Dimensi Perang
Perang merupakan alat pemaksa politik Negara terhadap Negara lain. Globalisasi dan tehnologi telah merubah dimensi perang bukan hanya sekedar konvensional tetapi saat ini perang dalam bentuk yang jauh lebih kompleks. Perang yang dulu hanya berdasar pada kekuatan dan ketangguhan pengerahan pasukan dan alat perang, tetapi saat ini perang tidak lagi dalam perang fisik melainkan perang bayangan atau maya dengan medan pertempuran yang tidak terlihat dan tidak terbatas.
Perang berkembang dalam bentuk strategi baik dalam perang konvesional dengan kekuatan yang hampir berimbang saling berhadapan. Perang dengan kekuatan yang timpang antara pasukan lemah dengan pasukan yang jauh lebih besar dan kuat akan melahirkan taktik strategi yang lebih rumit yaitu apa yang disebut perang berlarut, perang kota, perang asimetris maupun perang gerilya. Macam perang tersebut masih terkait dengan kekuatan pasukan tempur dan adu persenjataan, dimana biasanya pasukan yang dilengkapi dengan persenjataan yang modern akan dapat menguasai jalannya pertempuran.
Medan tempur yang digunakan dalam perang fisik itu sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, dimana hutan, gunung, lembah, sungai dan laut menjadi nilai kritik yang dapat menentukan jalannya pertempuran. Kemenangan dalam arti bagaimana satu pihak dapat membunuh sebanyak-banyaknya, menghancurleburkan segala kekuatan dan persenjataan lawan. Bunuh-membunuh inilah yang menjadi konotasi dalam sejarah peperangan di muka bumi selama ini. Tercatat seperti perang dunia (PD) I dan PD II, perang Korea, perang Vietnam merupakan perang yang paling brutal. Konsep perang dalam rangka menakhlukkan Negara lain yaitu dengan menghancurkan segala obyek fisik strategis berupa benteng pertahanan, perkotaan, jembatan, jaringan listrik, jalur kereta api, kawasan industry dll. yang akhirnya dapat melemahkan pertahanan dan ketahanan Negara itu.
Tetapi saat ini dengan semakin sulitnya kemungkinan pertempuran secara konvensional akibat larangan invansi dan intervensi antar Negara, kemudian muncul perang-perang dalam bentuk dimensi lain. Seperti perang ekonomi, perang intelijen, perang urat syaraf yaitu perang-perang yang sudah tidak lagi secara konvensional, tetapi tetap merupakan strategi untuk menguasai ataupun melumpuhkan Negara lawan. Bila mengetahui aspek-aspek pilar ketahanan Negara mencakup; ideology, politik, ekonomi, social, budaya dan pertahanan keamanan (militer) maka untuk menghancurkan suatu Negara lawan tidak hanya dengan mengalahkan militernya saja, tetapi dapat saja menghancurkan pada pilar-pilar yang lain seperti ideology, politik, ekonomi, dan social.
Menghancurkan militer akan jauh lebih sulit dan sangat mahal dengan korban jiwa yang cukup banyak. Bagi Negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar dapat saja melakukan kekuatan pengaruhnya itu untuk menggilas kemampuan ekonomi yang juga berimplikasi terhadap runtuhnya ketahanan politik. Seperti dalam sejarah bagaimana kejatuhan pemerintahan Soekarno dan Soeharto di Indonesia. Bagaimana komuditi beras menjadi lebih efektif untuk menjatuhkan kekuasaan daripada kekuatan bersenjata. Perang-perang seperti ini akan terus digunakan dan dikembangkan. Bagaimana perang ideology menjadi pertarungan dalam perebutan pengaruh hegomuni semisal antara blok Barat dan Timur ataupun Negara-negara adikuasa dengan Negara dunia ke tiga. Bagaimana aksi-aksi spionase dan intelijen seperti bayang-bayang yang mampu menembus batas-batas geografis menyusup untuk mencari informasi kelemahan Negara lawan. Upaya intelijen untuk cipta kondisi merapuhkan ketahanan Negara lawan yang dapat mengakibatkan Negara runtuh dengan sendirinya akibat keropos dari dalam.
Perang akan selalu terjadi ketika kebutuhan akan Sumberdaya meningkat. Masing-masing Negara akan berupaya untuk dapat menguasai Sumberdaya Negara lain agar dirinya sendiri mampu menjaga kelangsungan hidup. Kebutuhan makan dan kesejahteraan rakyat menjadi suatu prioritas karena tujuan terbentuknya Negara ialah “Kesejahteraan”. Tanpa kecukupan maka Negara akan bubar dan terpecah menjadi Negara-negara baru yang mampu memberi harapan akan kesejahteraan. Semisal kehancuran Uni Soviet, dimana Negara yang begitu tangguh akhirnya runtuh dengan sendirinya, terpecah menjadi Negara-negara kecil bukan karena serangan militer, tetapi akibat keroposnya pilar ekonomi. Bahkan ideology yang kuat seperti komunisme yang dibanggakan tidak akan mampu membendung runtuhnya ekonomi. Membuktikan juga bahwa isu ideology saat ini tidak begitu utama lagi seperti pada era Perang Dingin. Negara China mampu bertahan dengan ideology Komunis dan bahkan menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia karena meskipun kental dengan ideology Komunis namun dalam praktek ekonominya menerapkan Liberal.
Globalisasi telah mengakibatkan pertarungan antar Negara menjadi keluar dari pakemnya. Kekuatan linier kesenjataan dan pasukan militer tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam pertarungan Negara. Saat ini kekuatan militer dipersiapkan lebih pada sarana untuk mendukung dan menyokong hubungan politik Negara.
Bahwa kesiapan berperang adalah jalan untuk mencapai perdamaian ?
Mungkin secara fisik benar. Tetapi Negara yang telah maju dengan kemampuan teknologi modern akan mengesampingkan itu semua. Dimana saat ini batasan wilayah Negara sudah hampir tidak dapat dibatasi secara geografis lagi. Pemaknaan luas wilayah Negara sudah bukan dilihat dari letak dan jumlah patok-patok di perbatasan, tetapi lebih pada sejauh mana pengaruh hegomoni suatu Negara terhadap Negara lain. China dalam hegomoni ekonominya telah mampu menguasai ekonomi wilayah-wilayah jauh di luar batas negaranya; Asia, Eropa, Amerika, Australia dan bahkan Timur Tengah.
Di Indonesia semisal bahwa ketergantungan dan dominasi produk ekonomi telah menjadi banyak tergantung dari produk China, Jepang, Vietnam. Bagaimana Negara-negara saat ini mengembangkan kemampuan geostrategisnya untuk mencapai geopolitik yang dapat digunakan untuk keuntungan dan penguasaan Negara lain. Membuat Negara lawan menjadi ketergantungan yang itu menandakan keberhasilan penguasaan dan kemenangan ekspansi secara ekonomi politik. Hegomoni ekonomi akan membuka peluang penguasaan politik.
Negara Indonesia seandainya mampu mengguanakan potensi geostrategis untuk mendukung geopoliknya maka harusnya dalam penguasaan wilayahnya tidak hanya sebatas batas geografis dari Sabang sampai Merauke saja, tetapi jauh lebih luas yaitu mencapai Australia, Filipina, Myanmar, Vietnam, Malaysia dan Singapura.
Dengan berubahnya konsep berfikir garis batas Negara dari garis-garis dan patok-patok geografis menjadi semacam “bayangan”menjadikan Negara-negara di dunia seolah menjadi satu dalam suatu organisasi bayangan. Penguasaan sebenarnya hanya ditentukan siapa yang mampu menancapkan hegomoninya terhadap Negara lain.
Perubahan tersebut juga akan mempengaruhi konsep perang, dimana selama ini perang diartikan sebagai penakhlukkan dan penguasaan terhadap teritorial geografis wilayah Negara lawan menjadi tidak penting lagi. Konsep perang kemudian bergeser menjadi perang bayangan, dalam arti tidak perlu penguasaan wilayah Negara lawan itu dalam arti harus menduduki, tetapi bagaimana mampu untuk menancapkan hegomoninya dan mengendalikan segala potensi sumber daya ekonomi dan politik Negara lawan tersebut.
Perang ini akan jauh lebih efektif dan efisien; tidak terlihat seperti bayangan, murah, tanpa korban jiwa, langsung pada tujuan dan bahkan pihak Negara lawan tidak sadar dirinya sedang diserang dan dikuasai. Perang senyap “setan” ini hanya akan terasa dampaknya dengan terjeratnya dan ketidakberdayaan Negara atas kebijakan ekonomi dan sumberdaya ekonominya. Sepertihalnya bagaimana sektor perbankkan, industry pertanian, kilang minyak dan pertambangan di Indonesia yang sebagaian besar dikendalikan oleh perusahaan dari Negara-negara Eropa dan Amerika.
Perang Cyber
Tetapi ada yang lebih menghawatirkan dengan perkembangan itu, ialah semakin canggihnya teknologi yang semua berbasis teknologi informasi. Di era komputerisasi saat ini, tidak ada semua aktivitas bisnis ekonomi, perbankan, industry, pertahanan, pemerintahan dan segalanya yang terlepas dari jaringan computer, internet dan satelit. Tingginya ketergantungan pada teknologi jaringan ini telah menjadikan titik lemah dari kemampuan strategis suatu Negara di seluruh dunia. Dengan teknologi informasi maka semakin terbukanya batasan Negara, bahkan dapat disebut Negara-negara tanpa batas. Semua informasi dan bahkan kegiatan dapat diakses menembus batas-batas teritorial Negara. Pengendalian system dapat dengan mudah dikendalikan dari luar melalui jejaring yang koneksitasnya ada di hampir semua Negara.
Melihat bahwa konsep perang setan yaitu penguasaan terhadap Negara lawan dengan cara menancapkan hegomoninya bukan pada penguasaan fisiknya, maka dengan ketergantungan Negara dalam sisitem jaringan informasi, serangan yang mudah untuk melemahkan dan mengacaukan adalah dengan melalui system ini. Pemenangnya ialah siapa yang mampu menguasai teknologi informasi dan jaringannya.
Seperti halnya piranti lunak, programer, system jaringan dan satelitnya. Negara-negara seperti Indonesia yang sebatas sebagai pengguna, bukan actor jaringan akan lemah dalam memproteksi pirantinya. Sebaliknya Negara yang telah menciptakan dan menguasai teknologi tinggi ini mampu mengakses dan mengendalikan system jaringan dari jarak yang cukup jauh. Bahkan Negara lain dapat melakukan serangan terhadap system jaringan informasi Negara lawan melalui sabotase jaringan, inveksi virus, pencurian data, spionase dan pembocoran dokumen rahasia.
Beberapa kasus seperti pembajakan website resmi pemerintah, Kementerian Pertahanan, Penyadapan telephone pejabat Negara, jamming reserver ataupun serangan-serangan oleh Hacker dan Defacer situs-situs di Negara lain sudah cukup banyak terjadi. Kasus seperti Edward Snowden cukuplah menjadi pelajaran. Bahkan gerakan terorisme saat ini sudah melirik serangan melalui cyber sebagai salah satu alternative untuk menebarkan kekacauan dan rasa takut secara luas terhadap Negara lain. Dipastikan dengan utamanya peranan system jaringan cyiber dalam kepentingan public dan bernegara maka dengan cara memberikan gangguan/terror untuk melumpuhkan system maka akan dengan mudah mengacaukan sendi-sendi kehidupan suatu Negara.
Berapa kerugian yang harus ditanggung oleh semisal sector ekonomi dan perbankan apabila jaringan cyber telah dilumpuhkan. Belum lagi adanya upaya pencurian data, penyadapan dengan meretas dokumen-dokumen rahasia Negara sehingga terbukanya Pertahanan dan Keamanan Negara. Jaringan cyber dapat digambarkan sebagai urat nadi, mampukah Negara memproteksi system jaringan cyber yang dimilikinya? Negara yang lemah dalam pertahanan cybernya tinggal menunggu waktu keruntuhannya. Perang cyber ini merupakan perang setan yang dilakukan untuk menghancurkan Negara lain dari jarak jauh dan tanpa terlihat seperti perang bayangan.
Perang cyber tidak hanya terbatas pada konteks sabotase system jaringan saja, tetapi lebih jauh bagaimana perang opini di media cyber/internet. Munculnya jejaring social dan wahana di internet seperti; facebook, twitter, YM, Frienster, website, blog ect. telah memudahkan seseorang untuk mengupload dan download ataupun menebarkan opininya secara luas melalui internet. Segala bentuk opini termasuk yang negative; provokatif dan penyesatan dapat dengan mudah dibuat untuk menciptakan kepanikan, pelemahan ideology dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sebagai contoh saat ini teroris sering melakukan ancaman dan provokasi dengan mengunggah video di Youtobe dan juga teroris melakukan perekrutan dengan menggunakan jejaring social. Dapat dibuktikan bagaimana jejaring social dapat digunakan sebagai kudeta terhadap Negara semisal yang terjadi Mesir 2011. Bagaimana pemeberontakan yang terjadi di Mesir dimobilisasi melalui jejaring social dan kemudian pemberontakan/konflik menular ke negara-negara Timur Tengah lainnya. Begitu mudahnya jaringan social digunakan untuk menghancurkan suatu Negara melalui perang setan, perang bayangan yang tidak terlihat dan terduga. Pertanyaannya apakah Negara (Indonesia) sudah menyadari dan berkesiapan menghadapi perang setan seperti itu?
Menyadari apa yang telah terjadi dengan perkembangan global yang mengakibatkan perubahan dimensi perang dan perbatasan Negara maka perlu kiranya adanya perubahan doktrin perang yang selama ini dipelihara.
Doktrin perang (pertahanan semesta) dalam arti pertahanan dengan melibatkan semua komponen inti dan cadangan lebih dikonsepkan untuk menghadapi perang konvensional atau ancaman tradisional. Maka dengan perubahan dimensi tadi maka harusnya doktrin perang tidak hanya sebatas menghadapi perang konvensional saja tetapi juga secara semesta dapat menangkal serangan-serangan dalam perang setan tadi.
Bagaimana memberdayakan kekuatan potensial dalam teknologi cyber, intelijen dan ekonomi untuk memperkuat keamanan dan ketahanan nasional dari bentuk serangan non tradisional. Negara yang memiliki kekuatan setan inilah yang nanti mampu bertahan dan menguasai sumber daya di muka bumi ini.
Oleh karena itu rekomendasi yang diberikan :
1. Meningkatkan keahlian kemampuan aparat / masyarakat dalam penguasaan teknologi IT / cyber melalui dibentuk pendidikan dan pelatihan khusus kesiapan perang cyber.
2. Membentuk pasukan cyber yang terdiri dari ahli-ahli IT/cyber untuk memantau, mencegah dan menanggulangi ancaman ataupun serangan cyber.
3. Mengembangkan teknologi dan industri IT/cyber dalam negeri sehingga mampu untuk memproduksi piranti computer dan jaringan cyber termasuk kepemilikan satelit sendiri, termasuk mengembangkan sisitem keamanannya.
4. Adanya kebijakan penggunaan cyber yang terhubung dengan kebijakan Keamanan Nasional.
5. Penegakan hukum cyber ataupun untudang-undang IT yang telah dimiki.
6. Membudayakan masyarakat untuk sadar keamanan cyber.
7. Memantau dan mengendalikan jejaring social.
8. Melakukan penangkalan ataupun blokir terhadap situs-situs yang bersifat provokatif, penyesatan dan kekerasan.
(Fajar Purwawidada, MH., M.Sc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar