Oleh A.S. Laksana
SUDUT PANDANG
19/03/2017, 23:26 WIB
Editor: Suryo Eko Prasetyo
’’LIFE is very short and there’s no time for fussing and fighting, my friend.” – The Beatles
Saya memutar berulang-ulang lagu dari kelompok musik Inggris tersebut beberapa hari belakangan, mungkin karena dirasuki perasaan sentimentil berada di tengah keributan dan pertengkaran yang sepertinya tak sudah-sudah. Setiap hari ada berita buruk, dan jumlahnya banyak. Itu adalah polusi bagi pikiran.
Polusi udara meracuni lingkungan dan akan membuat kita sesak napas jika sudah keterlaluan. Polusi pikiran meracuni ucapan dan tindakan orang. Ia menebarkan ancaman kepada lingkungan sekitar, memengaruhi pikiran bawah sadar, dan mengacaukan emosi tanpa Anda menyadarinya. Ia memberikan perasaan cemas dan menguras energi sehingga Anda tidak memiliki ruang dan mungkin kehabisan stamina untuk memikirkan diri sendiri.
Anda membaca berita tentang orang yang jenazahnya tidak akan disalatkan di musala atau masjid karena pilihan politik yang berbeda. Anda membaca berbagai umpatan di media sosial. Anda mendengar keluhan teman Anda. Anda mendengar para politikus saling menyerang, seolah-olah bibir mereka adalah sepasang sayap yang terus mengepak. Dalam sehari pikiran Anda menyerap berbagai cerita buruk, dan masih ditambah dengan kabar-kabar rekayasa.
Pertanyaannya, apa kabar baik yang Anda baca hari ini? Mungkin tidak ada. Pada dasarnya kita tidak suka membaca kabar baik karena ia tidak kita anggap sebagai berita menarik. Kita secara naluriah lebih menyukai, misalnya, siaran langsung bunuh diri.
Itu berita terakhir yang diburu orang-orang. Media sosial Facebook beberapa waktu lalu menambahkan fasilitas baru yang memungkinkan Anda membuat siaran langsung. Dengan fasilitas itu Anda bisa membuat live show memandikan kucing, atau memberi makan kura-kura, atau duduk melamun di depan jendela jika Anda seorang penulis. Duduk melamun adalah pekerjaan utama seorang penulis, sedangkan mengetik adalah pekerjaan tukang ketik.
Saya yakin Facebook tidak pernah berpikir bahwa fasilitas tersebut akan digunakan oleh lelaki dari Jagakarsa, Jakarta, untuk membuat siaran langsung bunuh diri. Begitulah, setiap ciptaan sering berkembang melampaui apa yang dipikirkan oleh penciptanya, seperti makhluk ciptaan Victor Frankenstein dalam novel Mary Shelley. Victor hanya ingin menghidupkan kembali orang yang sudah mati, tetapi yang lahir dari percobaan laboratoriumnya adalah monster yang kemudian meneror penciptanya sendiri.
Dan kita, sama seperti Victor, diam-diam juga sedang menghidupkan monster yang meneror diri sendiri, dengan cara meracuni pikiran dengan segala macam polusi. Lalu kita ikut bertengkar.
Di tengah perasaan sentimentil itu akibat memikirkan polusi, menemukan artikel Cal Newport, seorang profesor ilmu komputer, tentang figur Yuval Harari terasa bagi saya seperti menemukan sebutir batu permata. Yuval adalah sejarawan Israel berusia 41 tahun, meraih gelar doktor dengan spesialisasi sejarah militer abad pertengahan. Ia sangat produktif menulis dan sampai sekarang sudah menulis lima buku dan banyak artikel dan memenangi sejumlah penghargaan, termasuk dua kali menerima Penghargaan Polonsky untuk kreativitas dan orisinalitasdari Akademi Sains dan Kemanusiaan Israel.Buku pertamanya, Sapiens: A Brief History of Humankind (2011), adalah buku yang direkomendasikan kepada khalayak oleh Bill Gates dan Mark Zuckerberg. Bulan lalu, Yuval menerbitkan lanjutannya, Homo Deus: A Bried History of Tomorrow.
Anda keliru jika menyangka Yuval adalah orang yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Sebaliknya, ia bekerja dalam waktu yang lebih pendek dibandingkan orang-orang lain dan lebih banyak melakukan meditasi. Ia bermeditasi dua jam sehari dan menyepi dari keramaian satu sampai dua bulan setiap tahun.
’’Meditasi memberi saya kemampuan untuk fokus,” katanya dalam sebuah wawancara.
’’Dalam meditasi, Anda harus memberi perhatian, misalnya, kepada napas Anda. Itu melatih kita berdisiplin untuk fokus pada hal-hal lain yang lebih besar dan tahu mana yang penting dari begitu banyak hal di sekitar kita.”
Dalam wawancara itu Yuval mengakui bahwa ia baru tahu Donald Trump terpilih sebagai presiden pada 20 Januari 2017 saat tiba di rumah setelah menyepi sejak November tahun sebelumnya.
Cal Newport menulis tentang Yuval sebagai bagian dari proyeknya untuk mengamati orang-orang yang menyepi dan menghasilkan karya-karya besar --salah satu yang ia contohkan adalah Carl Gustav Jung. Ia menyampaikan kepada kita pentingnya menyepi dari keramaian dan memfokuskan pikiran pada apa yang menjadi tujuan kita. Menyepi adalah cara terbaik untuk fokus dan merawat pikiran agar tidak melemah oleh polusi.
Di tengah situasi beracun, yang membuat Anda bingung, kelelahan, dan mungkin ikut-ikutan mengamuk, menyepi dan melatih pikiran untuk fokus akan menjadi cara berterima kasih atas kehidupan yang kita jalani. Kehidupan bisa sangat menyenangkan, bisa sangat mengecewakan, terserah bagaimana kita memandang segala sesuatu. Saya menyukai The Beatles, dan sepakat dengan kalimat dalam lirik lagu We Can Work It Out bahwa hidup ini sangat singkat dan sayang jika hanya digunakan untuk ribut dan bertengkar. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar