pertahanan, perkotaan, jembatan, jaringan listrik, jalur kereta api, kawasan industry dll. yang akhirnya dapat melemahkan pertahanan dan ketahanan Negara itu.

Tetapi saat ini dengan semakin sulitnya kemungkinan pertempuran secara konvensional akibat larangan invansi dan intervensi antar Negara, kemudian muncul perang-perang dalam bentuk dimensi lain. Seperti perang ekonomi, perang intelijen, perang urat syaraf yaitu perang-perang yang sudah tidak lagi secara konvensional, tetapi tetap merupakan strategi untuk menguasai ataupun melumpuhkan Negara lawan. Bila mengetahui aspek-aspek pilar ketahanan Negara mencakup; ideology, politik, ekonomi, social, budaya dan pertahanan keamanan (militer) maka untuk menghancurkan suatu Negara lawan tidak hanya dengan mengalahkan militernya saja, tetapi dapat saja menghancurkan pada pilar-pilar yang lain seperti ideology, politik, ekonomi, dan social. 

Menghancurkan militer akan jauh lebih sulit dan sangat mahal dengan korban jiwa yang cukup banyak. Bagi Negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar dapat saja melakukan kekuatan pengaruhnya itu untuk menggilas kemampuan ekonomi yang juga berimplikasi terhadap runtuhnya ketahanan politik. Seperti dalam sejarah bagaimana kejatuhan pemerintahan Soekarno dan Soeharto di Indonesia. Bagaimana komuditi beras menjadi lebih efektif untuk menjatuhkan kekuasaan daripada kekuatan bersenjata. Perang-perang seperti ini akan terus digunakan dan dikembangkan. Bagaimana perang ideology menjadi pertarungan dalam perebutan pengaruh hegomuni semisal antara blok Barat dan Timur ataupun Negara-negara adikuasa dengan Negara dunia ke tiga. Bagaimana aksi-aksi spionase dan intelijen seperti bayang-bayang yang mampu menembus batas-batas geografis menyusup untuk mencari informasi kelemahan Negara lawan. Upaya intelijen untuk cipta kondisi merapuhkan ketahanan  Negara lawan yang dapat mengakibatkan Negara runtuh dengan sendirinya akibat keropos dari dalam.

Perang akan selalu terjadi ketika kebutuhan akan Sumberdaya meningkat. Masing-masing Negara akan berupaya untuk dapat menguasai Sumberdaya Negara lain agar dirinya sendiri mampu menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan makan dan kesejahteraan rakyat menjadi suatu prioritas karena tujuan terbentuknya Negara ialah “Kesejahteraan”. Tanpa kecukupan maka Negara akan bubar dan terpecah menjadi Negara-negara baru yang mampu memberi harapan akan kesejahteraan. Semisal kehancuran Uni Soviet, dimana Negara yang begitu tangguh akhirnya runtuh dengan sendirinya, terpecah menjadi Negara-negara kecil bukan karena serangan militer, tetapi akibat keroposnya pilar ekonomi. Bahkan ideology yang kuat seperti komunisme yang dibanggakan tidak akan mampu membendung runtuhnya ekonomi. Membuktikan juga bahwa isu ideology saat ini tidak begitu utama lagi seperti pada era Perang Dingin. Negara China mampu bertahan dengan ideology Komunis dan bahkan menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia karena meskipun kental dengan ideology Komunis namun dalam praktek ekonominya menerapkan Liberal.

Globalisasi telah mengakibatkan pertarungan antar Negara menjadi keluar dari pakemnya. Kekuatan linier kesenjataan dan pasukan militer tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam pertarungan Negara. Saat ini kekuatan militer dipersiapkan lebih pada sarana untuk mendukung dan menyokong hubungan politik Negara. 

Bahwa kesiapan berperang adalah jalan untuk mencapai perdamaian ? 

Mungkin secara fisik benar. Tetapi Negara yang telah maju dengan kemampuan teknologi modern akan mengesampingkan itu semua. Dimana saat ini batasan wilayah Negara sudah hampir tidak  dapat dibatasi secara geografis lagi. Pemaknaan luas wilayah Negara sudah bukan dilihat dari letak dan jumlah patok-patok di perbatasan, tetapi lebih pada sejauh mana pengaruh hegomoni suatu Negara terhadap Negara lain. China dalam hegomoni ekonominya telah mampu menguasai ekonomi wilayah-wilayah jauh di luar batas negaranya; Asia, Eropa, Amerika, Australia dan bahkan Timur Tengah. 

Di Indonesia semisal bahwa ketergantungan dan dominasi produk ekonomi telah menjadi banyak tergantung dari produk China, Jepang, Vietnam. Bagaimana Negara-negara saat ini mengembangkan kemampuan geostrategisnya untuk mencapai geopolitik yang dapat digunakan untuk keuntungan dan penguasaan Negara lain. Membuat Negara lawan menjadi ketergantungan yang itu menandakan keberhasilan penguasaan dan kemenangan ekspansi secara ekonomi politik. Hegomoni ekonomi akan membuka peluang penguasaan politik.

Negara Indonesia seandainya mampu mengguanakan potensi geostrategis untuk mendukung geopoliknya maka harusnya dalam penguasaan wilayahnya tidak hanya sebatas batas geografis dari Sabang sampai Merauke saja, tetapi jauh lebih luas yaitu mencapai Australia, Filipina, Myanmar, Vietnam, Malaysia dan Singapura.

Dengan berubahnya konsep berfikir garis batas Negara dari garis-garis dan patok-patok geografis menjadi semacam “bayangan”menjadikan Negara-negara di dunia seolah menjadi satu dalam suatu organisasi bayangan. Penguasaan sebenarnya hanya ditentukan siapa yang mampu menancapkan hegomoninya terhadap Negara lain.

Perubahan tersebut juga akan mempengaruhi konsep perang, dimana selama ini perang diartikan sebagai penakhlukkan dan penguasaan terhadap teritorial geografis wilayah Negara lawan menjadi tidak penting lagi. Konsep perang kemudian bergeser menjadi perang bayangan, dalam arti tidak perlu penguasaan wilayah Negara lawan itu dalam arti harus menduduki, tetapi bagaimana mampu untuk menancapkan hegomoninya dan mengendalikan segala potensi sumber daya ekonomi dan politik Negara lawan tersebut. 

Perang ini akan jauh lebih efektif dan efisien; tidak terlihat seperti bayangan, murah, tanpa korban jiwa, langsung pada tujuan dan bahkan pihak Negara lawan tidak sadar dirinya sedang diserang dan dikuasai. Perang senyap “setan” ini hanya akan terasa dampaknya dengan terjeratnya dan ketidakberdayaan Negara atas kebijakan ekonomi dan sumberdaya ekonominya. Sepertihalnya bagaimana sektor perbankkan, industry pertanian, kilang minyak dan pertambangan di Indonesia yang sebagaian besar dikendalikan oleh perusahaan dari Negara-negara Eropa dan Amerika.

Perang Cyber

Tetapi ada yang lebih menghawatirkan dengan perkembangan itu, ialah semakin canggihnya teknologi yang semua berbasis teknologi informasi. Di era komputerisasi saat ini, tidak ada semua aktivitas bisnis ekonomi, perbankan, industry, pertahanan, pemerintahan dan segalanya yang terlepas dari jaringan computer, internet dan satelit. Tingginya ketergantungan pada teknologi jaringan ini telah menjadikan titik lemah dari kemampuan strategis suatu Negara di seluruh dunia. Dengan teknologi informasi maka semakin terbukanya batasan Negara, bahkan dapat disebut Negara-negara tanpa batas. Semua informasi dan bahkan kegiatan dapat diakses menembus batas-batas teritorial Negara. Pengendalian system dapat dengan mudah dikendalikan dari luar melalui jejaring yang koneksitasnya ada di hampir semua Negara.

Melihat bahwa konsep perang setan yaitu penguasaan terhadap Negara lawan dengan cara menancapkan hegomoninya bukan pada penguasaan fisiknya, maka dengan ketergantungan Negara dalam sisitem jaringan informasi, serangan yang mudah untuk melemahkan dan mengacaukan adalah dengan melalui system ini. Pemenangnya ialah siapa yang mampu menguasai teknologi informasi dan jaringannya. 

Seperti halnya piranti lunak, programer, system jaringan dan satelitnya. Negara-negara seperti Indonesia yang sebatas sebagai pengguna, bukan actor jaringan akan lemah dalam memproteksi pirantinya. Sebaliknya Negara yang telah menciptakan dan menguasai teknologi tinggi ini mampu mengakses dan mengendalikan system jaringan dari jarak yang cukup jauh. Bahkan Negara lain dapat melakukan serangan terhadap system jaringan informasi Negara lawan melalui sabotase jaringan, inveksi virus, pencurian data, spionase dan pembocoran dokumen rahasia. 

Beberapa kasus seperti pembajakan website resmi pemerintah, Kementerian Pertahanan, Penyadapan telephone pejabat Negara, jamming reserver ataupun serangan-serangan oleh Hacker dan Defacer situs-situs di Negara lain sudah cukup banyak terjadi. Kasus seperti Edward Snowden cukuplah menjadi pelajaran. Bahkan gerakan terorisme saat ini sudah melirik serangan melalui cyber sebagai salah satu alternative untuk menebarkan kekacauan dan rasa takut secara luas terhadap Negara lain. Dipastikan dengan utamanya peranan system jaringan cyiber dalam kepentingan public dan bernegara maka dengan cara memberikan gangguan/terror untuk melumpuhkan system maka akan dengan mudah mengacaukan sendi-sendi kehidupan suatu Negara. 

Berapa kerugian yang harus ditanggung oleh semisal sector ekonomi dan perbankan apabila jaringan cyber telah dilumpuhkan. Belum lagi adanya upaya pencurian data, penyadapan dengan meretas dokumen-dokumen rahasia Negara sehingga terbukanya Pertahanan dan Keamanan Negara. Jaringan cyber dapat digambarkan sebagai urat nadi, mampukah Negara memproteksi system jaringan cyber yang dimilikinya? Negara yang lemah dalam pertahanan cybernya tinggal menunggu waktu keruntuhannya. Perang cyber ini merupakan perang setan yang dilakukan untuk menghancurkan Negara lain dari jarak jauh dan tanpa terlihat seperti perang bayangan.

Perang cyber tidak hanya terbatas pada konteks sabotase system jaringan saja, tetapi lebih jauh bagaimana perang opini di media cyber/internet. Munculnya jejaring social dan wahana di internet seperti; facebook, twitter, YM, Frienster, website, blog ect. telah memudahkan seseorang untuk mengupload dan download ataupun menebarkan opininya secara luas melalui internet. Segala bentuk opini termasuk yang negative; provokatif dan penyesatan dapat dengan mudah dibuat untuk menciptakan kepanikan, pelemahan ideology dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 

Sebagai contoh saat ini teroris sering melakukan ancaman dan provokasi dengan mengunggah video di Youtobe dan juga teroris melakukan perekrutan dengan menggunakan jejaring social. Dapat dibuktikan bagaimana jejaring social dapat digunakan sebagai kudeta terhadap Negara semisal yang terjadi Mesir 2011. Bagaimana pemeberontakan yang terjadi di Mesir dimobilisasi melalui jejaring social dan kemudian pemberontakan/konflik menular ke negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu mudahnya jaringan social digunakan untuk menghancurkan suatu Negara melalui perang setan, perang bayangan yang tidak terlihat dan terduga. Pertanyaannya apakah Negara (Indonesia) sudah menyadari dan berkesiapan menghadapi perang setan seperti itu?

Menyadari apa yang telah terjadi dengan perkembangan global yang mengakibatkan perubahan dimensi perang dan perbatasan Negara maka perlu kiranya adanya perubahan doktrin perang yang selama ini dipelihara. 

Doktrin perang (pertahanan semesta) dalam arti pertahanan dengan melibatkan semua komponen inti dan cadangan  lebih dikonsepkan untuk menghadapi perang konvensional atau ancaman tradisional. Maka dengan perubahan dimensi tadi maka harusnya doktrin perang tidak hanya sebatas menghadapi perang konvensional saja tetapi juga secara semesta dapat menangkal serangan-serangan dalam perang setan tadi. 

Bagaimana memberdayakan kekuatan potensial dalam teknologi cyber, intelijen dan ekonomi untuk memperkuat keamanan dan ketahanan nasional dari bentuk serangan non tradisional. Negara yang memiliki kekuatan setan inilah yang nanti mampu bertahan dan menguasai sumber daya di muka bumi ini. 

Oleh karena itu rekomendasi yang diberikan :

1. Meningkatkan keahlian kemampuan aparat / masyarakat dalam penguasaan teknologi IT / cyber melalui dibentuk pendidikan dan pelatihan khusus kesiapan perang cyber.
2. Membentuk pasukan cyber yang terdiri dari ahli-ahli IT/cyber untuk memantau, mencegah dan menanggulangi ancaman ataupun serangan cyber.
3. Mengembangkan teknologi dan industri IT/cyber dalam negeri sehingga mampu untuk memproduksi piranti computer dan jaringan cyber termasuk kepemilikan satelit sendiri, termasuk mengembangkan sisitem keamanannya.
4. Adanya kebijakan penggunaan cyber yang terhubung dengan kebijakan Keamanan Nasional.
5. Penegakan hukum cyber ataupun untudang-undang IT yang telah dimiki.
6. Membudayakan masyarakat untuk sadar keamanan cyber.
7. Memantau dan mengendalikan jejaring social.
8. Melakukan penangkalan ataupun blokir terhadap situs-situs yang bersifat provokatif, penyesatan dan kekerasan.

(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc)

*

tujuan sabotage/kecurangan ini diperkirakan untuk menciptakan kegaduhan, rasa was2 dan keresahan di masyarakat yang bisa mengakibatkan produk2 buatan 🇮🇩Indonesia🇮🇩 tidak dipercaya.



*


Indo Asia Pasific Defense Forum

klik twitter 

klik instagram 

klik facebook 


*

Down Detector🙁

klik twitter 

klik facebook 

*

Secure Code Warrior Training👍

klik LinkedIn 

klik twitter 

klik instagram 

klik facebook 

klik YouTube 

*

Threat Reports

klik symantec 

klik kaspersky 

klik avira 

klik trendmicro 

klik netscout 


klik fire eye 


klik fortinet 

*

Cyber Attack Maps

klik kaspersky 


klik avira 



klik fire eye 



klik netscout 

klik fortiguard 

klik blueliv 



*


























*

Tidak ada komentar: