oleh Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.
Sejarah Kelompok Khawarij (1): Definisi dan Julukan-julukan Mereka
Ahad 3 Februari 2019 19:45 WIB
Khawarij adalah salah satu sekte yang memberi banyak pengaruh terhadap gerakan ekstremisme dalam tubuh Islam. Keberadaan mereka sempat mengubah potret ajaran Islam yang rahmatan lil alamin menjadi wajah yang intoleran dan penuh kebencian terhadap sesama Muslim. Tulisan ini secara berseri akan mengupas secara mendalam sejarah kaum Khawarij mulai dari embrionya di masa Rasulullah, gerakan politik beserta tokohnya, aksi-aksi terorismenya dan paham keagamaannya.
Pengetahuan tentang sejarah kaum Khawarij adalah hal penting untuk membaca beberapa kasus di masa modern yang mempunyai kemiripan dengan pola-pola gerakan Khawarij di masa lalu. Dengan demikian, pembaca akan mendapatkan gambaran utuh tentang apa dan bagaimana nalar ekstremisme berkembang di tubuh minoritas umat Islam.
Para sejarawan berbeda pendapat tentang siapa sebenarnya yang layak disebut sebagai Khawarij. Terjadi perpecahan di internal kaum Muslimin pasca-pembunuhan Khalifah Utsman di mana secara umum umat terbagi menjadi dua, yaitu kubu Ali Bin Abi Thalib, sang khalifah keempat pengganti Utsman dan kubu oposisi yang terdiri dari kelompok Ummul Mukminin Aisyah dan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Kelompok Ummul Mukminin Aisyah sempat bentrok dengan pemerintahan Khalifah Ali dalam perang Jamal yang berakhir dengan kemenangan pihak Ali. Selanjutnya kubu Mu’awiyah menjadi penantang berikutnya di perang saudara yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Pada akhir perang ini kemudian terjadilah arbitrase (tahkim) antara kedua kubu yang bertikai. Hasil akhir arbitrase ini memenangkan pihak Mu’awiyah sehingga diangkatlah Mu’awiyah sebagai khalifah selanjutnya (As-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, halaman 15). Ali bin Abi Thalib sendiri tampak enggan mempertahankan statusnya lagi sebagai khalifah pasca-arbitrase ini. Hal inilah yang membuat banyak orang dari kubu Ali bin Abi Thalib kecewa sehingga memisahkan diri dari kelompok Ali dan mulai memeranginya.
Sebagian besar pengaji sejarah Islam mendefinisikan Khawarij sebagai kelompok yang keluar dari barisan pendukung khalifah Ali Bin Abi Thalib setelah terjadinya arbitrase (tahkim) tersebut (Ali as-Shallabi, Fikr al-Khawâraij was-Syî’ah Fî Mîzân Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, halaman 16; Abdul Hamid Ali Nasir, Khilâfah Ali bin Abî Thâlib, halaman 297). Kelompok Khawarij tak segan menganggap Mu’awiyah sebagai orang kafir dengan alasan telah menentang Khalifah yang sah, tetapi juga mengafirkan Ali dengan alasan mau menerima hasil arbitrase. Dengan demikian, semua golongan yang ada dianggap kafir kecuali diri mereka sendiri.
Definisi mayoritas sejarawan seperti di atas adalah definisi Khawarij secara sempit. Dengan definisi tersebut, Khawarij bisa dibilang sudah musnah dan tak ada di masa berikutnya selepas matinya seluruh pihak penentang Ali tersebut. Sebagian ahli lainnya mendefinisikan Khawarij secara lebih luas hingga mencakup siapa pun yang keluar dari kubu penguasa yang sah, misalnya as-Syahrastani yang mendefinisikan Khawarij sebagai berikut:
كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يسمى خارجياً، سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين لهم بإحسان والأئمة في كل زمان
"Setiap orang yang keluar menentang pemimpin yang sah yang telah diputuskan oleh masyarakat disebut sebagai Khawarij, baik penentangan itu terjadi di masa sahabat terhadap para Khulafaur Rasyidin atau terjadi setelah mereka terhadap para tabiin yang baik dan para pemimpin di setiap zaman". (as-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, juz I, halaman 114).
Dengan definisi seperti ini, maka Khawarij bisa dikatakan tetap ada hingga saat ini. Seluruh kelompok pemberontak dan separatis di suatu negara masuk dalam kategori Khawarij sebab mereka menentang pemimpin yang sah. Dalam kedua definisi di atas, tampak bahwa sebenarnya khawarij adalah sebuah gerakan politik bukan gerakan agama sebab sorotan utamanya adalah masalah kepemimpinan politik, namun kemudian gerakan ini memakai isu-isu agama sebagai propaganda utama untuk melawan pemerintah. Dari penentangannya terhadap pemerintah inilah mereka mendapat nama Khawarij yang secara harfiah berarti “orang-orang yang keluar”. Ibnul Jauzi mencatat bahwa para Khawarij tak henti-hentinya selalu keluar untuk menentang pemerintah (Ibnul Jauzi, Talbîs Iblîs, halaman 86).
Dalam perkembangannya, Khawarij dikenal dengan berbagai nama atau julukan yang berbeda. Di antaranya adalah: al-Haruriyah—mereka disebut demikian sebab markas mereka yang pertama berada di daerah Harura’. Di Harura’ inilah generasi pertama dari Khawarij tinggal dan menyusun kekuatannya. Mereka juga dikenal dengan nama as-Syurâh yang secara harfiyah berarti “para pembeli” sebab di antara jargon mereka adalah “kami membeli surga dengan diri kami”. Selain itu juga ada julukan al-Muhakkimah sebab mereka mempunyai slogan “tak ada hukum kecuali milik Allah”. Selain julukan yang netral dan bahkan sepintas terkesan positif ini, mereka juga dikenal dengan julukan al-Mariqah yang berarti kelompok yang menjauh dari agama sebab keberadaan mereka selalu diidentikkan dengan orang-orang yang oleh Nabi Muhammad disebut menjauh dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya (Abul Hasan al-Asy’ari, Maqâlat al-Islâmiyyîn, halaman 127-128).
Seluruh julukan itu mereka terima kecuali julukan terakhir sebab meskipun seluruh Muslim lain menganggap mereka menyimpang dari agama, tetapi menurut mereka sendiri justru sebaliknya orang-orang lainlah yang telah menyimpang dan keluar dari agama.
Sejarah Kelompok Khawarij (2): Embrionya di Masa Rasulullah
Selasa 5 Februari 2019 15:0 WIB
Meskipun Khawarij adalah kelompok ekstremis yang ada di masa Sahabat, namun embrionya dapat kita lacak keberadaannya sejak masa Rasulullah ﷺ. Cikal bakal watak Khawarij ini tergambar dalam sosok Dzul Khuwaishirah, seorang Muslim pedesaan yang merasa dirinya lebih baik daripada Rasulullah Muhammad ﷺ sehingga tak ragu memberikan koreksi pada beliau. Nama Dzul Khuwaishirah populer di kalangan kaum Muslimin tatkala terjadi pembagian hasil rampasan perang Hunain. Dalam Shahih Bukhari diceritakan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ ذَاتَ يَوْمٍ قِسْمًا، فَقَالَ ذُو الخُوَيْصِرَةِ، رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ، قَالَ: «وَيْلَكَ، مَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ» فَقَالَ عُمَرُ: ائْذَنْ لِي فَلْأَضْرِبْ عُنُقَهُ، قَالَ: «لاَ، إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا، يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu, dia berkata; "Ketika kami sedang bersama Rasulullah ﷺ yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta rampasan), datanglah Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; "Wahai Rasulullah, engkau harus berlaku adil". Maka beliau berkata: "Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil". Kemudian 'Umar berkata; "Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: "Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur'an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).” (HR. Bukhari)
Latar belakang kritik pedas Dzul Khuwaishirah itu terhadap Rasulullah ﷺ menurut Ibnul Jauzi dikarenakan saat pembagian hasil rampasan perang Hunain, Rasulullah memang mengutamakan sebagian kelompok yang tak lain adalah para mu’allaf (non-Muslim yang diharapkan masuk Islam). Hal inilah yang kemudian membuat seorang Dzul Khuwaishirah berkata: “Demi Allah, ini adalah pembagian yang Rasul tidak ada melakukannya”. Lalu ia mendatangi Rasulullah seperti yang diceritakan dalam riwayat Bukhari di atas. (Ibnu al-Jauzi, Kasyf al-Musykil Min Hadits as-Shahîhain, juz I, halaman 306).
Tentu saja pendapat Rasulullah untuk mengutamakan para mu’allaf itu sama sekali tidaklah salah sebab misi utama Rasul memang untuk membujuk manusia sebanyak-banyaknya agar masuk Islam. Karena itulah para mu’allaf juga dapat bagian dari harta zakat kaum Muslimin. Seluruh sahabat saat itu sama sekali tak merasa Rasul melakukan ketidakadilan, namun berbeda halnya dengan Dzul Khuwaishirah yang memang merasa pendapatnya lebih baik dari pendapat Rasulullah ﷺ hingga berani menuduh beliau tidak adil. Tuduhan ini tentu sebuah hal serius pada seorang Rasul sehingga Umar meminta izin untuk memberi hukuman mati pada orang tersebut, namun dilarang oleh Rasulullah. Ibnul Jauzi dalam kitab Talbîs Iblîs mengomentari sosok Dzul Khuwaishirah sebagai berikut:
أول الخوارج وأقبحهم حالة ذو الخويصرة هَذَا الرَّجُل يقال لَهُ ذو الخويصرة التميمي وفي لفظ أنه قَالَ لَهُ اعدل فَقَالَ ويلك ومن يعدل إذا لم أعدل فهذا أول خارجي خرج فِي الإسلام وآفته أنه رضي برأي نفسه ولو وقف لعلم أنه لا رأي فوق رأي رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وأتباع هَذَا الرَّجُل هم الذين قاتلوا عَلِيّ بْن أبي طالب كرم اللَّه وجهه
“Khawarij pertama dan yang paling buruk tindakannya adalah orang ini yang disebut Dzul Khuwaishirah at-Tamimi. Dalam suatu riwayat Dia berkata kepada nabi: "Adillah!" lalu Nabi bersabda: "Celakalah kamu, Siapakah yang bisa adil kalau aku saja tidak adil?". Inilah khawarij pertama yang muncul dalam Islam. Masalah utamanya adalah dia puas terhadap pendapatnya sendiri yang andai ia diam berpikir tentu ia mengerti bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah ﷺ. Pengikut orang ini adalah orang-orang yang memerangi Ali Bin Abi Thalib.” (Ibnul Jauzi, Talbîs Iblîs, halaman 81-82).
Dalam hadits tersebut juga disebutkan tentang terawangan Rasulullah yang menyatakan bahwa Dzul Khuwaishirah kelak akan mempunyai kawan-kawan yang ahli ibadah sehingga shalat dan puasa mereka jauh melampaui shalat dan puasa sahabat-sahabat besar saat itu. Penerawangan Rasul tersebut terbukti benar tatkala sejarah mencatat bahwa Dzul Khuwaishirah bergabung dengan para Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali dan akhirnya terbunuh di dalam perang Nahrawan.
Ibadah keras mereka ternyata sama sekali tak bermanfaat ketika pola pikir yang mereka miliki bermasalah sehingga Rasulullah menggambarkan sosok Khawarij itu sebagai sosok yang membaca Al-Qur’an namun pesan-pesan al-Qur’an sama sekali tak bisa masuk. Betapa banyak ayat dan hadits yang menjelaskan kehormatan dan kemuliaan kaum Muslimin tetapi dengan mudahnya mereka memerangi mereka hanya karena berbeda pendapat. Mereka merasa perbedaan pendapat merupakan suatu kemungkaran sehingga harus diperingatkan dengan amar makruf nahi munkar, termasuk pada Rasulullah dan para Khalifah Rasyidah sekalipun yang notabene jauh lebih paham agama daripada mereka. Mereka justru melesat menjauhi ajaran Islam seperti anak panah melesat menjauhi busurnya, meskipun mereka sendiri ahli ibadah yang sulit dicari tandingannya. Dari sinilah kemudian julukan al-Mâriqah (kelompok yang melesat menjauh) juga disematkan kepada pihak Khawarij.
Sejarah Kelompok Khawarij (3): Kudeta terhadap Sayyidina Utsman
Ahad 24 Maret 2019 21:15 WIB
Setelah munculnya sosok Dzul Khuwaishirah pada masa Rasulullah ﷺ yang telah dibahas pada artikel sebelumnya, aksi Khawarij tercatat muncul kembali di masa Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu. Bila sebelumnya hanya ada “gugatan pribadi” pada Rasulullah, di era ini mereka mulai membentuk kekuatan politik yang nyata.
Kebiasaan mereka untuk melawan pemerintah yang sedang berkuasa dimulai sejak era Utsman ini. Kudeta yang mereka lakukan itu kemudian dibungkus sedemikian rupa atas nama amar ma’ruf nahi munkar untuk memancing emosi massa sehingga memperlancar kudeta yang mereka lancarkan.
Pembunuhan Utsman tercatat sebagai perbuatan yang amat sadis di mana Khalifah ketiga yang dua kali dipilih menjadi menantu oleh Rasulullah ﷺ itu dibunuh dengan kejam. Jenazah tokoh mulia itu pun dibiarkan tanpa dikubur. Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa jenazah Utsman tak dikuburkan hingga tiga hari dan sebagian lagi mengatakan selama dua hari (Ibnu Jarir, Târîkh at-Thabari, IV: 412-413). Namun riwayat itu ditentang oleh sebagian ulama karena secara tidak langsung mengindikasikan adanya pembiaran dari para Sahabat atas jenazah Utsman. Ibnu Hazm mengatakan:
وأما قول من قال أنه رضي الله عنه أقام مطروحاً على مزبلة ثلاثة أيام فكذب بحت، وإفك موضوع، وتوليد من لا حياء في وجهه؛ بل قتل عشية ودفن من ليلته رضي الله عنه، شهد دفنه طائفة من الصحابة وهم جبير بن مطعم وأبو الجهم بن حيفة وعبد الله بن الزبير ومكرم بن نيار وجماعة غيرهم. هذا ما لا يتمارى فيه أحد ممن له علم بالأخبار
“Adapun perkataan orang yang mengatakan bahwa Utsman dibiarkan terbuang di tempat sampah selama tiga hari adalah kebohongan murni, hoaks yang dibuat-buat dan pekerjaan orang yang tak punya malu. Yang benar ia dibunuh sore hari lalu dimakamkan di malam harinya, semoga Allah meridhoinya. Pemakamannya disaksikan oleh sebagian sahabat, yaitu Jubair bin Math’am, Abu al-Jahm bin Hifah, Abdullah bin Zubair, Mukrim bin Niyar dan lainnya. Ini adalah hal yang tak diperdebatkan oleh seorang pun yang mengerti sejarah.” (Ibnu Hazm, al-Fashl Fi-al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV, 123).
Pemakaman tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi di malam hari. Pada awalnya mereka hendak memakamkan beliau di Baqi’, sebuah area pemakaman kaum Muslimin, namun diketahui oleh sebagian Khawarij lalu dilarang, bahkan jenazahnya dilempari batu. Akhirnya jenazah mulia itu dimakamkan di Hasy Kaukab, sebuah kebun milik Utsman yang dibeli dari seorang Anshar bernama Kaukab. Lokasi kebun itu bersebelahan dengan area Baqi’ dan dikemudian hari menjadi satu dengan Baqi’. (Ibnu Jarir, Târîkh at-Thabari, IV, 413-415). Penolakan para Khawarij itu pada penguburan Utsman di area Baqi’ tak lain karena dalam nalar teroris mereka Khalifah Utsman sudah tak layak dimakamkan di pemakaman kaum Muslimin. Para sahabat pun terpaksa menyembunyikan lokasi makam tokoh mulia ini agar tak dirusak oleh mereka.
Ibnu Katsir menceritakan bahwa siasat keji Khawarij tersebut dilakukan secara terencana sebagai berikut:
أَنَّ هَؤُلَاءِ الْخَوَارِجَ لَمَّا اغْتَنَمُوا غَيْبَةَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فِي أَيَّامِ الْحَجِّ، وَلَمْ تَقْدِمِ الْجُيُوشُ مِنَ الْآفَاقِ لِلنُّصْرَةِ، بَلْ لَمَّا اقْتَرَبَ مَجِيئُهُمْ، انْتَهَزُوا فُرْصَتَهُمْ، قَبَّحَهُمُ اللَّهُ، وَصَنَعُوا مَا صَنَعُوا مِنَ الْأَمْرِ الْعَظِيمِ ... أَنَّ هَؤُلَاءِ الْخَوَارِجُ كَانُوا قَرِيبًا مِنْ أَلْفَيْ مُقَاتِلٍ مِنَ الْأَبْطَالِ، وَرُبَّمَا لَمْ يَكُنْ فِي أَهْلِ الْمَدِينَةِ هَذِهِ الْعِدَّةُ مِنَ الْمُقَاتِلَةِ، لِأَنَّ النَّاسَ كَانُوا فِي الثُّغُورِ وَفِي الْأَقَالِيمِ فِي كُلِّ جِهَةٍ، ومع هذا كان كثير من الصحابة اعْتَزَلَ هَذِهِ الْفِتْنَةَ وَلَزِمُوا بُيُوتَهُمْ
“Para Khawarij itu ketika mendapat kesempatan dengan perginya banyak penduduk Madinah di hari-hari Haji dan para prajurit Muslim belum datang dari berbagai penjuru untuk memberikan pertolongan. Maka tatkala para prajurit itu hampir sampai ke Madinah, mereka menggunakan kesempatan itu dan melakukan sesuatu yang amat berat, semoga Allah memberikan keburukan pada mereka... Mereka berjumlah sekitar 2000 prajurit sedangkan di Madinah sendiri tak terdapat prajurit sebanyak ini sebab mereka sedang berada di pos-pos jaga dan di berbagai penjuru, ditambah para sahabat sendiri banyak yang menjauhi konflik ini dan berdiam di dalam rumah mereka”. (Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, VII, 197).
Konspirasi Khawarij itu juga dicatat oleh Syekh al-Ajurri sebagai berikut:
لم يختلف العلماء قديماً وحديثاً أن الخوارج قوم سوء، عصاة لله –عز وجل- ولرسوله -صلى الله عليه وسلّم-، وإن صلّوا وصاموا، واجتهدوا في العبادة، فليس ذلك بنافع لهم، وإن أظهروا الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وليس ذلك بنافع لهم؛ لأنهم قوم يتأولون القرآن على ما يهوون، ويموّهون على المسلمين . ..ثُمَّ إِنَّهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ خَرَجُوا مِنْ بُلْدَانٍ شَتَّى، وَاجْتَمَعُوا وَأَظْهَرُوا الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنِ الْمُنْكَرِ، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَتَلُوا عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَقَدِ اجْتَهَدَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ كَانَ بِالْمَدِينَةِ فِي أَنْ لَا يُقْتَلَ عُثْمَانُ، فَمَا أَطَاقُوا عَلَى ذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
“Para ulama klasik dan kontemporer tak berbeda pendapat bahwa Khawarij adalah kaum yang buruk yang bermaksiat kepada Allah. Meskipun mereka menampakkan amar ma’ruf nahi munkar tetaplah tak berguna sebab mereka mengartikan al-Qur’an sesuai selera mereka dan memburukkan citra kaum Muslimin. ... Kemudian setelah itu, para Khawarij keluar dari berbagai negeri dan berkumpul menampakkan amar ma’ruf nahi munkar hingga mereka tiba di Madinah kemudian membunuh Utsman bin Affan ra. Para sahabat Rasulullah ﷺ yang ada di Madinah berusaha agar Utsman tak dibunuh, tapi mereka tak berhasil”. (al-Ajurri, asy-Syarî’ah, I: 327).
Yang menarik dari penjelasan al-Ajurri ini adalah klaim Khawarij bahwa tindakan mereka adalah amar ma’ruf nahi munkar. Mereka menampakkan diri seolah mereka sedang berjuang untuk kebenaran dengan cara mengudeta Utsman yang mereka anggap sebagai pemimpin yang zalim. Namun demikian, sejarah justru mencatat tindakan mereka dengan serba buruk sebab tindakan berlebihan seperti itu tak dibenarkan oleh agama.
Khalifah Utsman bin Affan sewaktu dalam kepungan memberikan sebuah firasat bahwa kalau dirinya dibunuh, maka kaum Muslimin akan terpecah belah selamanya. Dari Hasan, diceritakan bahwa Utsman berkata:
لئن قتلوني لا يقاتلون عدوا جميعا أبدا، ولا يقتسمون فيئا جميعا أبدا، ولا يصلون جميعا أبدا
“Apabila mereka membunuhku, maka mereka tak akan memerangi musuh bersama lagi selamanya dan tak akan membagi harta rampasan perang bersama lagi selamanya dan tak akan shalat bersama lagi selamanya.” (adz-Dzahabi, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, II, 479).
Firasat Utsman tersebut benar, peristiwa pembunuhannya menjadi pemantik terpecah belahnya kaum Muslimin menjadi banyak golongan dan mereka tak pernah satu barisan lagi hingga sekarang. Itu semua diawali oleh tindakan bodoh para Khawarij yang mereka anggap sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sebab itulah, nalar Khawarij seperti itu harus selalu diwaspadai supaya kaum Muslimin tak semakin terkotak-kotak lagi.
Sejarah Kelompok Khawarij (4): Pemberontakan terhadap Sayyidina Ali
Selasa 7 Mei 2019 0:0 WIB
Pasca terbunuhnya Khalifah Utsman di rumahnya sendiri akibat ulah Khawarij, sebagaimana diceritakan dalam artikel sebelumnya, kaum Muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Secara umum, Ali dianggap sebagai al-khulafâ’ ar-râsyidîn terakhir yang secara de jure merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi seluruh umat Islam.
Namun demikian, secara de facto, kekuasaan Ali tak pernah mencakup wilayah Syam, daerah yang sudah lama dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Muhammad Khaldun, Ta’addudal-Khulafâ’ wa Wahdatal-Ummah Fiqhanwa Târîkhanwa Mustaqbalan, 74). Hal ini disebabkan oleh tindakan Mu’awiyah yang menuntut Khalifah Ali agar menghukum para Khawarij yang terlibat dalam pembunuhan Utsman.
Gagalnya kubu Khalifah Ali dengan kubu Mu’awiyah untuk mencapai kesepakatan akhirnya menimbulkan perang saudara yang dikenal sebagai perang Shiffin. Perang besar antar sesama kaum muslimin ini bisa dibilang imbang sehingga hanya menyebabkan korban besar berjatuhan dari kedua kubu. Akhirnya atas inisiatif Amr bin Ash, pasukan dari Syam yang berada di kubu Mu’awiyah mengangkat mushaf di ujung tombaknya dan berkata:
هَذَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ قَدْ فَنِيَ النَّاسُ فَمَنْ لِلثِّغُورِ؟ وَمَنْ لِجِهَادِ الْمُشْرِكِينَ وَالْكُفَّارِ
“Inilah yang terjadi di antara kita; Orang-orang telah terbunuh. Maka siapa yang menjaga pos pertahanan? Siapa yang akan berjihad melawan kaum musyrik dan orang kafir?” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, VII, 272)
Gayung pun bersambut, pasukan dari Iraq di kubu Ali mengiyakan ajakan arbitrase tersebut meskipun Khalifah Ali tegas menolak gagasan tersebut. Bagi Khalifah Ali, seruan arbitrase tak lebih dari siasat perang dari kubu Mu’awiyah dan Amr. Baginya, justru perang itu sendiri dilakukan untuk menegakkan hukum Allah yang dilanggar oleh Mu’awiyah dan sekutunya dengan pemberontakan mereka. Namun, sebagaimana diceritakan Ibnu Katsir, para penghafal Al-Qur’an (qurrâ’) melawan khalifah Ali dan bahkan mengancamnya sebagai berikut:
فَقَالَ لَهُ مسعر بن فدكي التميمي وزيد بن حصين الطائي ثم السبائى فِي عِصَابَةٍ مَعَهُمَا مِنَ الْقُرَّاءِ الَّذِينَ صَارُوا بَعْدَ ذَلِكَ خَوَارِجَ، يَا عَلِيُّ أَجِبْ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ إِذْ دُعِيتَ إِلَيْهِ وَإِلَّا دَفَعْنَاكَ بَرُمَّتِكَ إِلَى الْقَوْمِ أَوْ نَفْعَلُ بِكَ مَا فعلنا بابن عفان، إنه غلبنا أن يعمل بكتاب الله فقتلناه، وَاللَّهِ لَتَفْعَلَنَّهَا أَوْ لَنَفْعَلَنَّهَا بِكَ
“Mus’in bin Fadakiat-Tamimi dan Zaid bin Hushainat-Tha’i as-Siba’i dan kelompoknya masing-masing, dari kalangan para penghafal Al-Qur’an yang dikemudian hari menjadi Khawarij, berkata: “Hai Ali Terimalah kita berlima Ketika engkau diajak kepadanya. Kalau tidak, kami akan menyerahkanmu seutuhnya kepada musuh atau kami akan melakukan kepadamu apa yang telah kami lakukan kepada Utsman bin Affan. Dahulu Utsman menolak kami untuk beramal dengan kitabullah sehingga kami membunuhnya. Demi Allah kami akan menyerahkanmu atau membunuhmu.” (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, VII, 273)
Selang beberapa lama, ketika Khalifah Ali hendak mengutus Abu Musa al-Asy’ari atas desakan mereka, ada dua orang Khawarij bernama Zur'ah bin al-Barajat-Tha'i dan Hurqush bin Zuhair as-Sa'di mendatanginya yang berusaha membatalkan arbitrase. Terjadilah dialog sebagaimana diceritakan oleh at-Thabari berikut:
Keduanya berkata pada Ali: "Tidak ada hukum kecuali milik Allah.”
"Tidak ada hukum kecuali milik Allah," kata Ali.
"Bertobatlah engkau dari kesalahanmu dan cabut kembali keputusanmu dan keluarlah bersama kami kepada musuh kita untuk kita perangi sampai kita bertemu dengan Tuhan," kata Hurqush.
Ali menjawab: "Aku sudah berkehendak seperti itu tetapi kalian membangkang terhadapku dan sekarang kita telah mengadakan perjanjian antara kita dengan mereka, telah mensyaratkan beberapa syarat dan kita pun telah berjanji beberapa hal. Allah telah berfirman: "Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamuperbuat."
Hurqush berkata: "Itulah dosa yang mesti engkau tobati."
Ali menjawab: "Itu bukan dosa melainkan ketidakmampuan berpikir dan kelemahan dalam bertindak. Aku sudah membahas itu dan melarangnya sebelumnya".
Kemudian Zur'ah bin al-Barajberkata: "Demi Allah, wahai Ali! Apabila engkau tak meninggalkan mengangkat hakim atas kitabullah, maka aku akan memerangimu. Dengan hal itu aku akan mencari keridhaan Allah." (at-Thabari, Tarikh at-Thabari, V, 72)
Namun Khalifah Ali tetap melanjutkan arbitrase sebab telah ada perjanjian yang disetujui kedua belah pihak. Kemudian terjadilah arbitrase yang ternyata menghasilkan keputusan untuk mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah berikutnya. (As-Suyuthi, Târîkhal-Khulafâ’, 15). Melihat kenyataan itu, kaum Khawarij lagi-lagi tak menepati komitmen mereka. Mereka menolak hasil arbitrase dan memerangi semua pihak yang kemudian menerima hasil tersebut yang sejatinya adalah desakan mereka sendiri. Imam Abu Musa al-Asy’ari menceritakan perkataan mereka kepada Sayyidina Ali sebagai berikut:
وقالوا: قال الله تعالى: فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله ولم يقل حاكموهم وهم البغاة فإن عدت إلى قتالهم وأقررت على نفسك بالكفر إذ أجبتهم إلى التحكيم وإلا نابذناك وقاتلناك
“Mereka berkata: “Allah berfirman ‘hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah’, bukan berfirman maka angkatlah hakam, padahal mereka adalah pemberontak. Kamu harus kembali memerangi mereka dan mengaku telah kafir ketika kamu menyetujui arbitrase. Bila tidak, maka kami akan menurunkanmu dan memerangimu.” (Abu Musa al-Asy’ari, Maqâlâtal-Asy’âriyyîn, 4)
Puncak aksi Khawarij itu adalah majunya seorang Khawarij bernama Abdullah bin Muljam untuk membunuh Sayyidina Ali. Ia menyerang Ali yang hendak shalat subuh dan berhasil melukai dahi beliau hingga parah dan akhirnya meninggal. Ketika dieksekusi, Ibnu Muljam sama sekali tak mengeluh sakit ketika kedua tangan dan kakinya dimutilasi dan matanya ditusuk. Ia malah membaca Surat al-‘Alaq hingga khatam. Kemudian tatkala lidahnya hendak dipotong, barulah ia mengeluh lantaran merasa sedih tak bisa mati dalam keadaan berdzikir pada Allah. Dahi Ibnu Muljam terlihat hitam sebab banyak sujud. (Ibnul Jauzi, TalbîsIblîs, 85). Bagi para Khawarij lainnya, Ibnu Muljam bagaikan sosok pahlawan. Mereka memuji aksi Ibnu Muljam tersebut dan menganggapnya sebagai orang yang menjual dirinya sendiri demi menggapai ridha Allah. (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, I, 120).
Dari kejadian tersebut nampak sekali bahwa Al-Qur’an bagi Khawarij hanya menjadi tameng bagi nafsu politiknya saja. Mereka memaksa agar Khalifah Ali menerima arbitrase atas nama al-Qur’an tetapi memaksa beliau mengurungkan dan menolak hasil arbitrase juga atas nama al-Qur’an. Semuanya disertai ancaman bunuh sebab bagi mereka penentang pendapat mereka sudah kafir. Dalam nalar mereka, tindakan seperti itu adalah perjuangan yang bisa menghasilkan ridha Allah. Mereka sama sekali tak berpikir bahwa Khalifah Ali yang mereka lawan jauh lebih memahami al-Qur’an dari mereka. Mereka juga lupa bahwa para sahabat yang mereka kafirkan jauh lebih layak merepresentasikan ajaran kitabullah daripada mereka.
Ketika penafsiran ulama ahli ilmu tentang al-Qur’an dianggap sesat oleh orang-orang yang hanya tekun beribadah saja namun tak menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an, ketika orang-orang awam sudah merasa kelompoknya sebagai satu-satunya representasi al-Qur’an, ketika vonis kafir dengan mudahnya muncul sebab perbedaan ijtihad politik, maka saat itulah nalar Khawarij nampak. Itulah nalar-nalar Khawarij yang layak diwaspadai keberadaannya di setiap masa.
Sejarah Kelompok Khawarij (5): Perpecahan Internal Khawarij
Selasa 7 Mei 2019 16:0 WIB
Sebagaimana disinggung di awal bahasan, kelompok Khawarij terpecah menjadi beberapa faksi. Hal ini bisa dimaklumi sebab nalar mereka memang mengafirkan siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka, akhirnya mereka sendiri pun pecah dan saling mengafirkan satu sama lain atau paling tidak saling berlepas diri dan berperang. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai faksi-faksi tersebut dan sekelumit pola pikir mereka.
1. Al-Muhakkimahal-Ula
Meskipun nalar Khawarij bisa kita lacak keberadaannya sejak masa Rasulullah hingga masa Khalifah Utsman, tapi kebanyakan sejarawan secara resmi mencatat Khawarij pertama adalah golongan yang keluar menentang Ali sebagaimana dijelaskan pada artikel sebelumnya. Merekalah yang kemudian disebut sebagai al-Muhakkimahal-Ula atau golongan yang berkata “tak ada hukum kecuali milik Allah” yang pertama. Tentu saja, slogan tersebut hanyalah apologi sebab sebenarnya maksud mereka adalah tak ada hukum kecuali hukum versi mereka sendiri.
Seorang Khawarij bernama Urwah berkata:
تحكمون فِي أمر اللَّه الرجال لا حكم إلا اللَّه
“Kalian berhukum dalam hal ajaran Allah pada manusia [saat arbitrase]. Tak ada hukum kecuali milik Allah” (Ibnu al-Jauzi, TalbîsIblîs, 82).
Pasca-arbitrase, Ali dan pasukannya memasuki kota Kufah sedangkan Khawarij menuju Harura’. Pimpinan mereka adalah Abdullah bin al-Kawa’, Itab bin al-A’war, Abdullah bin Wahbar-Rasibi, Urwah bin Jarir, Yazid bin Ashim dan Hurqush bin Zuhair. Jumlah mereka sekitar 12.000 orang yang kesemuanya meneriakkan jargon “tidak ada hukum kecuali milik Allah” sebagai bentuk perlawanan pada arbitrase yang dianggap menjadikan manusia sebagai penentu hukum. Mereka adalah para ahli ibadah yang sayangnya merasa lebih paham agama daripada Ali bin Abi Thalib sehingga sulit disadarkan (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, I, 115; Ibnu al-Jauzi, TalbîsIblîs, 82).
Kesemua Khawarij ini terbunuh oleh pasukan Sayyidina Ali di suatu daerah yang bernama Nahrawan hingga tak tersisa kecuali tak lebih dari sepuluh orang saja. Dua di antara mereka lari ke Amman, dua lagi ke Kerman, dua ke Sijistan, dua ke jazirah, dua ke Yaman. Di tempat-tempat itulah faksi Khawarij berikutnya bermunculan (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, I, 115). Di antara yang terbunuh di Nahrawan ini adalah Dzul Khuwaishirah, Khawarij pertama yang merasa lebih adil dari Nabi Muhammad yang kisahnya telah diulas pada artikel sebelumnya.
2. Azariqah
Mereka adalah para pengikut Nafi’ bin Azraq. Faksi ini adalah Khawarij terkuat dan terbanyak jumlahnya yang pernah ada. Jumlah mereka lebih dari 20.000 orang. Mereka menganggap siapa pun di luar mereka sebagai kaum musyrik, berbeda dengan al-Muhakkimahal-Ula yang menganggap para musuhnya sebagai kafir. Yang lebih parah dari Muhakkimah, kalangan Azariqah ini menganggap musyrik kalangan mereka sendiri yang tak mau mengangkat senjata. Mereka mempunyai kebiasaan menguji “keimanan” calon anggota mereka dengan cara menyodorkan tawanan dari kalangan muslimin non Khawarij padanya. Bila calon anggota tersebut mau membunuh tawanan tersebut maka mereka menerimanya. Namun bila ia enggan membunuhnya, maka mereka menyebutnya munafik dan musyrik lalu membunuhnya. Sebagian mereka memperbolehkan membunuh istri dan anak para penentangnya dan berpendapat bahwa anak-anak adalah musyrik. Mereka memastikan anak non-Khawarij berada kekal di neraka. Dalam hal fikih, mereka mengingkari hukum rajam dan memperbolehkan mengingkari amanat. Selain itu mereka memotong tangan pencuri tanpa peduli seberapa kecil barang yang dicurinya sebab mereka tak memberlakukan batas minimal pencurian (Abdul Qahiral-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 62-64). Ibnul Jauzi menceritakan bahwa di antara perkataan mereka adalah: “Kami tak mengenal ada satu pun orang islam [di luar mereka]” (Ibnul Jauzi, TalbîsIblîs, h. 19).
3. An-Najdat
Ketika Nafi’ bin Azraq mulai mengafirkan anggotanya yang enggan mengangkat senjata dan menyebut mereka sebagai musyrikin serta menghalalkan pembunuhan atas istri dan anak lawan politiknya, maka sebagian orang yang dipimpin oleh Abu Qudail, Athiyah al-Hanafi, Rasyid at-Thawil dan Ayyub al-Azraq memisahkan diri. Mereka pergi ke Yamamah hingga bertemu dengan Najdah bin Amir al-Hanafi berserta pasukannya di perjalanan. Najdah sebenarnya ingin bergabung dengan para Azariqah, namun ketika mendengar kisah dari orang-orang Azariqah yang memisahkan diri itu, ia pun mengurungkan diri.
Pasukan Najdah bin Amir al-Hanafi beserta mantan Azariqah itu kemudian berbaiat pada Najdah. Inilah sebab mereka disebut sebagai an-Najdat. Mereka mengafirkan para Azariqah yang menghalalkan darah orang-orang khawarij yang tak mau mengangkat senjata. Namun setelah putra Najdah beserta pasukannya membunuh penduduk Qathif dan mengambil rampasan perang tanpa terlebih dahulu dilakukan pembagian, maka kelompok ini terpecah: Sebagian mendukung Najdah yang mengampuni tindakan putranya itu dengan alasan mereka masih tidak tahu bahwa itu terlarang serta mengafirkan siapa pun yang menganggapnya salah. Sedangkan sebagian lagi menentang dan mengafirkannya karena mendukung aksi pasukan putranya tersebut (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, h. 123-124)
Uniknya, suatu ketika Najdah saling berkorespondensi dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Umayyah dan ia menampakkan kecondongan padanya. Akhirnya dia dikritik oleh anak buahnya dan diminta bertobat. Akhirnya Najdah pun bertobat dari itu. Setelah itu sebagian anak buahnya merasa bersalah karena telah memaksa imam mereka bertobat sehingga mereka pun bertobat karena itu. Najdah lagi-lagi dipaksa untuk bertobat dari tobatnya terdahulu, bila tidak maka ia akan dilengserkan dan akhirnya Najdah pun bertobat dari tobatnya. (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, h. 124).
Di antara pengikut Najdah yang memisahkan diri darinya adalah Athiyah dan Abu Fudaik. Pendukung Athiyyah dikenal sebagai Athawiyah dan pendukung Abu Fudaik disebut Fudaikiyah. Meskipun keduanya sama-sama sempalan Najdat, tapi keduanya saling berperang satu sama lain. Kekuasaan Athawiyah mencakup Sijistan, Khurasan, Kerman dan Qihistan. Pada perkembangannya, dari Athawiyah muncul sempalan lagi bernama Ajaridah. (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, 124).
4. Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karim bin Ajrad. Secara umum pendapat mereka sama dengan faksi Najdat sebelumnya. Akan tetapi mereka mengafirkan pelaku dosa besar dan mengingkari keberadaan surat Yusuf sebagai bagian dari Al-Qur’an. Alasannya, kisah cinta tak mungkin merupakan ayat Al-Qur’an. Selain itu mereka berpendapat bahwa anak-anak orang musyrik kekal di neraka bersama orang tuanya. Dalam perkembangannya, Ajaridah terpecah kembali gegara perbedaan pendapat dalam hal fikih dan akidah. Di antara sempalannya adalah Shalthiyah, Maimuniyah, Hamziyah, Khalfiyah, Athrafiyah, Syu’aibiyah dan Hazimiyah.
Di antara sempalan Ajaridah paling besar adalah Tsa’alibah yang merupakan kaum pengikut Tsa’labah bin Amir. Tsa’alibah ini kemudian terpecah lagi menjadi beberapa golongan, yakni: Akhnasiyah, Ma’badiyah, Rasyidiyah, Syaibaniyah, Mukrimiyah, Ma’lumiyah wal Majhuliyah, dan Bid’iyah.
Selain keempat faksi besar di atas, ada juga faksi yang tergolong lebih kecil, yaitu Baihasiyah dan Ibadliyah. Kesemuanya mempunyai pendapat khas dalam fikih dan sebagian akidah yang menyimpang dari keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Ketika mereka berbeda pendapat, maka langsung saja mereka terpecah belah dan saling berlepas diri, bahkan saling mengafirkan.
Sejarah Kelompok Khawarij (6-Habis): Ringkasan Nalar Khawarij
Rabu 8 Mei 2019 17:0 WIB
Pada artikel sebelumnya telah dibahas sejarah singkat para Khawarij mulai dari embrionya hingga perkembangan dan perpecahannya. Saat ini sebagai penutup serial Khawarij ini, penulis ingin meringkas tentang bagaimana pola pikir para Khawarij tersebut hingga mereka menjadi ekstremis dalam tubuh umat Islam.
1. Sangat tekun beribadah tanpa dibarengi dengan pemahaman yang baik.
Ketekunan Khawarij dalam beribadah secara ekstrem membuat bekas secara fisik. Abdullah bin Abbas menceritakan kondisi mereka ketika ia menemuinya sebagai berikut:
فدخلت عَلَى قوم لم أر قط أشد منهم اجتهادا جباههم قرحة من السجود وأياديهم كأنها ثفن الإبل وعليهم قمص مرحضة مشمرين مسهمة وجوههم من السهر
“Maka aku memasuki suatu kaum yang belum pernah aku lihat hebatnya mereka dalam beribadah. Dahi mereka menghitam karena sujud. Tangan-tangan mereka kasar seperti lutut onta. Mereka memakai gamis yang murah dan kumal. Wajah mereka pucat karena begadang ibadah di waktu malam.” (Ibnul Jauzi, TalbîsIblîs, 83)
Ibadah luar biasa itu sayangnya tak diimbangi dengan pemahaman yang baik terhadap ajaran islam. Akhirnya mereka merasa lebih adil dari Rasulullah seperti dilakukan Dzul Khuwaishirah, merasa berhak membunuh Khalifah Utsman serta merasa jauh lebih mengerti Al-Qur’an dibandingkan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang tak lain adalah mujtahid dari kalangan sahabat Nabi, dan lebih alim dibandingkan seluruh sahabat Rasulullah.
2. Merasa siapa pun yang menentang mereka sebagai penentang kitabullah.
Khawarij hampir selalu berpedoman pada ayat Al-Qur’an dalam tindakan mereka, tetapi ayat tersebut dipahami secara dangkal sehingga mereka sama sekali tak membuka ruang untuk penafsiran yang berbeda yang sebenarnya justru merupakan penafsiran yang tepat. Misalnya, ketika melakukan pemberontakan pada penguasa, mereka membawa ayat-ayat tentang amar ma’ruf nahi munkar. Ketika mengajak pada arbitrase, mereka memakai ayat yang mengajak kembali pada Al-Qur’an. Ketika menolak hasil arbitrase, mereka menyalahkan kedua kubu sebab mengangkat manusia sebagai hakim, bukan menjadikan Al-Qur’an sebagai hakim. Padahal perintah arbitrase (mengangkat hakam) juga ada dalam Al-Qur’an. Wajar saja mereka selalu membawa-bawa Al-Qur’an sebagai lebitimasi sebab Ibnu Katsir mengatakan bahwa Khawarij pertama yang bermarkas di Harura’ terdiri dari 8.000 orang yang ahli membaca Al-Qur’an (qurrâ’ an-nâs). (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, X, 565).
Sayangnya mereka hanya pandai membaca Al-Qur’an tetapi tak mampu memahami maknanya dengan benar sehingga Al-Qur’an yang seharusnya menjadi inspirasi persatuan justru dijadikan propaganda perpecahan. Fenomena ini pernah diramalkan sejak masa sahabat awal seperti terlihat dalam dialog Umar bin Khattab dengan Ibnu Abbas berikut:
وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخُطَّابِ لِابْنِ عَبَّاسٍ: كَيْفَ يَخْتَلِفُونَ وَإِلَهُهُمْ وَاحِدٌ وَقَبِيلَتُهُمْ وَاحِدَةٌ؟ فَقَالَ: إِنَّهُ سَيَجِيئُ قَوْمٌ لَا يَفْهَمُونَ الْقُرْآنَ كَمَا نَفْهَمُ فَيَخْتَلِفُونَ فِيهِ، فَإِذَا اخْتَلَفُوا اقْتَتَلُوا.
“Umar bin Khattab berkata pada Ibnu Abbas: Bagaimanakah kaum muslimin bisa terpecah belah sedangkan Tuhan mereka satu dan kiblat mereka pun satu? Ibnu Abbas menjawab: Sesungguhnya akan datang suatu kaum yang tak memahami Al-Qur’an seperti bagaimana kita memahaminya sehingga mereka saling berbeda pendapat. Bila telah berbeda pendapat, maka mereka saling berperang”. (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, X, 553).
Karena secara gegabah merasa dirinya sebagai representasi Al-Qur’an, maka secara otomatis siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka dianggap menentang Al-Qur’an itu sendiri. Akhirnya, vonis kafir, musyrik dan halal dibunuh secara mudah keluar dari mereka pada siapa pun yang berbeda, tak terkecuali kalangan internal mereka sendiri.
3. Mencela kaum muslimin dengan ayat-ayat yang sebenarnya ditujukan pada non-muslim.
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits tentang komentar sahabat Ibnu Umar kepada Khawarij sebagai berikut:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ، وَقَالَ: إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الكُفَّارِ، فَجَعَلُوهَا عَلَى المُؤْمِنِينَ
“Ibnu Umar menganggap mereka adalah makhluk Allah yang buruk. Ia berkata: Para Khawarij mengambil ayat-ayat yang turun mencela orang kafir, lalu mereka terapkan itu pada kaum mukminin.” (HR. Bukhari)
Mereka tak mampu membedakan bagaimana sikap seorang mukmin terhadap mukmin lainnya dan kepada orang kafir yang memang selalu memerangi umat Islam saat itu. Bagi mereka, semua orang dianggap memerangi umat Islam sebab mereka sendiri umat Islam itu sendiri hanya kelompok mereka saja.
4. Meragukan keislaman orang lain sehingga gemar memberikan ujian.
Di antara ciri khas Khawarij adalah merasa paling Islam dan paling beriman dari muslim di luar golongan mereka. Hal itu membuat mereka gemar menguji keimanan orang lain dengan beberapa pertanyaan. Imam Ibnu Sirin berkata:
سؤالُ الرجل أخاه: أمؤمنٌ أنت؟ محنة بدعة، كما يمتحن الخوارج
“Pertanyaan seseorang pada saudaranya “Apakah kamu seorang mukmin?” adalah ujian yang bid’ah seperti halnya para Khawarij yang gemar memberikan ujian”. (al-Lalika’i, Syarh Ushûl I’tiqâd Ahli as-Sunnah, V, 1060)
5. Mewajibkan pemberontakan pada penguasa karena berbeda pandangan.
Meskipun Khawarij terpecah menjadi banyak faksi, namun di antara ajaran universal mereka adalah wajib memberontak pada penguasa yang mereka anggap menyalahi sunnah. Asy-Syahrastani menerangkan perihal ini sebagai berikut:
ويجمعهم القول بالتبري من عثمان وعلي رضي الله عنهما، ويقدمون ذلك على كل طاعة، ولا يصححون المناكحات إلا على ذلك، ويكفرون أصحاب الكبائر ويرون الخروج على الإمام إذا خالف السنة حقا واجبا.
“Mereka semua dikumpulkan dalam satu pendapat yang sama: dengan berlepas dari Utsman dan Ali radiyallahu ‘anhuma, mendahulukan hal tersebut dari semua ketaatan, tidak menganggap sah sebuah pernikahan kecuali atas berlepas diri itu, mengafirkan pelaku dosa besar dan menganggap memberontak pada Imam ketika berlawanan dengan sunnah sebagai suatu kebenaran yang wajib dilakukan.” (asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, I, 115).
Sedangkan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, memberontak pada penguasa adalah haram selama penguasa tersebut tak menampakkan kekafiran yang nyata. Hal ini berdasarkan hadits:
فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Ubadah melanjutkan; di antara janji yang beliau ambil dari kami adalah, agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat, saat giat maupun malas, dan saat kesulitan maupun kesusahan, lebih mementingkan urusan bersama, serta agar kami tidak mencabut wewenang dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang pada kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah.” (HR. Bukhari)
Bahkan penguasa yang zalim dan korup sekalipun dianggap masih lebih baik daripada terjadi pertumpahan darah (fitnah) yang berlangsung lama. Sahabat Nabi Amr bin Ash berkata pada putranya:
يا بني سلطان عادل خير من مطر وابل وأسد حطوم خير من سلطان ظلوم وسلطان غشوم ظلوم خير من فتنة تدوم
“Hai Nak, penguasa yang adil itu lebih baik dari hujan yang turun deras, singa menerkamitu lebih baik dari penguasa yang zalim, penguasa zalim masih lebih baik dari pertumpahan darah yang berkepanjangan.” (Ibnu Asakir, Târîkh Dimasyq, XLVI, 184).
Demikian akhir ulasan sejarah Khawarij ini.
Semoga kita bisa memetik pelajaran darinya.
Wallahua’lam.
Ketika Sayyidina Ali Meminta Al-Qur’an Berbicara
Sabtu 18 Mei 2019 16:30 WIB
Dulu, banyak sekali pengikut Sayyidina Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, yang merupakan para penghafal Al-Qur’an (Qurrâ'). Misi utama mereka adalah menjaga Al-Qur’an supaya tak musnah. Pada abad ketujuh masehi tersebut, peran para penghafal sangatlah vital sebagai media transmisi Al-Qur’an dari satu generasi ke generasi berikutnya. Meski peran mereka sedemikian urgen, namun menjadi penghafal bukan berarti dengan sendirinya menjadi ahli dalam memahami makna ajaran Al-Qur’an.
Suatu saat mereka pernah menyalahkan Sayyidina Ali karena dianggap menjadikan manusia sebagai juru putus (hakam) dalam arbitrase antara kubu Ali dan Mu'awiyah yang terlibat perang saudara. Menurut para penghafal Al-Qur’an itu tak ada hukum kecuali milik Allah. Maksudnya, semua keputusan harus apa kata Al-Qur’an, bukan kata manusia.
Mendengar kritik itu, Sayyidina Ali kemudian mengumpulkan para penghafal Al-Qur’an tersebut dan mereka diminta membawa mushaf. Setelah banyak yang berkumpul lalu beliau membuka Mushaf Imam (mushaf standar hasil kodifikasi Utsman yang jadi rujukan utama penulisan mushaf saat itu). Ia lalu berkata:
أيها المصحف حدث الناس
"Wahai mushaf Al-Qur’an, bicaralah pada orang-orang itu!" (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, VII, 270)
Dengan cara cerdik itu, ia berhasil menyadarkan para penghafal Al-Qur’an tersebut bahwa mushaf Al-Qur’an tak bisa bicara sendiri sebab hanya goresan tinta di atas kertas. Manusia lah yang menafsirkannya dengan kemampuan akalnya masing-masing. Semua jargon untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai juru putus tak lebih dari sekadar upaya untuk menjadikan penafsiran mereka yang sepihak itu sebagai satu-satunya acuan.
Beliau lalu menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an sendiri, Allah telah menjadikan manusia sebagai juru putus (hakam) tatkala ada percekcokan antara sepasang suami istri (QS. an-Nisa': 35), padahal ini urusan remeh. Sedangkan nyawa dan kehormatan umat Nabi Muhammad tentu lebih berharga daripada sekadar urusan rumah tangga, masak tak boleh memasrahkan masalah segenting ini pada pertimbangan manusia? Dan, para penghafal Al-Qur’an itu pun kehabisan akal di depan seorang mujtahid yang menjadi Khalifah keempat itu.
Dari sini kita tahu bahwa penukil ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah lantas mewakili ajaran Al-Qur’an itu sendiri. Para penghafal Al-Qur’an dalam kisah ini di kemudian hari menjadi generasi Khawarij pertama (Haruriyah/al-Muhakkimah al-Ula). Sejarah dan kisah para Khawarij dengan nalar ultra tekstualnya itu sebelumnya telah penulis uraikan dengan agak mendetail di bagian lain di NU Online ini. Semoga bermanfaat.
*
Xxxx
Xxxx
Xxxx
Xxxx
Xxxx
Xxxx
Xxxx
Xxxx
Xxxx
xxx
xxx
Xxxx
Xxxx
xxx
Xxxx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar